PROFESI-UNM.COM – Pernikahan dini di Indonesia Berdasarkan data BPS tahun 2024, angka pernikahan dini secara nasional adalah 5,9%.
Pernikahan dini merupakan fenomen sosial yang masih banyak terjadi di berbagai daerah, terutama di wilayah dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah. Dalam konteks ini, perempuan sering menjadi pihak yang paling terdampak. Banyak di antara mereka yang menikah di usia remaja, bahkan sebelum mencapai kedewasaan emosional dan mental yang matang.
Fenomena ini tidak hanya menghambat potensi diri perempuan, tetapi juga menciptakan lingkaran kemiskinan dan ketidaksetaraan gender yang sulit diputus. Pernikahan dini pada perempuan merupakan masalah yang kompleks dan disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan baik dari aspek ekonomi, budaya, pendidikan, maupun lingkungan sosial. Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab paling dominan. Banyak keluarga dengan kondisi ekonomi lemah menganggap menikahkan anak perempuan di usia muda sebagai solusi untuk mengurangi beban hidup.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Krisis Masa Depan dalam Bayang Budaya
Dengan menikah, tanggung jawab ekonomi dianggap berpindah kepada suami. Sayangnya, pandangan ini sering mengabaikan hak anak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan menentukan masa depannya sendiri. Selain ekonomi, pendidikan juga berperan besar dalam memperparah fenomena ini. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua maupun anak perempuan menyebabkan kurangnya pemahaman tentang risiko dan dampak jangka panjang dari pernikahan dini.
Akses pendidikan yang terbatas membuat pilihan hidup perempuan menjadi sempit.
Dari sisi budaya dan norma sosial, pernikahan dini sering dilegitimasi oleh tradisi yang mengakar kuat. Di beberapa daerah, masih ada pandangan bahwa perempuan yang belum menikah pada usia tertentu akan dianggap “perawan tua” atau menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Tekanan sosial seperti ini membuat keluarga memilih menikahkan anak perempuannya demi menjaga nama baik keluarga.
Dalam konteks ini, perempuan menjadi korban sistem patriarki yang menempatkan mereka sebagai pihak yang harus tunduk terhadap kehendak sosial. Faktor lain yang muncul di era modern adalah pengaruh media dan pergaulan bebas. Akses terhadap media sosial tanpa didukung literasi digital yang baik dapat menyebabkan remaja terlibat dalam hubungan yang tidak sehat atau bahkan kehamilan di luar nikah. Dalam kondisi tersebut, pernikahan sering dijadikan jalan keluar untuk menutupi aib keluarga. Akibatnya, keputusan menikah diambil bukan karena kesiapan, melainkan karena tekanan sosial yang mendesak.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan kebijakan perlindungan anak turut memperburuk situasi. Meskipun undang-undang telah menetapkan usia minimal menikah bagi perempuan adalah 19 tahun, praktik dispensasi nikah masih sering dilakukan. Celah hukum ini memungkinkan terjadinya pernikahan dini yang sah secara administratif, tetapi tetap merugikan perempuan dari sisi psikologis, kesehatan, dan sosial.
Tanpa kesadaran kolektif dan kebijakan yang tegas, pernikahan dini akan terus menjadi masalah sosial yang sulit dihapuskan. Pernikahan sering dianggap sebagai simbol kedewasaan dan kebahagiaan, tetapi kenyataannya tidak semua orang benar-benar siap secara mental.
Terutama bagi perempuan muda, kesiapan mental menjadi tantangan besar yang kerap diabaikan. Usia remaja sejatinya adalah masa pencarian jati diri masa untuk belajar memahami emosi, tanggung jawab, dan arah hidup. Ketika fase ini terputus oleh pernikahan, proses pendewasaan menjadi terganggu. Akibatnya, banyak perempuan muda yang kebingungan menghadapi realitas rumah tangga.
Kesiapan mental bukan hanya tentang cinta, tetapi juga kemampuan mengelola emosi, menghadapi konflik, serta beradaptasi dengan tanggung jawab baru. Perempuan yang menikah di usia muda sering belum memiliki kematangan emosional untuk memahami pasangan, apalagi untuk menjadi ibu yang sabar dan bijak. Kondisi ini sering menimbulkan pertengkaran, stres, bahkan tekanan psikologis. Banyak dari mereka merasa kehilangan kebebasan dan waktu untuk berkembang sebagai individu. Selain itu, ketidaksiapan mental diperparah oleh kurangnya pengalaman hidup dan pendidikan.
Perempuan muda yang menikah dini umumnya belum sempat menyelesaikan sekolah atau menguasai keterampilan hidup yang penting. Ketika mereka dihadapkan pada tanggung jawab mengurus rumah tangga dan anak, rasa kewalahan muncul dan berujung pada beban emosional. Pernikahan yang seharusnya menjadi ruang untuk tumbuh bersama justru berubah menjadi tekanan yang mengikis kepercayaan diri.
Upaya pencegahan pernikahan dini harus dilakukan secara kolektif oleh berbagai pihak mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, pemerintah, hingga masyarakat luas. Keluarga perlu menanamkan nilai bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan waktu terbaik bagi dirinya untuk menikah. Pemerintah dan lembaga sosial juga harus memperkuat kebijakan perlindungan anak serta menyediakan program pemberdayaan bagi remaja perempuan.
Melindungi perempuan dari pernikahan dini berarti melindungi masa depan bangsa. Memberikan ruang bagi perempuan untuk tumbuh, belajar, dan mempersiapkan diri dengan matang akan menciptakan generasi yang lebih berdaya, sehat, dan mandiri. Sebab, perempuan yang kuat secara mental dan intelektual adalah fondasi utama bagi masyarakat yang adil, sejahtera, dan berkemajuan. (*)
*Penulis: Siti Nurifkah







