PROFESI-UNM.COM – “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah mereka yang berumur tua tapi tak pernah menegakkan kebenaran.”— Soe Hok Gie
Kalimat itu lahir dari seorang mahasiswa yang bukan hanya berpikir, tapi juga berani menantang arus zaman. Soe Hok Gie, aktivis dan pemikir muda era 60-an, menjadi simbol idealisme yang tak lekang oleh waktu. Ia menulis, berteriak, dan melawan kemunafikan kekuasaan di tengah ketakutan yang mencekik kebebasan berpikir. Tapi kini, setengah abad setelah Gie meninggalkan dunia, kita patut bertanya: masihkah api perjuangannya menyala di dada mahasiswa Indonesia?
Di masa Gie, kampus bukan sekadar tempat kuliah dan wisuda; ia adalah arena pertarungan gagasan dan keberanian moral. Mahasiswa menjadi penjaga nurani bangsa, yang menolak tunduk pada politik kekuasaan atau pragmatisme murahan. Mereka berdiskusi di ruang-ruang sempit, menulis di media mahasiswa, dan turun ke jalan dengan keyakinan: bahwa kebenaran harus diperjuangkan, meski dengan risiko kehilangan segalanya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, kita hidup di zaman yang jauh lebih bebas dari era Soe Hok Gie — tapi entah mengapa, keberanian justru semakin langka. Dulu, satu kalimat kebenaran bisa membuat seorang mahasiswa diasingkan; sekarang, ribuan ketidakadilan bisa terjadi tanpa satu pun kata protes. Dulu, Gie menulis dengan risiko kehilangan nyawa; kini, banyak mahasiswa takut menulis karena takut kehilangan privilege.
Kampus seharusnya menjadi tempat lahirnya keberanian intelektual, bukan tempat membesarkan mental penurut. Tapi realitas berkata lain — banyak mahasiswa lebih sibuk mengejar sertifikat daripada mencari makna. Lebih nyaman menjadi penonton di balik layar gawai daripada menjadi pelaku sejarah di lapangan nyata.
Soe Hok Gie tidak menunggu zaman ideal untuk bergerak. Ia bergerak justru karena zamannya tidak ideal. Ia berani berbeda, berani jujur, berani berpihak pada nurani. Semangat itulah yang mestinya diwarisi mahasiswa hari ini — semangat untuk berpikir jernih, menulis tajam, dan bertindak tulus tanpa pamrih pencitraan.
Mungkin benar kata Gie, “Kita semua akan mati. Yang membedakan adalah apakah kematian kita punya makna.”Maka selama darah masih mengalir di dada mahasiswa, selama pena masih bisa menulis, selama nurani belum padam — api itu seharusnya belum mati.
Yang kita butuhkan sekarang hanyalah keberanian kecil: keberanian untuk berpikir jujur, berkata benar, dan menyalakan kembali nyala yang dulu ditinggalkan Gie di antara lembar-lembar catatannya.
Kini, semangat itu tampak mulai meredup. Aktivisme kampus sering kali berubah menjadi rutinitas administratif. Sebagian mahasiswa sibuk mengejar template prestasi dan branding sosial media, bukan lagi menyalakan bara intelektual. Gie pernah menulis dengan getir, “Anak muda sekarang lebih suka pesta dan bersenang-senang daripada membaca dan berpikir.”
Kata-kata itu, meski lahir puluhan tahun silam, terasa seperti sindiran yang tepat sasaran untuk generasi hari ini. Di banyak kampus, idealisme sering kali dikorbankan demi kenyamanan dan citra. Kritik dianggap ancaman, dan diam menjadi pilihan aman. Mahasiswa yang dulu disebut “agent of change” kini kerap hanya menjadi “agent of event”.
Padahal, Soe Hok Gie sudah memberi contoh: ia tidak menunggu izin untuk berpikir. Ia membaca banyak buku, menulis dengan jujur, dan menolak tunduk pada politik busuk. Dalam catatan harian Catatan Seorang Demonstran, Gie menulis: “Saya kira intelektual yang tidak menulis adalah intelektual yang tidak bermoral.”
Kalimat itu bukan hanya kritik untuk akademisi, tapi juga peringatan bagi mahasiswa yang memilih diam di tengah ketidakadilan. Pada akhir 1960-an, Indonesia berada di bawah tekanan politik Orde Lama yang penuh propaganda dan ketakutan. Mahasiswa yang berani bersuara dianggap musuh negara.
Namun Soe Hok Gie, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, justru menulis tajam menentang kekuasaan yang otoriter. Ia menulis kritik keras terhadap rezim Sukarno dan menolak ikut arus politik mahasiswa yang disetir oleh partai. Soe Hok Gie menulis di tengah ancaman peluru, sementara banyak mahasiswa hari ini takut menulis karena khawatir tidak dapat “likes” yang cukup. Ia menentang rezim yang nyata, kita menunduk pada sistem yang kita ciptakan sendiri — sistem kenyamanan, ketakpedulian, dan pencitraan.
Gie berkata, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Tapi hari ini, kita justru saling berlomba menjadi bagian dari kemunafikan itu. Kita berpura-pura peduli saat isu sedang viral, berpura-pura berani saat massa banyak, lalu kembali sunyi saat situasi tenang.
Dulu, mahasiswa mengguncang bangsa dengan pikiran dan keberanian. Sekarang, banyak yang justru menenggelamkan pikirannya dalam rutinitas, sibuk berburu posisi, lomba, dan sertifikat. Yang dulu berjuang menulis sejarah, kini banyak yang hanya ingin terlihat “aktif” di dokumentasi.Dan tragisnya, tidak ada lagi tanda-tanda semangat itu tersiar.
Kampus yang dulu jadi pusat perlawanan kini sunyi dari perdebatan ide. Diskusi digantikan oleh seminar formalitas, kritik digantikan oleh basa-basi, dan keberanian digantikan oleh kepentingan pribadi. Kita tumbuh dalam masa yang katanya bebas, tapi tanpa arah, tanpa suara, tanpa keberanian.
Saat ini ruang intelektual makin sempit dan suara mahasiswa makin pelan, pertanyaannya bukan lagi apakah kita mengenal Soe Hok Gie, tapi apakah semangatnya masih hidup dalam diri kita. Apakah kita masih punya keberanian untuk berpikir dan berbicara di luar arus yang nyaman?
Seperti yang pernah Gie tulis dengan getir, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Jangan biarkan nama Soe Hok Gie tinggal jadi kutipan dalam seminar dan spanduk kampus. Hidupkan kembali semangatnya dalam diri — dalam tulisan, dalam sikap, dalam keberanian menolak penindasan dan ketidakadilan.
*Penulis: Muh Fachrul Ananta (Mahasiswa IAIN Parepare)







