PROFESI-UNM.COM – Migrasi terutama migrasi tenaga kerja tidak dapat dibaca hanya sebagai rangkaian keputusan individual yang rasional atau sebagai lari dari kondisi “rumah”. Ia adalah fenomena struktur: titik temu antara pilihan individu, jaringan sosial, pasar tenaga kerja global, dan kebijakan negara yang membentuk peluang serta memproduksi kerentanan. Dalam esai ini saya membaca keenam pertanyaan tugas secara terpadu: apakah orang “bermigrasi” atau “dipaksa bermigrasi”; siapa paling diuntungkan; masalah apa yang ‘ditutupi’ oleh migrasi; mengapa perempuan mendominasi arus domestik internasional; bagaimana membayangkan migrasi yang adil; serta peran sosiolog dalam membaca semuanya. Saya menggunakan bukti empiris terbaru dan analisis kritis untuk menunjukkan bahwa migrasi sering simultan bersifat pilihan dan paksaan pilihan yang disusun oleh ketidakseimbangan kekuasaan.
Pertama, soal apakah orang memilih bermigrasi atau dipaksa: pengalaman empiris dan data besar menunjukkan kedua hal terjadi bersamaan. Banyak terjadi migrasi ekonomi yang dimotivasi oleh harapan peningkatan pendapatan namun pilihan itu tidak muncul dari ‘nol’ melainkan dari tekanan struktural: pengangguran, ketimpangan pembangunan antar wilayah, kegagalan sektor publik, atau bencana iklim yang mengikis kelangsungan hidup. Dalam konteks pasar global, perusahaan dan negara tujuan menciptakan permintaan untuk tenaga kerja murah; di sisi pemasok, jaringan perekrutan dan utang menegaskan bahwa migrasi seringkali “pilihan” yang diambil di bawah kondisi paksaan ekonomi (forced choice). Dengan kata lain, migrasi bukan sekadar oposisi biner antara sukarela dan paksa melainkan spektrum di mana relasi ekonomi, gender, dan birokrasi menentukan derajat kebebasan memilih. Data ILO terbaru menegaskan besarnya tenaga kerja migran dan tantangan struktural yang mengikutinya (mis. distribusi sektor, kerentanan peraturan), sehingga pembacaan yang sederhana tentang “keinginan” individu menjadi tidak memadai.
Kedua, tentang siapa paling diuntungkan: narasi neoliberal sering menonjolkan manfaat ekonomi migran (remitansi, aliran tenaga) dan keuntungan perusahaan yang mendapatkan tenaga kerja murah. Empiris menunjukkan keuntungan terbesar umumnya dinikmati oleh aktor yang berada di posisi kekuasaan: perusahaan pengguna tenaga kerja, perantara internasional yang memonopoli akses ke pasar kerja, dan negara tujuan yang memperoleh jasa murah tanpa menanggung biaya sosial (mis. jaminan sosial). Sementara itu, migran sendiri dan komunitas pengirim menerima manfaat langsung berupa penghasilan sering melalui remitansi tetapi juga menanggung biaya besar: biaya rekrutmen, risiko eksploitasi, pemisahan keluarga, dan ketidakpastian hak. Di tingkat makro, remitansi memang menyumbang porsi besar sumber devisa banyak negara World Bank melaporkan aliran remitansi ratusan miliar dolar per tahun tetapi aliran ini tidak otomatis menerjemahkan diri menjadi pembangunan struktural yang mengurangi ketergantungan migrasi. Remitansi memperbaiki konsumsi rumah tangga tetapi jarang membongkar akar kemiskinan struktural yang mendorong migrasi pada tempat pertama.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hubungan ini membawa kita pada pertanyaan ketiga: jika migrasi adalah “solusi”, masalah mana yang sebenarnya ditutupi? Migrasi sering berfungsi sebagai katup pelepas tekanan ekonomi keluarga mengirim anggota untuk menopang pendapatan rumah tangga sehingga statistik kemiskinan jangka pendek bisa menurun. Namun solusi semacam itu bersifat individual dan sementara; ia menutup kegagalan struktural seperti pengangguran sistemik, ketimpangan agraria, dan defisit kebijakan publik yang menciptakan kebutuhan migrasi. Ketika sebuah desa ‘terselamatkan’ oleh remitansi, hal tersebut dapat menutupi kegagalan negara menyediakan lapangan pekerjaan lokal, investasi publik, atau reforma agraria. Lebih problematis lagi, pemasangan solusi melalui pasar migrasi dapat mereproduksi ketimpangan: negara-negara pengirim menjadi pemasok tenaga kerja murah, sementara negara-negara tujuan memelihara akses ke tenaga tersebut tanpa memperbaiki kondisi upah atau hak pekerja. Dalam banyak kasus, narasi “keuntungan” migrasi meniadakan diskusi tentang redistribusi, reformasi struktural, dan tanggung jawab negara terhadap warga yang tertinggal.
Mengapa perempuan mendominasi aliran migrasi domestik internasional? Dua aspek kunci harus dibedah: struktur permintaan dan peran gender terinstitusional. Permintaan global untuk pekerjaan domestik, perawatan, dan layanan personal meningkat seiring demografi penuaan dan penetrasi kelas menengah di negara tujuan; pekerjaan-pekerjaan ini seringkali ditempatkan sebagai ‘ekstensi privat’ wanita, sehingga pasar tenaga kerja global mencari perempuan yang dapat diasosiasikan dengan tugas rumah tangga. Di sisi penawaran, norma gender dan pembagian kerja di rumah menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih mungkin mencari pekerjaan perawatan berbayar di luar negeri sebagai strategi rumah tangga untuk mengatasi kekurangan pendapatan. Ironisnya, pekerjaan ini sering mendapatkan status sosial yang rendah dan regulasi perlindungan yang lemah, sehingga perempuan menjadi garda depan kerentanan transnasional mereka mengisi kebutuhan ekonomi dunia sekaligus menanggung beban sosial yang tidak proporsional. Data sejumlah platform statistik menunjukkan proporsi besar migran pekerja di sektor jasa dan perawatan adalah perempuan, menandai relasi kuasa gender yang tersusun lintas rumah, pasar, dan negara.
Masalah eksploitasi perekrutan dengan biaya tinggi, utang, dan bentuk-bentuk kerja paksa menggarisbawahi hubungan antara struktur pasar dan pengalaman migran sebagai individu. Studi ILO dan kajian lembaga lain menunjukkan bahwa biaya rekrutmen dan utang dapat memunculkan kondisi debt bondage; hingga sekitar seperlima kasus kerja paksa berakar pada utang dan biaya rekrutmen. Ini menegaskan bahwa skema pasokan tenaga kerja yang tampak “legal” dapat menyamarkan mekanisme pemaksaan ekonomi. Praktik-praktik perantara yang tidak transparan dan ketiadaan penegakan hukum memperkuat posisi tawar negara tujuan dan perusahaan, sementara migran khususnya perempuan dan pekerja berkeahlian rendah adalah pihak yang paling dirugikan.
Lantas, bagaimana membayangkan migrasi yang adil? Keadilan migrasi menuntut rekonstruksi institusional: aturan rekrutmen yang adil (prohibisi biaya yang dibebankan ke pekerja), akses hukum dan jaminan sosial lintas batas, pengakuan keterampilan dan hak serikat pekerja transnasional, serta jalur migrasi legal yang mengurangi peran perantara ilegal. Praktik terbaik termasuk pengaturan bilateral yang melindungi hak-hak pekerja, mekanisme kompensasi untuk pelanggaran, serta program pembangunan lokal yang mengurangi kebutuhan memaksa warga keluar dari komunitas mereka. Keadilan juga berarti mengubah distribusi keuntungan: memaksa perusahaan dan negara pengguna untuk menanggung biaya sosial dan pajak yang dapat diinvestasikan kembali ke wilayah pengirim sebuah langkah yang menggeser beban dari individu ke struktur yang menguntungkan dari migrasi itu sendiri.
Peran sosiolog dalam membaca migrasi menjadi krusial di sini. Sosiolog tidak hanya mendeskripsikan mobilitas; posisi kritis mereka adalah membuka bagaimana migrasi memantulkan dan memperkuat relasi kekuasaan gender, kelas, ras, dan negara. Pendekatan sosiologis yang kuat menggabungkan mikro (narasi keluarga, jaringan perekrutan), meso (peran agen, komunitas diaspora), dan makro (kebijakan negara, kapitalisme global) untuk menunjukkan bagaimana ‘pilihan’ dihasilkan oleh struktur. Sosiolog harus juga bekerja kolaboratif dengan pembuat kebijakan, serikat, dan organisasi akar rumput untuk menerjemahkan analisis menjadi intervensi misalnya penelitian aksi untuk mereformasi praktik rekrutmen, atau studi longitudinal yang menunjukkan dampak remitansi pada ketahanan komunitas. Peran akademis ini bukan netral: membaca migrasi sebagai fenomena kompleks berarti mengambil posisi analitis yang mampu menantang narasi yang menyudutkan migran sebagai ‘penyelesai’ masalah ekonomi alih-alih korban struktur yang perlu diubah.
Simpulan reflektif: migrasi bukan sekadar hasil preferensi individu; ia adalah jawaban yang dihadirkan oleh sistem yang timpang di satu sisi pasar global yang mencari tenaga murah, di sisi lain komunitas yang dibiarkan menanggung beban pembangunan yang tidak merata. Perempuan mendominasi beberapa arus karena permintaan pekerjaan yang dilabeli “feminin” dan struktur gender domestik yang melokalisasi tanggung jawab perawatan. Sementara remitansi memang memberi nafkah, ia bukan substitusi untuk reforma struktural; dan praktik rekrutmen yang mahal atau tidak etis mengonstruksi bentuk paksaan modern yang menuntut intervensi regulatif. Membayangkan migrasi yang adil berarti merombak aturan main dari biaya rekrutmen yang adil, pengakuan hak lintas batas, hingga investasi struktural di wilayah pengirim sambil menggunakan lensa sosiologis untuk melihat di mana dan bagaimana kekuasaan bekerja dalam setiap tahap mobilitas.
Akhirnya, membaca migrasi dengan kritis berarti menerima ambiguitasnya: migran bisa menjadi agen yang membuat keputusan strategis sekaligus korban sistem yang mengeksploitasi pilihan tersebut. Memperjuangkan keadilan migrasi memerlukan sinergi analisis empiris, kebijakan proaktif, dan solidaritas transnasional suatu agenda di mana sosiolog memiliki peran sentral untuk mengurai struktur, memberi bukti, dan mendesain solusi yang menempatkan martabat manusia di pusat. (*)
*Penulis: Agustiawan (Mahasiswa Program Studi Sosiologi FIS-H UNM)







