PROFESI-UNM.COM – Di negeri ini, pertanyaan yang paling sederhana justru terasa paling menyesakkan: apakah kami masih manusia di hadapan pemerintah? Pertanyaan itu bukan lahir dari ruang kosong, melainkan dari kenyataan yang kian absurd. Di saat rakyat berjuang melunasi cicilan rumah, membayar biaya pendidikan, bahkan sekadar memenuhi kebutuhan harian, wakil rakyat di Senayan dengan tenang menyebut tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sebagai sesuatu yang “make sense”. Seakan-akan nalar publik bisa tunduk hanya dengan retorika yang lahir dari kursi empuk kekuasaan.
Ironi itu semakin lengkap ketika rakyat juga harus mendengar pernyataan menyesakkan dari Menteri Keuangan. Guru dan dosen, yang seharusnya menjadi tiang peradaban bangsa, justru sebagai beban berat bagi keuangan negara. Bahkan muncul wacana agar masyarakat turut menanggung gaji dan tunjangan guru dengan alasan APBN tidak sehat. Pernyataan semacam ini tidak hanya mencederai akal sehat, tetapi juga menyalahi logika konstitusi. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara, bukan beban yang di pundak masyarakat. Pendidikan adalah hak publik, bukan barang dagangan.
Kontradiksi ini menggoreskan luka batin sosial yang dalam. Kita seperti terpaksa mengamini bahwa yang berjuang mencerdaskan bangsa hanyalah “ongkos”, sementara yang bermewah-mewah dengan dalih representasi politik adalah “hak”. Dalam logika macam apa rakyat harus tunduk? Apakah kemanusiaan kami terukur semata dari kesabaran membayar pajak tanpa pernah dipertanyakan bagaimana uang itu terpakai?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Belum cukup di situ, rakyat juga terhadapkan pada pernyataan absurd lain: tanah dan rumah—ruang paling dasar tempat manusia membangun kehidupan—tetap saja kena pajak. Seolah tempat tinggal hanyalah komoditas, bukan hak asasi. Padahal, tanpa rumah, manusia kehilangan identitas sosialnya, kehilangan ruang aman untuk bertahan hidup. Jika rumah saja sebagai objek pungutan, sementara gedung-gedung mewah kekuasaan oleh dana publik, bukankah itu penghinaan terhadap martabat rakyat kecil yang berpuluh tahun menabung hanya untuk punya sebidang tanah?
Suara Kritis yang Tak Lagi Bisa Dibungkam
Tidak heran, suara-suara kritik bermunculan. Dari kalangan akademisi, pengamat, bahkan tokoh-tokoh publik, muncul kemarahan yang tak lagi bisa terbungkam. Rocky Gerung, misalnya, dengan keras menyatakan bahwa di negara lain, kepala pejabat yang menistakan logika publik seperti ini sudah tergulingkan. Boleh jadi pernyataan itu ekstrem, tapi esensi dari kemarahan itu adalah sederhana: rasa keadilan publik sudah lama terinjak-injak.
Pertanyaannya, sampai kapan rakyat harus menanggung ketimpangan yang terbungkus jargon-jargon ekonomi dan politik? Jika benar APBN tidak sehat, bukankah lebih logis memotong anggaran fasilitas DPR ketimbang melempar beban kepada guru dan rakyat kecil? Jika benar rumah adalah hak dasar, mengapa negara justru memperlakukan kepemilikan rumah sebagai ladang pendapatan?
Kenyataan hari ini menyingkap wajah asli relasi kuasa di Indonesia: pemerintah dan DPR hidup di menara gading, rakyat merangkak di bawahnya. Yang berkuasa bicara “rasionalitas anggaran”, rakyat diminta memahami. Pemerintah menambah tunjangan, rakyat diminta bersabar. Yang berkuasa menyebut guru sebagai beban, rakyat diminta ikut menutupinya. Dalam seluruh percakapan kebijakan itu, yang hilang justru satu hal: kemanusiaan.
Apakah kami masih manusia di hadapan pemerintah, ataukah sekadar angka dalam laporan pajak dan statistik kemiskinan? Pertanyaan ini seharusnya mengguncang nurani para pengambil kebijakan. Karena manusia bukan sekadar objek ekonomi, melainkan subjek politik yang memiliki martabat. Negara tidak boleh memperlakukan rakyatnya seperti beban, melainkan sebagai tujuan dari seluruh kebijakan.
Jika pemerintah benar-benar ingin mengembalikan kepercayaan publik, langkah pertama bukanlah melempar beban baru kepada rakyat, melainkan menata ulang prioritas anggaran. Guru harus menjadi investasi bangsa, bukan cost center. Rumah harus dipandang sebagai hak dasar, bukan komoditas pajak. Dan DPR, jika benar mewakili rakyat, seharusnya lebih dulu memotong fasilitas mewahnya sebelum bicara tentang kesulitan APBN.
Pada akhirnya, opini ini bukan sekadar kemarahan, melainkan seruan agar pemerintah kembali menempatkan rakyat sebagai manusia, bukan angka. Karena jika negara terus meminggirkan rasa keadilan, rakyat tidak hanya akan berhenti percaya, tetapi juga berhenti diam. Dan ketika suara rakyat bangkit, tidak ada benteng kuasa yang benar-benar kokoh menahannya.
Apakah kami masih manusia di hadapan pemerintah? Jawaban itu ada di tangan mereka yang kini duduk di kursi kekuasaan. Tapi sejarah selalu mengingatkan: kekuasaan yang mengabaikan kemanusiaan, cepat atau lambat, akan kehilangan legitimasinya.
*Penulis : Azmi Dzulfikar Laitupa







