M. Yunasri Ridho, Ketua Mejelis Permusyawaratan Mahasiswa (Maperwa) Universitas Negeri Makassar (UNM) yang juga mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) – (Foto: Dasrin – Profesi)

PROFESI-UNM.COM – Sebelumnya mohon maaf, barangkali ada hal yang kurang berkenan atau dianggap tidak etis dalam tulisan ini. Tapi percayalah, tulisan ini hadir berangkat dari niat yang tulus dan dimaksudkan sebagai bentuk cinta (kritik) penulis terhadap sistem pendidikan nasional secara umum dan UNM secara khusus. Tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita universal bangsa ini yaitu mewujudkan pendidikan yang adil, ilmiah, demokratis dan mengabdi pada kemanusiaan.

Karena penulis percaya dan yakin betul, bahwa sistem yang baik adalah sistem yang di dalamnya ada proses dialektika (tesa-antitesa-hipotesa) atau sederhananya ada upaya saling kritik yang terbangun di dalamnya, tentu kritik yang konstruktif. Sehingga di setiap waktu selalu ada ruang evaluasi untuk perbaikan.

Penulis memilih berada pada posisi yang cenderung oposisional, karena memang demikianlah tanggungjawab moral dan sosial mahasiswa, apalagi fungsionaris lembaga kemahasiswaan. Ya, mudah-mudahan saja tulisan ini ditanggapi dengan konstruktif, ilmiah dan bijaksana, tidak lain demi terjadinya ruang dialektika dan perbaikan di UNM.

***

Selamat datang di kampus Negeri “rasa-rasa swasta”, kampus yang terletak di sudut timur indonesia, sebut saja namanya Universitas Negeri Mahal. Perguruan tinggi dengan predikat “negeri”, tapi biaya kuliahnya lumayan mencekik, karena “katanya” biaya kuliahnya jauh melebihi biaya kuliah di kampus-kampus swasta. Padahal bukan rahasia lagi, kalau dari beribu-ribu mahasiswa UNM, banyak diantaranya berasal dari latar keluarga yang berekonomi lemah.

Ada yang masuk kampus ini berasal dari anak keluarga pengayuh becak, petani, nelayan, atau buruh. Ada yang masuk kampus ini dengan harus menjual sawah di kampungnya. Ada yang harus masuk kampus ini dengan meminjam ke rentenir di desanya. Ada yang harus masuk kampus ini dengan ketidak pastian biaya hidup sehari hari.

Ada yang harus masuk kampus ini, dengan peluh karena harus bekerja sehabis kuliahnya, misalnya bekerja sebagai buruh pencuci motor atau jasa pengantar anak-anak ke sekolah.

Siapapun tentu akan bangga bisa masuk kampus ini, Negeri loh katanya. Barangkali, ada juga anak pejabat, pengusaha, keturunan bangsawan, konglomerat, masuk di kampus ini.

Tapi, tolong jangan samaratakan kami semua dengan mereka. Jangan jadikan keberadaan mereka sebagai standar untuk mempermahal biaya kuliah. Jangan sampai itu terjadi. Dan ingat jangan ada diskriminasi dalam pemberian akses dan pelayanan. Bukankah setiap orang bersamaan kedudukannya di hadapan hukum, dan sama-sama berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas serta terjangkau.

Jujur saja, siapapun kalau menggunakan matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, akalnya untuk memikirkan dan hatinya untuk merasakan, maka pasti akan berpendapat sama, bahwa UNM memang sedang tidak baik-baik saja, waktu ke waktu kondisinya sama, walaupun mungkin ada upaya untuk berbenah dari pihak birokrasi (kalau benar demikian, tentu kami akan dukung dan siap berkontribusi semaksimal mungkin).

Kalaupun ada yang berubah barangkali hanya akreditasinya, yang katanya baru-baru ini meraih A dari BAN PT; Alhamdulillah, selamat, selamat, selamat. Mantaplah untuk bapak pimpinan yang baru kita. Luar biasa kerja keras, cerdas dan muda-mudahan jujur dan ikhlas. Moga-moga akreditasi itu benar-benar berdasarkan kondisi objektif UNM saat ini.

Sekedar info, di UNM, dari 81 program studi hanya 14 yang berakreditasi A. Itupun didominasi oleh salah satu fakultas. Padahal jelas yang menjadi basis penyelenggaraan tridarma ada di program studi. Silahkan para hadirin pembaca renung-renungkan kembali fakta itu.

Selain akreditasi yang berubah adalagi yang juga terus berubah, warga UNM tentu sudah pada tahu, yaitu biaya kuliahnya. Di Universitas Negeri Mahal ini jumlah biaya kuliahnya makin hari makin mencekik, tahun ke tahun terus bertambah dan itu terjadi di hampir semua program studi.

Kabar terakhir, katanya di salah satu fakultas biaya kuliahnya bahkan sampai menyentuh angka Rp 8.500.000, parahnya karena dasar yang digunakan adalah alasan bahwa jalur tersebut memang diperuntukkan untuk mereka yang kaya.

Alasan berikutnya adalah bahwa semahal apapun biayanya tetap akan diminati oleh banyak orang karena jurusan/program studi tersebut “katanya” favorit.

Semua orang berlomba memasukinya, tentu mereka yang berkantong tebal. Untuk yang tipis bersabar saja. Betapa diskriminatifnya kebijakan tersebut. Wajar kalau mahasiswa curiga dan mempersoalkannya, karena memang ada yang janggal dalam kebijakan tersebut.

Pertama dalam UUD 1945 pada pembukaannya jelas tertuang bahwa salah satu tujuan didirikannya negara ini adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”, di batang tubuhnyapun pada pasal 28 C ayat (1) ditetapkan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan berhak mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.

Dan kembali dipertegas lagi dalam pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Kedua, dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab IV ditetapkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan bermutu”.

Ketiga, dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 85 ayat (2) disebutkan bahwa “pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa atau pihak lain yang membiayainya”. Pasal 88 ayat (4) ditegaskan kembali bahwa “biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Keempat, Permenristekdikti nomor 126 tahun 2016 tentang Penerimaan mahasiswa baru pada program sarjana di PTN pasal 3 poin (a) ditegaskan bahwa pola penerimaan mahasiswa baru diselenggarakan dengan berdasarkan prinsip adil atau non diskriminatif termasuk dalam hal kedudukan sosial dan kemampuan ekonomi.

Kelima, Permenristekdikti nomor 39 tahun 2016 tentang BKT dan UKT pasal 3 ayat (1) yang menetapkan bahwa “UKT sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya”.

Hal tersebut kembali dipertegas dalam pasal 10 ayat (2) yang pada intinya menegaskan bahwa UKT atau biaya kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa harus berdasar pada kemampuan ekonomi. Tidak boleh ada diskriminasi dalam proses penerimaannya. Demikian ketentuan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Namun, dalam pelaksanaannya terjadi deviasi atau jarak antara ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. Terbukti karena dalam implementasinya, biaya kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa (utamanya jalur mandiri) tidak berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa.

Tapi yang miris bukannya menyelesaikan persoalan tersebut dengan bijak, malah beberapa kawan mahasiswa yang memepertanyakannya justru diancam akan dikomdiskan. Parahkan? lalu, kapan kampus ini bisa dewasa kalau persolan rumah tangga sendiri selalu diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan apalagi ini institusi akademik.

Yakinlah, para mahasiswa mempersoalkan kebijakan-kebijakan tersebut bukan karena membenci kampus ini apalagi para birokrasi kampus, justru karena saking cinta. Berdosa rasanya menyaksikan ketidak benaran bersiliweran di depan mata setiap saat.

Siapapun pasti menginginkan UNM benar-benar menjadi universitas yang berstandar internasional, world class university seperti yang digaungkan oleh hampir semua kampus. Tapi tidak dengan menghalalkan segala cara, apalagi menjadikan UNM seperti menara gading; sulit diakses oleh masyarakat lemah, miskin, duafa serta proses dan orientasi pembelajarannya jauh dari persoalan kehidupan rakyat.

Terutama bila kampus dikelola seperti perusahaan, yang ujung-ujungnya adalah akumulasi kapital atau kepentingan profit. Kami menginginkan UNM yang berkualitas internasional tapi tetap berbiaya murah bahkan gratis, diselenggarakan secara ilmiah, demokratis, transparan, akuntabel dan paling penting adalah berorientasi pada kerja kemanusiaan.

Ya, itu tidak lain sebagai bentuk bakti dan pelayanan sosial pemerintah atau negara terhadap rakyat yang telah membayar pajak dan memandatnya.

Hal lainnya adalah adanya indikasi (masih dugaan) bahwa birokrasi di UNM mulai anti terhadap suara-suara kritikan. Padahal mestinya kampus ramah dan akrab dengan perbedaan pendapat termasuk kritikan.

Karena itu, keliru ketika kampus justru alergi dengan suara-suara kritikan. Justru, harusnya birokrasi kampus berbesar hati, bila mendapat kritik. Karena itu pertanda nurani anak-anak bangsa masih hidup, idealism kemanusiaan masih berdenyut.

Berkali-kali disampaikan bahwa kampus bukanlah institusi politik, tetapi lembaga akademik. Itulah sebabnya kampus harus menjadi garda terdepan menjaga kemerdekaan berpikir serta kebebasan akademik. Kampus harus dibebaskan dari tekanan apapun selain ilmu pengetahuan.

Dengan kondisi yang lumayan parah ini, maka peran Rektor sebagai pimpinan tertinggi atau mandataris senat dan kemenristekdikti serta seluruh sivitas akademika agar mengambil langkah cerdas dan cepat untuk segera menyelesaikan banyak bengkalai di UNM, tak usah ngomong soal world class university, kampus modern, cukup benahi bengkalai yang terus menerus menjadi warisan saja dulu, seperti penentuan nominal UKT yang tidak berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa atau pihak yang membiayainya untuk semua jalur; SNMPTN, SBMPTN, PMBM atau Mandiri, penghapusan pungutan-pungutan di luar UKT utamanya pada proses penyelesaian studi, pelaksanaan tridarma perguruan tinggi, penerimaan mahasiswa baru, dan kegiatan akademik lainnya, benahi infrastruktur atau sarana prasarana yang kurang memadai, pertanggungjawabkan pembangunan yang kandas, tegasi tenaga pendidik yang kurang profesional, usut tuntas indikasi percaloan dalam penerimaan mahasiswa baru (utamanya di jalur mandiri), transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan (utamanya dalam hal penerapan sistem UKT), penghapusan tarif penggunaan fasilitas kampus, dan yang paling penting adalah mendorong upaya percepatan penyelesaian kasus-kasus korupsi di UNM.

Barangkali tulisan ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi setidaknya menjadi cermin untuk berefleksi, mengevaluasi bahwa sampai saat ini masih ada setumpuk bengkalai yang harus kita selesaikan bersama. Sebab, apabila permasalahan ini terus dibiarkan maka yakin dan percaya, tahun-tahun berikutnya persoalan-persoalan yang sama bahkan persoalan yang baru akan terus hadir dan kian menumpuk.

Satu hal yang pasti dan ini penting untuk segera diselesaikan karena sudah menjadi keresahan berjamaah di hampir semua kampus termasuk UNM yaitu sistem UKT “Uang Keluar Terus” yang makin hari makin tidak tunggal.

Kalau kita sepakat bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sekaligus untuk penyemaian nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan, cinta tanah air serta nilai universal penghormatan pada alam dan lingkungan hidup. Maka pemerintah dan seluruh pihak penyelenggara pendidikan harus berani bersikap dan tegas bahwa (a) pendidikan bukanlah bidang usaha komersil, tetapi kerja sosial dan kultural serta merupakan tanggungjawab kemanusiaan untuk humanisasi dan mencerdaskan kehidupan bangsa; (b) pendidikan dasar, menengah sampai tinggi adalah tanggungjawab negara sebagai salahsatu bidang layanan yang menjadi kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya.

Dengan begitu, kita baru bisa mengatakan bahwa pendidikan adalah jalan mencerahkan masa depan. Karena apabila tidak maka jangankan menjadi jalan, masa depan pendidikan sendiri akan suram.

Pada akhirnya, kita menyaksikan beberapa waktu belakangan, esensi pendidikan yaitu kerja humanisasi kian hari kian terpinggirkan, tertimbun oleh nafsu-nafsu kebinatangan dalam diri (utamanya oknum penyelenggaranya).

Ya, mudah-mudahan di tengah-tengah zaman yang semakin tidak waras tersebut, masih ada akal sehat dan nurani kemanusiaan yang hidup dan terus menular berlipat ganda hingga akhirnya semua tergerak untuk berbenah. Kedepan kita berharap sebutan Universitas Negeri Mahal tidak ada lagi, berganti menjadi Universitas Negeri Murah, Universitas Negeri Merakyat atau Universitas Negeri Manusiawi. Jayalah dalam segala tantangan. (*)


*Penulis adalah M. Yunasri Ridho, Mahasiswa Jurusaan PPKn (Ketua Maperwa UNM)

Komentar Anda

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan