[OPINI] MELEMAHNYA JATI DIRI KAUM TERPELAJAR

Avatar photo

- Redaksi

Senin, 30 Juni 2025 - 22:54 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret Fuad Farizt De Aprilia, (Foto : Ist.)

Potret Fuad Farizt De Aprilia, (Foto : Ist.)

PROFESI–UNM.COM – Di tengah kondisi hiruk pikuk yang terjadi di dunia kampus saat ini, dimana kampus pada masa ini hanya dipandang semata-mata menjadi pabrik pencetak para kaum pekerja dan ladang untuk tempat kita menanam bibit kepatuhan. Semua itu tidak akan lepas dari pengaruh eksternal maupun internal yang mempengaruhi cara berfikir seseorang (mahasiswa) yang pada saat ini struktur berfikirnya hanya persoalan kuliah, mendapatkan nilai tinggi dan kemudian dapat melamar sebuah pekerjaan yang diinginkan.

Pola pikir seperti itu memang lah tidak bisa disalahkan tetapi para mahasiswa juga harus sadar bahwa dia memiliki peran sosial sebagaimana yang telah tercantum dalam Tri Dharma Perguruan tinggi yakni pengabdian pada masyarakat. Namun peran sosial itu kian lama semakin dilupakan, ruang-ruang diskusi yang dahulunya dijadikan dasar oleh mahasiswa untuk melawan kesewenang-wenangan dan menciptakan sebuah perubahan itu sudah hilang begitu cepat, bagaikan kata yang tidak sempat diucapkan oleh angin kepada daun kering yang menjadikannya berguguran, pemikiran-pemikiran kritis yang dulunya dijadikan sebagai kekuatan yang melekat dalam diri seorang mahasiswa, kini telah lenyap bagaikan debu yang dimakan oleh hujan.

Baca Juga Berita :  [Opini] Matinya Demokrasi Universitas Negeri Mahal

Lantas, apa lagi yang patut dibanggakan oleh kita yang menjadi mahasiswa saat ini, ketika kita sudah tidak lagi menganggap kampus sebagai tempat untuk kita menggali sedalam-dalamnya serta menumbuh suburkan sebuah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar tempat untuk mengasah kepatuhan tetapi untuk mengeluarkan percikan api pembangkangan, karena pada dasarnya di dalam kampus kebebasan berfikir harus di junjung tinggi bukan malah di penjarakan. Jangankan untuk diskusi, konsolidasi, serta melakukan sebuah advokasi, literasi pun itu tidak pernah lagi terapkan oleh mahasiswa di dunia kampus saat ini.

Buku-buku di perpustakaan kini hanya menjadi hiasan belaka yang sudah mulai di gantikan oleh AI. Terkadang kita lupa, gelar “Mahasiswa” bukan hanya sekedar status, tetapi juga hadir dalam perubahan dan mahasiswa juga datang ke kampus bukan hanya untuk lulus akan tetapi juga tumbuh menjadi pribadi humanis sebagai kaum yang terpelajar. (*)

*Penulis: Fuad Farizt De Aprilia

Berita Terkait

[Opini] Wajah Kampus Hari Ini: Sepi Pemikiran, Sibuk Formalitas
[Opini] Genosida Biological Diversity
[Opini] Tahun Ajaran Baru, Ketimpangan Lama
[Opini] Ketika Rambut Gondrong Lebih Dipermasalahkan daripada Mutu Pendidikan
[Opini] Membaca Adalah Momen Dialektika dengan Orang-Orang Hebat Sepanjang Masa
[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia
[OPINI] Malu yang Salah Alamat
[Opini] Sekolah Rakyat
Berita ini 62 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 23:56 WITA

[Opini] Wajah Kampus Hari Ini: Sepi Pemikiran, Sibuk Formalitas

Kamis, 17 Juli 2025 - 23:23 WITA

[Opini] Genosida Biological Diversity

Rabu, 16 Juli 2025 - 19:41 WITA

[Opini] Tahun Ajaran Baru, Ketimpangan Lama

Rabu, 16 Juli 2025 - 19:31 WITA

[Opini] Ketika Rambut Gondrong Lebih Dipermasalahkan daripada Mutu Pendidikan

Jumat, 11 Juli 2025 - 23:20 WITA

[Opini] Membaca Adalah Momen Dialektika dengan Orang-Orang Hebat Sepanjang Masa

Berita Terbaru

Potret Muhammad Ryaas Risyady, (Foto: Ist.)

Opini

[Opini] Genosida Biological Diversity

Kamis, 17 Jul 2025 - 23:23 WITA

Ilustrasi Mahasiswa KKN Mengecat Rumah Warga Bersama Anak Desa, (Foto: AI.)

Berita Wiki

Ketika Mahasiswa Turun ke Desa, Ilmu Diuji Nyata

Kamis, 17 Jul 2025 - 23:00 WITA

Potret Panitia ICE SPORT 2025, (Foto: Ist.)

Agendasiana

ICE SPORT Di balik Layar, Soliditas Panitia Jadi Kunci Utama

Kamis, 17 Jul 2025 - 22:48 WITA