[Opini] Intoleransi Sebagai Kabut yang Menyembunyikan Akar Masalah Bangsa

Avatar photo

- Redaksi

Minggu, 22 Juni 2025 - 20:11 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret Muhammad Aswin R, (Foto : Ist.)

Potret Muhammad Aswin R, (Foto : Ist.)

PROFESI-UNM.COM – Dalam percakapan publik hari ini, kata “intoleransi” seolah menjadi mantra utama yang menjelaskan segala bentuk konflik sosial. Setiap ketegangan antarkelompok, setiap percikan perbedaan, langsung merujuk sebagai gejala intoleransi. Namun, bila kita menembus kabut wacana ini, ada lanskap yang lebih dalam dan lebih gelap: kesenjangan ekonomi, eksploitasi struktural, dan ketidakadilan sistemik.

Mengapa masyarakat tampak lebih mudah tersulut oleh identitas? Karena akses terhadap sumber daya tanah, pendidikan, pekerjaan, layanan publik tidak terbagi secara adil. Ketika ruang hidup semakin sempit dan kompetisi dipertajam oleh ketimpangan, maka identitas menjadi alat perlawanan, bahkan pelarian. Dalam kondisi seperti itu, konflik bukan sekadar soal siapa yang berbeda, tapi siapa yang terkesampingkan.

Baca Juga Berita :  [Opini] Polemik Kuliah Online

[Opini] Ada yang Berantakan tapi Bukan Kamarku, Melainkan Kampusku

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ironisnya, perdebatan tentang intoleransi sering kali melupakan bahwa intoleransi paling awal dan paling menyakitkan justru datang dari sistem yang tak adil: ketika negara berpihak pada segelintir elite, ketika hukum tunduk pada modal, dan ketika suara rakyat miskin terbungkam oleh narasi harmoni semu.

Intoleransi bukan akar, ia hanya cabang yang tumbuh dari tanah yang telah lama teracuni oleh ketimpangan. Maka, bila bangsa ini ingin benar-benar menyelesaikan persoalan sosialnya, ia harus berani menggali lebih dalam mengungkap akar ekonomi-politik dari setiap gejolak sosial yang ada. Mengakui bahwa persoalan hari ini bukan semata-mata karena kita berbeda, tapi karena kita hidup dalam sistem yang menjadikan perbedaan sebagai senjata.

Baca Juga Berita :  UKM Seni Sukses Selenggarakan Mappassili

Arah bangsa akan terus kabur selama kita sibuk memadamkan api tanpa mematikan sumber bara. Selama keadilan sosial hanya menjadi slogan, bukan kebijakan, maka intoleransi akan terus tumbuh,. Bukan sebagai penyakit masyarakat, tapi sebagai gejala dari tubuh bangsa yang tak pernah benar-benar disembuhkan. (*)

SALAM

*Penulis : Muhammad Aswin R

Berita Terkait

[Opini] Tahun Ajaran Baru, Ketimpangan Lama
[Opini] Ketika Rambut Gondrong Lebih Dipermasalahkan daripada Mutu Pendidikan
[Opini] Membaca Adalah Momen Dialektika dengan Orang-Orang Hebat Sepanjang Masa
[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia
[OPINI] Malu yang Salah Alamat
[Opini] Sekolah Rakyat
[OPINI] MELEMAHNYA JATI DIRI KAUM TERPELAJAR
[Opini] Bengkoknya Konstitusi dan Lurusnya Meja Kopi
Berita ini 71 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 16 Juli 2025 - 19:41 WITA

[Opini] Tahun Ajaran Baru, Ketimpangan Lama

Rabu, 16 Juli 2025 - 19:31 WITA

[Opini] Ketika Rambut Gondrong Lebih Dipermasalahkan daripada Mutu Pendidikan

Jumat, 11 Juli 2025 - 23:20 WITA

[Opini] Membaca Adalah Momen Dialektika dengan Orang-Orang Hebat Sepanjang Masa

Rabu, 9 Juli 2025 - 15:49 WITA

[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia

Senin, 7 Juli 2025 - 23:08 WITA

[OPINI] Malu yang Salah Alamat

Berita Terbaru

Ilustrasi Seseorang Kelelahan Akibat Begadang, (Foto: AI.)

wiki

Tidur Dikorbankan, Kesehatan Dipertaruhkan

Rabu, 16 Jul 2025 - 20:28 WITA

Potret Wahyu Hidayat, mahasiswa PPG Prajabatan UNM, (Foto: Ist.)

Opini

[Opini] Tahun Ajaran Baru, Ketimpangan Lama

Rabu, 16 Jul 2025 - 19:41 WITA