PROFESI-UNM.COM – Gara-gara terlalu lama memenjarakan diri akibat ulah pandemi, nalar kritis akhirnya memberontak hendak merasakan lagi yang namanya kebebasan. Usaha Indonesia dalam memperbaiki situasi dan kondisi bumi pertiwi seperti sedang bermain sepak bola, tidak ada yang berani bertaruh kepastian finalnya. Namun, satu hal yang pasti adalah jajaran rezim masih sibuk menggoreng bola ke gawang.
Wasit punya otoritas penuh atas pertandingan, namun tidak mampu mengontrol spekulasi yang bocor keluar ke mulut dan tersebar dari mulut ke mulut juga. Saya tidak bilang kalau konspirasi bukan termasuk spekulasi. Seperti bau kentut yang tercium jelas di hidung pengamat konspirator yang berupaya menunjukkan realitas kalau pemain kita sebenarnya hanya bersandiwara di atas panggung lapangan.
Itu hanya drama, katanya. Kalau ada yang tersleding jatuh, terluka tapi sedikit, media dengan gerakan cepat men-zoom luka kecilnya hingga nampak besar. Dengan begitu media berhasil memancing keluar empati dan kecemasan penonton, menggigit jari karena tak kuasa melihat luka sedemikian besar mengagah. Padahal pemainnya sendiri nyantai aja, gak pusing kok.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagiannya lagi marah, ngak terima kalau luka tadi di lecehkan karena disebut kecil, sepeleh, remeh. Ini menyangkut kesehatan bung. Performa maksimal pemain berasal dari kesehatan yang prima. Luka sebesar biji semangka pun ikut andil persoalan kualitas menggoreng bola. Soal kesehatan adalah soal kemanusiaan. Kalau di Indonesia sendiri ada beberapa orang yang terjangkit wabah penyakit malah yang diisolasi satu negara.
Bayangkan kalau terjadi pembunuhan massal di Indonesia, yang gerak bukan cuma pansos atau yang berbaju coklat dan loreng saja, seiisi dunia tak akan membiarkan itu, karena ini bukan lagi soal kamu dari negara mana, agama mana, nenek moyangnya siapa, tapi kita satu dan sama-sama manusia yang juga terpekik ulah batin, tak tega melihat kawan yang di sana sama-sama nggak bisa nonton drama korea sambil minum kopi.
Kalau ada yang sedang kesulitan bangkit dari aspal karena baru saja membanting motor ke jalan, maka yakin lah pasti akan ada yang membantumu, kecuali kalau ngak ada orang disana. Dengan begitu yang tadinya berpikir kalau mereka hanya asik mementaskan drama di lapangan dan yang satunya merasa kalau kesehatan adalah murni kemanusiaan, mereka sama-sama seri dalam arena teoritis maka yang jadi mediator di kedua kubuh adalah literasi kebun binatang. Hasil kesepakatan penamaan untuk hewan seperti Anjing, babi, asu, jangkrik mendadak memenuhi kolom medsos.
Kita tau kalau yang pro pasti mayoritas yang sedang menggantung di tubuh penguasa. Apapun yang dilakukan penguasa bagi mayoritas yang pro itu adalah kebenaran, tindakannya berarti perbaikan. Ia memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk membalik yang salah jadi benar, yang neraka jadi surga, yang benar jadi hoax, yang hoax jadi benar.
Kalau sudah begitu kepada siapa lagi saya harus menggantung kepercayaan kalau yang ngumumin hoax justru hoax itu sendiri. Tak heran juga Rocky Gerung ngomong kalau negara adalah penyebar hoax terbaik.
Bagi petarung, ketiadaan lawan berarti kemenangan. Kaum minor yang hobi ngoreksi dengan menabur bumbu konspirasi ibarat lawan tanding bagi pemerintah. Bagaimana tidak, pemerintah sudah tampil dengan gagah berani di hadapan media dalam upaya mendepak corona yang tidak punya visa keluar dari Indonesia, tapi masih dicap sedang pentas drama dengan corona itu.
Yah ngeselin kan, olehnya itu lawan pemerintah kita perlu ditiadakan supaya bisa fokus mengurus kepentingannya, tanpa ada pangganggu macam konspirator. Tapi eitss. Jangan salah. Negara kita ini belum cukup matang buat dilepas begitu saja kalau orang-orangnya belum mampu mengubur dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain, kalau rakyatnya saja sampai hari ini masih sering kena koreksi itu artinya kerjaannya masih belum beres, apalagi sebesar Indonesia yang menampung jutaan rakyat itu.
Kalau kata Sachiko Murata dalam The Tao Of Islam: Segala sesuatu diketahui melalui kebalikannya. Kita bisa menentukan sebuah kayu itu panjang atau tidak, karena sebelumnya kita pernah berjumpa dengan kayu yang tidak sepanjang tadi, maka itu disebut kayu pendek. Panjang tak bisa disebut panjang kalau tak ada pendek.
Kalau kita minum kopi bilangnya pahit, itu karena sebelumnya sudah pernah ngerasain gula yang manis. Kalau sepanjang sejarah gula itu tidak pernah ditemukan, maka sampai saat ini ngak bakalan ada yang nyeloteh kalau kopi rasanya pahit.
Manusia tak bakalan bisa disebut pemberani kalau tak ada penakut, keduanya tidak bakalan lengkap tanpa yang lain. Manusia diciptakan di dunia berpasang-pasangan, belum sempurna rasanya punya anak tapi belum punya istri cap halal. Kalau ditanya kenapa yah memang manusianya dari lahir gitu sukanya saling gantung, pendeknya karena sudah takdir, sunnatullahnya, jalan ninjanya.
Kalau kumpulan manusia mulai berkerumun di suatu wilayah dan membentuk yang namanya Negara, maka sudah jadi jalan ninjanya buat dikritik, jangan menghilangkan pengkritiknya karena mereka akan menunjukkan mana yang salah dan buruk, dengan begitu Negara akan mengenal yang namanya benar dan baik.
Kata Emha Ainun Nadjib dalam Sinau Bareng Markesot : Umat yang paling bodoh adalah yang masih mempertengkarkan kebenaran. Kebenaran sejatinya milik Tuhan, kalau manusia mah cuma dapat cipratannya saja.
Sudah tentu barang mustahil tapi kok manusia seenaknya mengklaim dirinya paling benar, gimana ceritanya.
Mereka dengan lantang meneriakkan Bhinneka Tunggal Ika, tapi beda sedikit kok didiskriminasi, dihina, dijatuhkan, ditenggelamkan. Kalau seperti itu jangankan tenggelam dalam lautan kebenaran, cipratannya saja mungkin ngak bakal sampai.
Belum sah rasanya kalau hidup berbangsa dan bernegara, tapi malah menghindari pertentangan, persilangan pendapat. Padahal esensi kita membutuhkan itu untuk menemukan makna sejati kebenaran dari tumpukan kesalahan. Memangnya ada yang makan tapi tidak butuh minum ?.(*)
*Penulis: Muh. Rezky, mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar