
PROFESI-UNM.COM – Pada dasarnya tulisan ini hadir sebagai sebuah rangkuman pemikiran, dari beberapa mahasiswa yang intens mendiskusikan wacana yang berkaitan dengan permasalahan di dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan Pendidikan Tinggi. Beberapa pekan yang lalu, penulis bersama dengan beberapa mahasiswa yang tergabung dalam lingkar ”nongkrong produktif“ yang didominasi mahasiswa angkatan 2015 dan 2016, serta beberapa pengurus Lembaga Kemahasiswaan (LK) Universitas Negeri Makassar (UNM). Kami mencoba menelaah implementasi Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa yang masuk lewat jalur mandiri.
Dari pendiskusian tersebut ditarik sebuah kesimpulan sementara, bahwa penetapan UKT mahasiswa jalur mandiri di UNM nampaknya keliru. Kekeliruan itu terjadi dikarenakan UNM dinilai tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dalam menetapkan nominal UKT Mahasiswa Jalur Mandiri, sehingga yang terjadi adalah penyeragaman UKT.
Akibat dari ketentuan itu, tentu sangat merugikan mahasiswa dan membuat kebanyakan mahasiswa bertanya-tanya. Apa dasar dan alasan sehingga beban pembayaran UKT mahasiswa jalur mandiri ditetapkan tanpa memperhatikan kemampuan ekonominya, seperti UKT mahasiswa yang lolos melalui jalur penerimaan SNMPTN dan SBMPTN?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Berangkat dari pertanyaan serupa, akhirnya mendorong penulis serta rekan mahasiswa lainnya untuk menelisik lebih lanjut perihal UKT mahasiswa jalur mandiri.
Setelah mempelajari aturan yang berkaitan dengan ketentuan tersebut. Penulis menemukan adanya indikasi bahwa UNM keliru menerapkan UKT pada Mahasiswa jalur Mandiri. Penilaian ini didasarkan pada tinjauan perundang-undangan, yakni ketentuan UU No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi dan Permen No. 39 Tahun 2016 tentang BKT dan UKT.
Sebelum lebih jauh membahas terlebih dahulu akan diulas perbedaan antara jalur penerimaan SNMPTN, SBMPTN dan Mandiri. Dalam ketentuan Permen No. 126 tentang” pola penerimaan mahasiswa baru” yang berpangkal pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pasal 73. Penulis menilai ketentuan tersebut hanya mengatur pola penerimaan, dimana kampus diberikan ruang untuk membuka penerimaan jalur lain dalam hal ini Mandiri.
Lebih lanjut, ketentuan tersebut sebatas mengatur tentang bentuk seleksi, waktu pelaksanaan, dan pembiayaan penyelenggaraan masing-masing jalur penerimaan. Sementara ketentuan dalam penetapan golongan UKT/beban pembayaran per mahasiswa diatur dalam ketentuan lain (Permen No. 39 Tahun 2016 tentang BKT dan UKT).
Dalam ketentuan Permen No. 39 tahun 2016 tentang BKT dan UKT pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa “UKT sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) terdiri dari beberapa kelompok ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”. Bahkan dalam peraturan yang lebih tinggi yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga ditegaskan bahwa pembayaran yang ditanggung oleh mahasiswa sekiranya memperhatikan kemampuan ekonomi. Seperti yang terkandung dalam Pasal 76,85 dan 88, berikut bunyi pasalnya;
- Pasal 76 ayat 3 “perguruan tinggi atau penyelenggara perguruan tinggi menerima pembayaran yang ikut ditannggung oleh mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya”
- Pasal 85 ayat 2 “pendanaan pendidikan tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggug oleh mahasiswa sesuai dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”
- Pasal 88 ayat 4 “biaya yang ditanggung oleh mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”
Apabila mengacu pada ketentuan diatas, maka sudah sepatutnya pimpinan menetapkan gologan UKT/beban pembayaran mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonomi, bukan ditetapkan secara sepihak, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Dari uraian ini penulis kemudian berpandangan bahwa UKT tersebut tidaklah dijalankan berdasarkan ketentuan yang ada, sehingga dianggap perlu untuk ditinjau ulang oleh pimpinan Birokrasi. Namun apabila penulis dianggap keliru dalam memahami ketentuan yang berkenaan dengan persoalan yang dimaksudkan penulis berharap agar pihak bersangkutan bisa meluruskan.
*Penulis adalah Arfan Rahman, Wakil Presiden (Wapres) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Periode 2014-2015