[OPINI] Ketika Kampus Tak Selalu Ramah: Sebuah Catatan untuk Mahasiswa Baru

Avatar photo

- Redaksi

Selasa, 12 Agustus 2025 - 18:11 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret Assidiq Warista, (Foto: Ist.)

Potret Assidiq Warista, (Foto: Ist.)

PROFESI-UNM.COM – Setiap tahun, mahasiswa baru datang dengan semangat tinggi. Mereka membawa harapan akan kehidupan kampus yang katanya membebaskan, mencerahkan, dan membentuk karakter. Di berbagai fakultas, mereka disambut dengan senyuman, kata-kata motivasi, serta janji-janji manis: bahwa dunia perkuliahan akan menjadi masa paling berkesan, tempat di mana mimpi akan mulai dibangun.

Namun, izinkan saya berkata jujur: tidak semua yang akan kalian hadapi itu indah. Di balik segala euforia orientasi kampus dan semangat idealisme akademik, ada satu hal penting yang jarang dibicarakan secara terbuka: kampus tidak selalu menjadi tempat yang adil. Dunia akademik kita, dalam banyak kasus, masih menyimpan persoalan lama yang tak kunjung selesai—penindasan terhadap mahasiswa oleh sebagian dosen yang menyalahgunakan kekuasaan.

Hubungan antara dosen dan mahasiswa idealnya adalah hubungan pendidik dan pembelajar. Tapi dalam realitasnya, tak sedikit dosen yang memposisikan diri sebagai penguasa mutlak. Mahasiswa harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya terlalu banyak. Kritik dianggap sebagai bentuk perlawanan, bukan bagian dari proses berpikir. Bahkan, tidak jarang mahasiswa yang vokal justru “dipetakan” sebagai pembuat masalah.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketika Kampus Tak Selalu Ramah

Penindasan itu hadir dalam banyak bentuk. Mulai dari komentar verbal yang merendahkan, ancaman nilai, pembiaran tugas yang tidak manusiawi, hingga praktik eksploitasi dalam proyek penelitian atau kegiatan kampus. Mahasiswa menjadi korban diam dari relasi kuasa yang tidak sehat. Mereka sering kali memilih diam, bukan karena tidak tahu, tapi karena takut: takut tidak lulus, takut dibalas, dan takut dikucilkan.

Ironisnya, semua ini tidak pernah menjadi bagian dari sambutan resmi. Mahasiswa baru hanya diberi pesan normatif: “Ikuti aturan”, “Jangan macam-macam”, “Jaga nama baik almamater.” Tidak pernah ada yang berkata, “Jika kamu merasa tidak diperlakukan adil, kamu punya hak untuk bicara.” Tidak ada peringatan tentang sistem akademik yang bisa sangat timpang dan tidak berpihak pada mahasiswa. Padahal, sambutan yang baik adalah sambutan yang jujur bukan sambutan yang menutupi luka dengan kata-kata manis.

Baca Juga Berita :  281 Mahasiswa KKN UNM Lakukan Pelepasan ke Takalar

Kampus sering digambarkan sebagai rumah intelektual, tempat ilmu pengetahuan tumbuh, dan tempat pemikiran kritis diberi ruang. Tapi gambaran ini akan terasa absurd ketika seorang mahasiswa takut mengajukan pendapat karena dosennya dikenal “galak”. Atau ketika seseorang harus merendah berlebihan hanya demi bisa dibimbing skripsi. Kampus bukan tempat netral. Ia adalah sistem. Dan seperti semua sistem, ia punya relasi kuasa, punya privilege, dan punya ketidakadilan yang bisa bersembunyi di balik seremonial dan gelar akademik. Universitas bisa saja menjadi tempat untuk tumbuh tapi juga bisa menjadi mesin yang menekan, jika budaya feodal dan ketakutan tetap dilestarikan.

Budaya diam di kalangan mahasiswa bukan tanpa sebab. Banyak dari mereka melihat sendiri bagaimana mahasiswa yang melapor justru dipersulit. Bagaimana keberanian dianggap sebagai ancaman. Dan bagaimana sistem pengaduan internal kampus sering kali hanya formalitas—tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalah. Dalam sistem yang timpang ini, penting untuk terus mengingatkan bahwa mahasiswa bukan objek yang harus tunduk, tapi subjek yang punya hak. Mahasiswa bukan sekadar angka dalam daftar presensi atau pemenuh SKS mereka adalah manusia yang berpikir, merasa, dan berhak mendapat perlakuan manusiawi dalam proses belajarnya.

Baca Juga Berita :  [OPINI] Perguruan Tinggi dan Komodifikasi Kurikulum

Jika dunia akademik ingin mencetak generasi pemikir, maka mereka harus diajarkan untuk berpikir bebas bukan hanya mengulang kata-kata dosen. Jika ingin melahirkan agen perubahan, maka kampus harus menjadi tempat di mana keberanian dihargai, bukan dihukum. Sudah saatnya kita hentikan glorifikasi palsu bahwa dosen selalu benar, dan mahasiswa selalu harus menurut. Pendidikan sejati tumbuh dari dialog, bukan dari dominasi satu pihak. Dan universitas yang sehat adalah universitas yang memberi ruang kritik, bukan yang menakut-nakuti mereka yang bertanya.

Maka dari itu, jika ada satu bentuk sambutan yang patut diberikan kepada mahasiswa baru hari ini, itu adalah sambutan yang membuka kesadaran, bukan yang menanamkan ketakutan. Kesadaran bahwa kampus bukan tempat sempurna, bahwa akan ada tantangan struktural yang harus dihadapi, dan bahwa tidak semua dosen akan bersikap adil. Tapi juga sambutan yang menegaskan bahwa mahasiswa tidak sendirian. Ada solidaritas yang bisa dibangun, ada kekuatan dalam suara kolektif, dan ada harapan bahwa perubahan masih bisa diperjuangkan. Kampus adalah tempat yang keras, tapi bukan tanpa celah untuk diperbaiki.

Dan mahasiswa baru adalah generasi yang bisa memulai perubahan itu. Mari berhenti mendidik mahasiswa untuk patuh. Arahkan mereka untuk sadar, kritis, dan berani. Karena pendidikan tanpa keberanian hanya akan melahirkan lulusan yang pintar, tapi takut bicara. Dan kampus yang menindas hanya akan menghasilkan gelar bukan manusia yang sejati.
Selamat datang, mahasiswa baru. Dunia kampus bukan sekadar ruang belajar. Ia adalah ruang perjuangan. (*)

*Penulis: Assidiq Warista

 

Berita Terkait

[OPINI] Pernikahan Dini, Krisis Masa Depan dalam Bayang Budaya
[OPINI] Kesepian Di Tengah Keramaian: Epindemi Sunyi Lansia Urban Indonesia
[Opini] Mengurai Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Remaja dari Perspektif Sosiologi Kesehatan
[Opini] Ketika HIV Bukan Sekadar Penyakit: Kritik atas Ketimpangan Sosial dalam Sistem Kesehatan Indonesia
Fenomena Masalah Kesehatan bagi Masyarakat yang Bermukim di Sekitar TPA Antang
[OPINI] : Suara yang Lantang, Tapi Palsu
[OPINI] : Semangat Soe Hok Gie: Masihkah Api Itu Menyala di Dada Mahasiswa
[OPINI] Ketika DPR Lebih Takut pada Hukum daripada pada Rakyat
Berita ini 278 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 23:34 WITA

[OPINI] Pernikahan Dini, Krisis Masa Depan dalam Bayang Budaya

Jumat, 17 Oktober 2025 - 23:16 WITA

[OPINI] Kesepian Di Tengah Keramaian: Epindemi Sunyi Lansia Urban Indonesia

Jumat, 17 Oktober 2025 - 05:34 WITA

[Opini] Mengurai Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Remaja dari Perspektif Sosiologi Kesehatan

Kamis, 16 Oktober 2025 - 04:56 WITA

[Opini] Ketika HIV Bukan Sekadar Penyakit: Kritik atas Ketimpangan Sosial dalam Sistem Kesehatan Indonesia

Rabu, 15 Oktober 2025 - 14:11 WITA

Fenomena Masalah Kesehatan bagi Masyarakat yang Bermukim di Sekitar TPA Antang

Berita Terbaru

Ketua Jurusan, Abdul Haris (Foto: Int.)

KILAS LK

Fisika Open Hadir untuk Inspirasi Pelajar 

Sabtu, 8 Nov 2025 - 08:24 WITA

Ilustrasi mata rabun akibat kelelahan menggunakan media sosial (Foto: int.)

PROFESI WIKI

Tips Menjaga Kesehatan Mata untuk Mahasiswa

Sabtu, 8 Nov 2025 - 00:11 WITA

Potret Nasrulhaq saat sambutan,(Foto: Rahmat Hidayat)

KILAS LK

HMPS IPS Gelar Inaugurasi setelah 10 Tahun Vakum

Sabtu, 8 Nov 2025 - 00:07 WITA

Ilustrasi Mikrofon dan Koran yang Terbelenggu Kebebasan Pers (Foto: Int.)

PROFESI WIKI

Peran Jurnalis dalam Menegakkan Kebebasan Pers

Jumat, 7 Nov 2025 - 20:22 WITA