PROFESI-UNM.COM – Suatu kebanggaan tersendiri kita hidup di Indonesia dengan keanekaragaman budaya dengan kekayaan alam melimpahnya. Akan tetapi, rasa-rasanya kebanggaan itu justru tidak perlu terlalu terbanggakan ketika melihat kondisi kehidupan politik Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, Indonesia sebagai the rule of law atau negara hukum yang berarti hukum bisa memastikan bahwa segala perbuatan harus berlandaskan pada aturan hukum. Justru bagaimana jadinya? Jika hukum itu hanya menjadi alat untuk melegalkan perbuatan otoriter pemerintah agar perbuatan itu tidak teranggap melanggar hukum serta mempermudah merampas suatu hal atas nama hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengutip pandangan Gustav Radbruch dalam bukunya Einführung in die Rechtswissenschaften (1910). Hukum itu memiliki 3 nilai tujuan, pertama hukum itu menghasilkan keadilan (Gerechtigkeit), kedua hukum itu menghasilkan kepastian (Rechtssicherheit) dan yang ketiga hukum itu menghasilkan kemanfaatan (Zweckmassigkeit). Mungkin 3 nilai itu apa yang menjadi seharusnya (das sollen). Akan tetapi, secara kenyataannya (das sein) hukum itu justru malah menjauhkan dari 3 nilai tersebut.
Mulai dari pembuatan aturan secara serampangan, menyoal putusan MK, aturan menindas, kesewenang-wenangan aparat, kebijakan tidak adil. Kalau tidak ada aturannya maka langsung saja dibuatkan ataukah lakukan saja dulu nanti aturannya yang menyusul. Inilah konsekuensi jika politik terlalu mengintervensi hukum. Ketika hukum mau tidak mau harus tunduk pada kekuasaan (machstaat) padahal sejatinya hukum hadir untuk membatasi kekuasaan itu.
The rule of law kini hanya menjadi the rule by law, yaitu ada hukum masih ada kekuasaan pemerintah di atasnya. Inilah juga yang disebut oleh Kim Lane Schopale dalam tulisannya sebagai Autocratic Legalism (2018) dimana hukum hanya dijadikan alat untuk berbuat sewenang-wenang oleh penguasa agar memiliki legalitas dalam perbuatan sewenang-wenangnya agar tidak dianggap melanggar hukum.
Inilah pentingnya kita sebagai publik di negara republik harus kritis dan mulai sadar melihat ini semua. Apa jadinya jika republik sudah kehilangan publiknya, maka kekuasaan akan menghasilkan kesewenang-wenangan yang mengarah pada ketidakadilan dan ketertindasan pada kita semua. Justru ketika kita mulai kritis serta sadar maka masih ada upaya untuk memperbaiki itu semua. Meskipun the rule of law sudah menjadi the rule by law tetapi perlu kita ketahui bahwa kekuasaan justru berasal dari suara publik dalam artian warga negara. Hal ini dapat menjadi transisi kehidupan politik kita ke arah yang lebih baik agar menghasilkan kebanggaan tersendiri bagi kita semua.
Memang transisi kehidupan politik kita tidaklah instan dan sekejap pejaman mata, selain butuh kesadaran perlu juga kesabaran yang menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan demokrasi kita. Tetapi justru sebaliknya, jika itu masih terus dibiarkan serta hanya dianggap wajar dalam kehidupan politik maka terus-menerus jugalah kesewenang-wenangan akan terus mengintai kita.
Terakhir, mengutip perkataan Maria Taverne “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa hukum sekalipun”.
Mari melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan !(*)
*Penulis:Muh. Arif







