PROFESI-UNM.COM – Keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Lembong jelang peringatan Hari Kemerdekaan tak boleh dipandang semata langkah hukum. Ia adalah langkah politik, bahkan lebih jauh dari itu, ini adalah langkah kewargaan. Mengapa langkah politik? Karena boleh jadi ini adalah upaya menjinakkan oposisi politik pemerintah. Dan mengapa langkah kewargaan? karena putusan ini menentukan siapa yang sungguh sebagai warga negara penuh.
Dalam perspektif kewargaan, seperti dirumuskan oleh Hannah Arendt dan Michael Sandel, menjadi warga negara bukan hanya soal taat aturan, datang ke TPS, apalagi sekadar memiliki KTP. Kewargaan adalah status etis dan politik. Ia penanda siapa yang dianggap layak didengar atau dilibatkan, siapa yang punya tempat dalam ruang publik, dan siapa yang pantas diberi pengampunan oleh negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Presiden Prabowo tampaknya ingin menunjukkan sikap: bahwa hukum tak boleh menjadi alat balas dendam, dan bahwa politik, meski sering keras, harus punya ruang maaf. Entah, begitu maksud sesungguhnya. Tapi mari memulainya dengan membacanya dalam kerangka “deliberative citizenship” yang diadaptasi dari “demokrasi deliberatif”ala Jurgen Habermas, bahwa tindakan ini bisa dilihat sebagai upaya membuka ruang diskursif dan rekonsiliasi, mengakui keberagaman pandangan, dan merangkul pihak-pihak yang sebelumnya berada di kubu lawan politik.
Bila teori ini dipakai, maka keputusan Presiden Prabowo dalam memberikan amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Lembong dapat dibaca sebagai bagian dari upaya membentuk ruang deliberatif: sebuah arena di mana kekuasaan tidak hanya memaksakan kehendak, tetapi juga mendengar, memahami, dan menenun sobekan sosial-politik yang telah terlanjur melebar selama kontestasi pemilu.
Kewarganegaraan Kritis
Namun, benarkah demikian?, mari membaca pemikiran T.H. Marshall, di mana kewargaan bertumpu pada kesetaraan akses terhadap hak sipil, politik, dan sosial. Bagi Marshall, bila amnesti dan abolisi hanya kepada mereka yang punya nama besar dan koneksi politik kuat, sementara rakyat biasa yang juga menjadi korban ketidakadilan hukum tetap terpinggirkan dan berjuang sendiri, maka negara sedang mempraktikkan kewargaan yang alienatif, hirarkis, hipokrit.
Tom Lembong mungkin memang korban kriminalisasi. Tapi ia bukan satu-satunya. Di berbagai daerah, aktivis lingkungan, petani, buruh, mahasiswa, dan warga adat menghadapi jeratan hukum hanya karena mempertahankan hak atau menyuarakan pendapat. Mereka tidak punya akses ke lingkaran presiden. Tidak ada konferensi pers, desakan elite, abolisi.
Pertanyaannya sederhana: Mengapa negara begitu cepat menghapus kesalahan elite, tapi begitu lambat bahkan untuk sekadar mendengar jeritan warga biasa?
Teori kewargaan kritis, seperti dikembangkan Engin Isin, menyebut kondisi ini sebagai bentuk differentiated citizenship: negara memperlakukan warganya tidak secara setara, tetapi berdasarkan posisi sosial-politik mereka. Yang satu mendapat pengampunan, yang lain bahkan tidak tahu kepada siapa harus mengadu.
Pernyataan Menteri Hukum bahwa ini adalah bagian dari “rekonsiliasi Agustus” tak membantu menjelaskan apa pun. Sebaliknya, ia memperjelas bahwa rekonsiliasi ini hanya berlangsung dalam ruang tertutup elite. Tidak ada mekanisme yang jelas, tidak ada transparansi, tidak ada pelibatan publik. Maka publik pun berhak curiga: apakah ini murni koreksi atas kesalahan hukum, atau bagian dari kompromi politik yang terbungkus seolah-olah kebaikan negara?
Padahal, jika Presiden Prabowo sungguh-sungguh ingin menjadikan ini sebagai momentum koreksi sistem hukum, maka ia bisa melangkah lebih jauh. Ia bisa membuka pintu amnesti atau abolisi untuk semua korban salah tangkap, kriminalisasi, dan peradilan sesat. Mendorong reformasi struktural: memperbaiki kepolisian, kejaksaan, peradilan, dan KPK. Ia bisa menunjukkan bahwa abolisi bukan hanya untuk Tom Lembong, atau amnesti bukan hanya untuk Hasto, tapi juga untuk warga kecil yang selama ini seperti pelaku, padahal korban.
Sebab, pada akhirnya, kewargaan sejati adalah tentang proteksi yang adil. Negara bukan hanya punya kewajiban untuk melindungi mereka yang dekat dengan kekuasaan, tapi terutama mereka yang tak punya daya. Di sinilah moralitas kekuasaan teruji: apakah berani adil pada yang lemah atau yang rentan, bukan hanya loyal pada yang kuat?
Abolisi dan Amnesti: Untuk Siapa?
Presiden Prabowo punya modal untuk memulai itu semua. Langkah amnesti dan abolisi bisa terbaca sebagai titik awal keberanian politik. Tapi keberanian sejati bukan pada memilih siapa yang termaafkan atau terampuni, melainkan pada keputusan untuk membangun sistem yang tak lagi membutuhkan pengampunan istimewa. Karena keadilan sudah berjalan dari awal.
BJ Habibie pernah menggunakan abolisi untuk menghapus tuduhan makar terhadap Sri Bintang Pamungkas. Tapi ia tidak berhenti di situ. Ia juga membuka kran kebebasan pers, melepas tahanan politik, dan mengubah banyak struktur hukum warisan Orde Baru. Abolisi dan amnesti menjadi bagian dari reformasi sistemik, bukan transaksi politik jangka pendek.
Kini, Prabowo ada di persimpangan yang sama. Apakah abolisi ini akan terkenang sebagai langkah awal reformasi hukum? Ataukah akan jadi catatan pinggir tentang kompromi “kotor” politik antar elite?
Di tengah skeptisisme publik terhadap integritas sistem hukum, Prabowo bisa membalikkan keadaan. Ia bisa menyatakan bahwa hukum bukan soal siapa kamu, tapi apa yang kamu alami. Ia bisa menjadikan kewargaan sebagai fondasi politik negara—bukan sekadar status administratif, tapi hak politik yang setara bagi semua orang.
Jika itu yang terjadi, maka abolisi dan amnesti bukan hanya hadiah kemerdekaan, tapi juga awal dari republik yang lebih adil. Tapi jika tidak, maka seperti kata Arendt, kewargaan akan berubah menjadi status kosong: terpakai negara saat butuh, terlupakan saat tak menguntungkannya.
Dan kita, para warga biasa, kembali hanya menjadi penonton: melihat bagaimana hukum bisa tertekuk oleh kekuasaan.(*)
*Penulis : Yunasri Ridhoh (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FEB UNM)







