PROFESIUNM.COM – Sekiranya ada beberapa hal yang menjadi indikator bahwa kehidupan kampus Orange tidak demokratis.
Sesuai dengan definisi demokrasi yaitu prinsip penyelenggaraan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka sepatutnya penyelenggaraan kehidupan kampus (harus) demokratis adalah dari , oleh, dan untuk sivitas akademik sebagai analogi rakyat dalam demokrasi kehidupan Negara. Lalu mengapa mahasiswa sebagai sivitas akademik dalam hal ini tidak merasa pernah dilibatkan sehingga terus melanjutkan perjuangan dengan mengkritik birokrat kampus?
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012, UKT hadir untuk menyederhanakan dan meringankan beban biaya pendidikan mahasiswa dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masing-masing orang tua/wali yang membiayai.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
terkait penerapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sejak awal diterapkan tahun 2012, sudah cacat. Mulai dari Permendikbud No. 55/2013, Permendikbud No. 73/2014, Permenristekdikti No.22/2015, Permenristekdikti No. 39/2016, Permenristekdikti No. 39/2017, Permendikbudristek No. 25/2020, dan yang terakhir Permendikbudristek No. 2/2024. Tapi dalam penerapannya sejak 2013 sampai sekarang, sistem UKT ternyata tak sesuai dari tujuan awalnya bahkan semakin jauh setiap tahunnya.
Realitanya masih banyak pungutan diluar dari pada UKT. UKT seharusnya diperuntukan sesuai kemampuan ekonomi, namun nyatanya malah tidak berkeadilan. UKT juga tidak menjawab persoalan mahalnya uang kuliah di perguruan tinggi. Dalam penerapannya, masih banyak perguruan tinggi yang menarik pungutan di luar UKT. Uang pangkal adalah yang paling menonjol.
Dalam Pasal 8 Permendikti No. 39 Tahun 2016, Perguruan Tinggi dilarang melakukan pungutan untuk kegiatan pembelajaran terhadap mahasiswa. Dalam hal ini, sebenarnya Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (kemenristekdikti) adalah lembaga yang punya wewenang lebih untuk melakukan pengawasan dan menindaklanjuti praktik-praktik yang menyimpang karena setiap semester Kampus UNM memberikan laporan realisasi penerimaan kepada kementerian melalui sistem monitoring dan evaluasi. Sayangnya, Peraturan Kementerian yang Seyogianya dibentuk dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa terkait UKT malah tidak memenuhi unsur-unsur hukum karena tidak terdapat pengaturan tentang sanksi yang tegas jika terdapat pelanggaran.
Soal transparansi keuangan kampus yang lain adalah perihal aliran dana terhadap sarana prasarana dan kegiatan mahasiswa baik dalam Organisasi Kemahasiswaan itu sendiri. Landasannya sederhana, bahwa penetapan segala macam anggaran yang dilakukan oleh birokrasi kampus, sebagian berasal dari dana mahasiswa, lalu dimana hak mahasiswa untuk mengetahui aliran dana yang setiap semester mengisi kantong-kantong kas Universitas? Keuangan yang tidak transparan ini berpangkal pada tata kelola kampus yang belum maksimal dan belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaran Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Tata kelola yang belum maksimal juga membuka peluang bagi praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) oleh birokrasi UNM yang saat ini telah terendus oleh banyak pihak. Dari beberapa permasalahan diatas tidak pernah melibatkan peran aktif mahasiswa baik dalam penetapan besaran UKT, penetapan penerimaan kelompok UKT mahasiswa, maupun penjelasan dan evaluasi sistem UKT yang diterapkan.
Iklim yang tidak demokratis ini bahkan bukan hanya tidak tercapai dalam praktik pelaksanaannya, melainkan juga telah terkandung dalam beberapa landasan hukum terkait penyelenggaraan dan pengelolaan Perguruan Tinggi. Dalam PP No. 4 Tahun 2014 hanya terdapat dua stakeholder yang memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang atas penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri; Menteri dan Organisasi Perguruan Tinggi. Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan mencakup pengaturan; perencanaan; pengawasan, pemantauan dan evaluasi; serta pembinaan dan koordinasi (Pasal 3 PP No. 4 Th. 2014). Tugas dan wewenang Menteri mengatur tentang sistem pendidikan tinggi; anggaran; hak mahasiswa; akses yang berkeadilan; mutu pendidikan; relevansi hasil; dan ketersediaan Perguruan Tinggi (Pasal 4 PP No. 4 Th. 2014).
Aspek pengelolaan Perguruan Tinggi yang diatur melalui PP meliputi aspek otonomi Perguruan Tinggi; pola pengelolaan; tata kelola; dan akuntabilitas publik. Otonomi Perguruan Tinggi dalam hal ini terkait otonomi dalam bidang akademik (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) dan non-akademik (organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana). Dalam pola pengelolaan, perguruan tinggi negeri dibagi menjadi PTN dengan pola pengelolaan keuangan negara, PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN Badan Hukum (PTN-BH). UNM dalam hal ini termasuk dalam PTN dengan pengelolaan BLU.
Pengelolaan Perguruan Tinggi selain harus memenuhi unsur yang diatur lewat PP No. 4 Th. 2014, juga harus memiliki Statuta sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di Perguruan Tinggi. Statuta Perguruan Tinggi paling sedikit memuat tentang, a. Ketentuan Umum; b. Identitas; c. Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi; d. Sistem pengelolaan; e. Sistem penjaminan mutu internal; f. Bentuk dan tata cara penetapan peraturan; g. pendanaan dan kekayaan; h. Ketentuan peralihan, dan; i. Ketentuan penutup. Statuta Perguruan Tinggi yang mencakup kesepuluh bagian tersebut disahkan melalui Peraturan Menteri.
Dalam aturan mengenai pengelolaan, organisasi PTN sama sekali tidak melibatkan mahasiswa entah sebagai salah satu bagian dari unsur penyusunan kebijakan, maupun pengawasan. Namun, selama ini hanya segelintir pihak yang mengetahui tentang pola pengelolaan dan tata kelola Kampus Orange. Apakah selama ini pengelolaan dan tata kelola sudah sesuai dengan standar nasional? Apakah setiap unsur organisasi telah menjalankan fungsinya dengan prinsip check and balance sesuai amanat Menteri? Bahkan pertanyaan penting adalah apakah Kampus Orange memiliki statuta yang menjelaskan tentang peraturan dan prosedur operasional Universitas? Lalu dimana posisi mahasiswa dalam kehidupan Universitas? Apakah mahasiswa tidak memiliki hak untuk terlibat secara utuh sebagai bagian dari gerak roda Universitas dan selamanya hanya menjadi produk yang diciptakan oleh Universitas? Pada akhirnya mahasiswa hanya merupakan peserta pasif yang hanya bisa menerima paling banter merengek segala kebijakan kampus yang tidak sesuai bahkan yang cenderung merugikan mahasiswa. Lalu bagaimana mungkin mahasiswa dapat mengembangkan potensi diri, minat, dan bakat dalam bidang keilmuan jika mahasiswa hanyalah elemen pasif dari kehidupan Universitas?
“Kita yakin, perubahan itu adalah sesuatu hal yang pasti, senantiasa terjadi tanpa kita sadari. Tapi yakin tak ada perubahan yang tak memberikan arti yang tak berarti. Analisa dan kepekaan terhadap lingkungan sangat penting untuk membagun kampus yang demokratis”.
Demokratisasi kampus tentu bukan sekedar soal transparansi penetapan kelompok penerima UKT, tata kelola perguruan tinggi yang baik dan akuntabel, maupun transparansi aliran dana dari mahasiswa ke dalam anggaran universitas. Kampus (Harus) Demokratis adalah kampus yang juga memfasilitasi seluruh kegiatan mahasiswa. Selama ini, ‘memfasilitasi kegiatan mahasiswa’ dirasionalisasikan hanya sebatas pemberian dana kemahasiswaan kepada tiap-tiap Organisasi Mahasiswa sesuai pasal 77 UU No. 12 tahun 2012 bahwa organisasi kemahasiswaan sebagai wadah kegiatan mahasiswa dan memberikan landasan bagi pembentukan dan pengelolaan organisasi.
Dalam mewujudkan cita-cita akan kampus (harus) demokratis, bukan hanya sistem pengelolaan perguruan tinggi saja yang harus kita ubah. Artinya, tuntutan tidak hanya harus dilayangkan kepada birokrasi kampus, melainkan juga kepada Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi sebagai penanggung jawab penyelenggara pendidikan tinggi. Selain itu, perlu ada evaluasi terhadap Organisasi Mahasiswa yang selama ini mendapat mandat (lewat dana kemahasiswaan setiap tahunnya) untuk memfasilitasi seluruh kegiatan mahasiswa. Prinsip keterbukaan (transparansi), partisipasi, dan demokrasi adalah tuntutan bagi kehidupan masyarakat madani, yang seharusnya diciptakan oleh Universitas. Maka jika mahasiswa menuntut keterbukaan, partisipasi dan demokrasi, tetapi mendapat respon negatif dari birokrasi kampus seperti pelarangan dan pengusiran hingga intimidasi, siapa yang sejatinya telah mencoreng cita-cita luhur Universitas dan Pendidikan Tinggi?
Salam waras.
*Penulis: Amirullah Arramadhani