[Opini] Lokalisasi Prostitusi: Negara Hobi Menggali Jalan Tengah yang Buntu

Avatar photo

- Redaksi

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:09 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Potret Intan Maharani I, Kepala Departemen FMN Ranting UNM, (Foto : Ist.)

Potret Intan Maharani I, Kepala Departemen FMN Ranting UNM, (Foto : Ist.)

PROFESI-UNM.COM – Wacana legalisasi lokalisasi prostitusi kembali bergema. Isu lokalisasi prostitusi mungkin telah jauh lewat sewindu selalu menjadi kontroversi yang tak ada habisnya dibahas, namun kurang mendapatkan perhatian publik akibat stigmatisasi dan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi.  Dalihnya sederhana dan dibuat tampak rasional yakni demi pencegahan HIV/AIDS, demi pengawasan, demi perputaran ekonomi yang lebih tertib. Narasi yang sama digaungkan dalam berita pembukaan lokalisasi resmi oleh pemerintah, menyusul fenomena PSK yang “berkeliaran” di ibu kota tanpa tempat terpusat. Namun seperti banyak kebijakan publik di negeri ini, pendekatan “rasional” acapkali melupakan luka yang tidak kasatmata: luka moral, kultural, dan struktural.

Di atas kertas, lokalisasi diklaim sebagai bentuk kontrol. Prostitusi tidak dihilangkan, tetapi diberi ruang terbatas dengan pengawasan negara. Dalam riset yang  ditulis oleh Krista Surbakti dalam jurnal Curere (2019), lokalisasi bisa saja menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam praktiknya, transaksi dalam satu malam bisa menghasilkan jutaan rupiah. Sayangnya, tanpa legalitas, uang ini mengalir entah ke mana. Sebagian pemerintah daerah tergoda untuk mengambil “jalan tengah” dengan membuka lokalisasi, menagih retribusi, mengawasi praktik, dan mengklaim pengawasan moralitas melalui regulasi secara legal. Namun pertanyaan kritisnya, benarkah ini solusi?

Kontradiksi muncul di berbagai sudut. Di satu sisi, negara ingin menjadi pahlawan bagi para pekerja seks dari eksploitasi, potensi kekerasan seksual, dan mengurangi penyebaran penyakit menular. Di sisi lain, negara secara tidak langsung melegitimasi praktik seks komersial yang secara moral dan budaya ditolak oleh banyak kalangan. Dalam hal ini, prostitusi sering dianggap sebagai bentuk kemerosotan martabat bangsa.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tapi mari kita buka sudut pandang lainnya. Banyak perempuan yang terjerat prostitusi bukan karena pilihan bebas, tetapi karena realitas ekonomi yang pahit. Kemiskinan, pendidikan rendah, relasi keluarga yang rusak, luka trauma sebagai korban kekerasan seksual, hingga janji pekerjaan palsu adalah pintu-pintu masuk yang terlalu akrab dalam cerita mereka. Prostitusi bukan hanya transaksi tubuh, melainkan perpanjangan dari sistem sosial yang gagal memenuhi kebutuhan dasar perempuan.

Pemerintah berdalih bahwa dengan lokalisasi, PSK (Pekerja Seks Komersial ) bisa mendapatkan layanan kesehatan, pendampingan, dan perlindungan hukum. Tapi kita perlu bertanya lebih jauh, siapa yang menjamin itu terjadi di lapangan? Siapa yang menjamin tidak akan ada penyalahgunaan kekuasaan? Dan siapa yang memastikan bahwa lokalisasi bukan hanya pengkotakan tindakan amoral agar lebih rapi?

Baca Juga Berita :  [Opini] Nyanyian Katak di Musim Penghujan

Yang lebih menyedihkan, prostitusi kini bahkan tak mengenal batas sosial. Di beberapa kota, praktik ini muncul dalam wujud lebih samar. Misalnya mahasiswa yang melakukan seks transaksional untuk membayar kuliah, membayar kos, atau sekadar mengejar gaya hidup. Prostitusi ilegal, yang dibungkus dengan eufemisme “open BO” di media sosial, tumbuh di luar radar regulasi. Lokalisasi mungkin menata satu sisi, tapi tidak menjawab kompleksitas dari wajah prostitusi hari ini.

Wacana lokalisasi dianggap gagal menjawab pertanyaan paling dasar. Untuk siapa regulasi ini dibuat? Apakah ini cara negara mengakui kegagalannya menjamin hak dasar warganya, lalu menata ruang kompromi agar semuanya terlihat legal dan rapi? Atau justru bentuk soft legitimation yang bisa menjadi preseden buruk bahwa ketika Negara letih berpikir, maka tubuh perempuan dijadikan sumber penerimaan daerah?

Jawaban atas pertanyaan itu tidak mudah. Mungkin, memang tidak akan pernah ada jalan tunggal untuk keluar dari dilema ini. Tapi satu hal yang pasti, legalisasi bukanlah solusi yang bisa didekati dengan semangat teknokratis dan hitungan ekonomi semata. Ia menyangkut martabat, pilihan yang (tidak) bebas, dan luka yang diam-diam diwariskan secara sosial.

Jika negara ingin berbicara tentang pengawasan dan perlindungan, maka yang dibutuhkan bukan hanya tempat, tapi ekosistem. Perlindungan hukum, sistem rehabilitasi, penyediaan lapangan kerja alternatif, dan pendidikan yang merata. Karena jika tidak, lokalisasi prostitusi hanya akan menjadi monumen kegagalan negara yang dibungkus dengan legalisasi.

Meski lokalisasi prostitusi dijustifikasi sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS dan perlindungan pekerja seks, kerangka hukum nasional sebenarnya sudah menyediakan perlindungan perempuan tanpa harus melalui legalisasi prostitusi itu sendiri.  Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU No. 12/2022) dan Perpres No. 55/2024 tentang UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) telah mengatur hak-hak perempuan korban kekerasan, termasuk layanan kesehatan, pendampingan hukum, serta rehabilitasi psikososial. Perempuan yang mengalami eksploitasi seksual, tekanan ekonomi, hingga kekerasan struktural sudah dijamin perlindungannya tanpa perlu dikungkung dalam zona lokalisasi yang dilegalkan. Namun, dalam praktiknya, layanan ini sering kali tidak merata atau sulit dijangkau khususnya di daerah membuat solusi instan seperti lokalisasi tampak lebih praktis, meski menyimpan ketimpangan etik dan moral yang dalam.

Baca Juga Berita :  (OPINI) Merdeka Soal Kemauan

Keberadaan UPTD PPA yang menjadi ujung tombak perlindungan perempuan, belum sepenuhnya berjalan optimal di banyak daerah. Keterangan dari Asisten Deputi Perumusan KPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) pada tahun 2024, hanya sekitar 60% kabupaten/kota yang telah memiliki UPTD PPA yang aktif dan memenuhi standar pelayanan minimum. Sebanyak 120 Kabupaten/Kota belum memiliki unit ini. Di samping itu, banyak unit yang masih kekurangan sumber daya, tidak memiliki tenaga konselor, psikolog, atau pendamping hukum tetap. Sebagian besar hanya berjalan administratif, tanpa jangkauan lapangan.

Dari sinilah celah kebijakan muncul. Negara terkesan lebih mudah membentuk lokalisasi daripada memperkuat perlindungan struktural bagi perempuan korban eksploitasi. Padahal, lokalisasi prostitusi atas nama pengawasan justru menyamarkan kegagalan negara menyediakan pekerjaan layak dan akses sosial yang adil bagi perempuan miskin. Maka muncullah paradoks bahwa perlindungan hukum dan kesehatan seolah hanya dapat diakses jika perempuan bertahan dalam sistem prostitusi itu sendiri.

Dalam kata lain, negara tidak cukup serius untuk melindungi perempuan dari akar masalah, seolah memilih solusi yang lebih praktis dan menguntungkan secara ekonomi alih-alih memperbaiki akar sosial-ekonomi. Kurangnya ketersediaan pekerjaan yang layak, akses pendidikan, serta layanan sosial yang efisien. Ketika perempuan sudah terjerumus dalam prostitusi, negara justru baru “peduli” melalui pengawasan paktik prostitusi yang dilokalisasi. Padahal, seharusnya negara harus melindungi mereka agar tidak sampai ke titik itu, sebelum “terjerumus” dalam gemerlap dunia prostitusi.

Dalam sejarah sosial kita, luka yang dilegalkan tidak pernah benar-benar sembuh. Ia justru menjadi rantai kekerasan struktural yang ternaturalisasi dan eksploitatif dengan jaminan yang dangkal dan tidak cukup solutif. Inilah yang disebut dengan  “legitimasi atas kegagalan” negara yang hanya mampu mengatur dampak secara parsial, tidak menyentuh akarnya. Lebih dari itu, framing negara yang mendesain struktur sosial dalam berbagai aspek benar-benar perlu  menjadi perhatian khusus. Maka kita perlu melek dengan isu-isu bangsa dan menariknya dari berbagai perspektif sebelum menarik kesimpulan tunggal yang subjektif dan judgemental. (*)

*Penulis: Nur Intan Maharani I, Kepala Departemen Perempuan FMN Ranting UNM

Berita Terkait

[OPINI] Dari Ruang Akademik ke Ruang Kekuasaan, Kekerasan Seksual sebagai Mekanisme Dominasi Sosial di Kampus
[OPINI] Pernikahan Dini, Krisis Masa Depan dalam Bayang Budaya
[OPINI] Kesepian Di Tengah Keramaian: Epindemi Sunyi Lansia Urban Indonesia
[Opini] Mengurai Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Remaja dari Perspektif Sosiologi Kesehatan
[Opini] Ketika HIV Bukan Sekadar Penyakit: Kritik atas Ketimpangan Sosial dalam Sistem Kesehatan Indonesia
Fenomena Masalah Kesehatan bagi Masyarakat yang Bermukim di Sekitar TPA Antang
[OPINI] : Suara yang Lantang, Tapi Palsu
[OPINI] : Semangat Soe Hok Gie: Masihkah Api Itu Menyala di Dada Mahasiswa
Berita ini 102 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 13 November 2025 - 23:22 WITA

[OPINI] Dari Ruang Akademik ke Ruang Kekuasaan, Kekerasan Seksual sebagai Mekanisme Dominasi Sosial di Kampus

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 23:34 WITA

[OPINI] Pernikahan Dini, Krisis Masa Depan dalam Bayang Budaya

Jumat, 17 Oktober 2025 - 23:16 WITA

[OPINI] Kesepian Di Tengah Keramaian: Epindemi Sunyi Lansia Urban Indonesia

Jumat, 17 Oktober 2025 - 05:34 WITA

[Opini] Mengurai Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Remaja dari Perspektif Sosiologi Kesehatan

Kamis, 16 Oktober 2025 - 04:56 WITA

[Opini] Ketika HIV Bukan Sekadar Penyakit: Kritik atas Ketimpangan Sosial dalam Sistem Kesehatan Indonesia

Berita Terbaru

Sesi Pemaparan Materi oleh pemateri, Nurhikmah H. (Foto: Muhammad Nasruddin)

IKBIM KIP UNM

IKBIM KIP UNM Gelar Seminar Nasional Menuju PENA 2025

Kamis, 13 Nov 2025 - 17:48 WITA

Potret mahasiswa PKh bersama para peserta Pelatihan Bahasa Isyarat, (Foto : Ist.)

Kampusiana

Mahasiswa PKh FIP UNM Gelar Pelatihan Bahasa Isyarat

Kamis, 13 Nov 2025 - 17:43 WITA