[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia

Avatar photo

- Redaksi

Rabu, 9 Juli 2025 - 15:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Randiawan, dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM, (Foto: Ist.)

Randiawan, dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM, (Foto: Ist.)

“Dua kewarganegaraan bukan berarti setengah cinta pada tanah air. Tetapi, bisa jadi dua kali lebih banyak cara untuk membela dan membangun tanah air”

PROFESI-UNM.COM – Bipatride atau dua kewarganegaraan menjadi salah satu topik menarik untuk ditelaah dalam kajian akademis ditengah perkembangan global saat ini. Seolah-olah kewarganegaraan ganda menjadi ancaman terhadap Nasionalisme yang berkaitan dengan identitas kebangsaan.

Konstruksi teori kewarganegaraan menurut Marshall (1950) kewarganegaraan sebagai satu status yang mengikat perorangan dalam satu negara dengan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh negara (legal politis). Anggapan semacam ini kewarganegaraan hanya bisa tunggal. Jika menilik lebih jauh keadaan manusia saat ini lebih modern misalnya berpindah lintas negara (migrasi internasional), perkawinan campuran, hingga memiliki keterikatan ganda baik segi ras dan budaya. Argumentasi ini memberikan gambaran untuk membangun identitas majemuk warga negara tidak lagi hanya terikat pada batas teritorial (batas administrasi).

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Indonesia sebagai negara bangsa yang menjunjung tinggi prinsip nasionalisme dan integritas kebangsaan secara historis menganut sistem kewarganegaraan tunggal, sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Sistem ini dibangun atas dasar bahwa satu kewarganegaraan merupakan bentuk pengakuan legal sekaligus simbol kesetiaan dan identitas kebangsaan seseorang terhadap Republik Indonesia.

Praktiknya justru sangat berbeda, Indonesia membuka celah praktik naturalisasi kewarganegaraan dengan sangat mudah hanya untuk mendongkrak prestasi internasional. Penulis melihat hal ini sangat pragmatis karena makna kewarganegaraan direduksi menjadi alat administratif untuk meraih keuntungan politik, ekonomi, atau simbolik seperti medali emas atau prestise internasional. Tentu ini bertentangan dengan prinsip dasar nasionalisme yang menekankan kesetiaan, keterikatan budaya, dan partisipasi jangka panjang dalam kehidupan berbangsa. Bisa kita katakan inkonsistensi antara konstruksi ideologis dan praktik kebijakan. Rasa-rasanya Indonesia malu-malu kucing menentukan sikap mendukung keterbukaan dalam mengakui kewarganegaraan ganda atau bahkan mengakui multi kewarganegaraan.

Identitas Kebangsaan

Identitas kebangsaan dipandang sebagai konstruksi sosial dan politik yang tidak sekadar melekat secara alami, tetapi dibentuk oleh sejarah, budaya, ideologi bangsa, dan pengalaman kolektif. Identitas kebangsaanlah diikat secara eksklusif melalui sistem kewarganegaraan. Indonesia menjadikan kewarganegaraan tunggal menjadi salah satu prinsip mutlak yang dijustifikasi atas dasar loyalitas tunggal terhadap bangsa dan negara. Pengaruh tantangan globalisasi dan mobilitas lintas negara memunculkan praktik kewarganegaraan ganda, yang menantang cara lama memaknai identitas kebangsaan yang disebut sebagai Nasionalisme.

Nasionalisme tidak lagi harus eksklusif atau terbatas teritorial, tetapi bisa bersifat fungsional dan transnasional. Tentunya membuka diri terhadap kewarganegaraan ganda bukanlah melemahkan identitas kebangsaan, tetapi justru menyesuaikannya dengan realitas zaman saat ini. Membaca ulang identitas kebangsaan melalui lensa kewarganegaraan tunggal dan ganda menuntut kita untuk keluar dari pola pikir hitam-putih dalam memaknai Nasionalisme.

Baca Juga Berita :  [OPINI]Harmoni Multikultural: Pengalaman Belajar Mahasiswa Pertukaran di Lingkungan UNAIR

Sistem kewarganegaraan ganda, jika diatur dengan baik, dapat menjadi strategi negara untuk merangkul diaspora, memperluas pengaruh global, dan menciptakan identitas kebangsaan yang lebih inklusif serta adaptif terhadap perubahan global. Indonesia perlu mempertimbangkan urgensi perubahan cara pandang terhadap identitas kebangsaan. Identitas kebangsaan bukan untuk membatasi, melainkan untuk memperkuat koneksi antara warga dan tanah air, di mana pun mereka berada.

Kewarganegaraan Ganda

Dua kewarganegaraan memberikan peluang bagi individu untuk mengakses hak sosial, ekonomi, dan politik di dua negara, memperluas jaringan global, meningkatkan kesejahteraan mereka, meningkatkan kontribusi diaspora pada pembangunan di negara asal tanpa mengurangi loyalitas pada negara tempat tinggal. Tentu saja ini memberikan dampak positif bagi negara yang mengakui kewarganegaraan ganda (Bipatride). Asumsi bahwa dua kewarganegaraan menurunkan nasionalisme tidak sepenuhnya tepat. Seseorang dengan dua kewarganegaraan mengembangkan identitas yang konstruktif dimaknai dengan berkewarganegaraan ganda tetap mencintai negara asal sambil berintegrasi dengan baik di negara kedua. Rasa kebangsaan yang inklusif ini justru berpotensi memperkaya perspektif multikultural.

Kekhawatiran terkait loyalitas terbagi lebih merupakan warisan cara pandang nasionalisme abad ke-19 yang menganggap kewarganegaraan bersifat eksklusif. Era global saat ini loyalitas warga negara dapat dipandang sebagai hal yang bersifat plural tidak otomatis menimbulkan pengkhianatan. Sebaliknya, mereka yang memiliki dua kewarganegaraan sering berperan sebagai jembatan hubungan bilateral, mempererat kerja sama antarnegara, dan menjadi agen pertukaran informasi, pengetahuan, dan budaya.

Dari pada hanya dipandang sebagai permasalahan, kewarganegaraan ganda dapat dilihat sebagai peluang untuk memperluas cakrawala nasionalisme yang lebih inklusif, meningkatkan daya saing global negara melalui koneksi diaspora, serta menciptakan hubungan internasional yang lebih harmonis di era perubahan dan perkembangan manusia yang semakin bebas. Kiranya perlu pemahaman yang lebih kontekstual terhadap konsep kewarganegaraan, supaya negara mampu mengakomodasi dinamika identitas sebagai nasionalisme dan hak politik warga negara tanpa mengorbankan kepentingan bangsa sehingga tidak terjebak pada paradigma kewarganegaraan yang kaku.

Konsep post-national citizenship menurut Habermas (dalam Hallgrimsdottir) menerangkan bahwa loyalitas terhadap negara tidak harus tunggal, melainkan bisa bersifat plural seiring meningkatnya hak asasi universal dan keterikatan transnasional. Pendekatan cosmopolitan citizenship (Starkey, 1999) menunjukkan bahwa identitas warga negara tidak hanya ditentukan oleh garis teritorial, tetapi juga oleh keterlibatan dalam komunitas global. Sementara Indonesia masih terjebak pada dikotomi “nasional vs asing”, sehingga tidak menangkap potensi positif kewarganegaraan ganda dalam mendukung diplomasi ekonomi, transfer pengetahuan, dan penguatan diaspora.

Baca Juga Berita :  Zonasi dalam Pendidikan: Antara Keadilan dan Batasan

Keluar dari Nasionalisme Kaku

Dilema status kewarganegaraan Indonesia memberikan tanda adanya ketegangan antara nilai-nilai nasionalisme klasik yang cenderung kaku dengan realitas global yang semakin kompleks. Indonesia terus mempertahankan pandangan nasionalisme yang kaku, maka berisiko kehilangan keterhubungan dengan individu yang tetap memiliki rasa nasionalis dan mendukung Indonesia dari luar batas teritorial.

Memaknai nasionalisme secara kaku (terbatas) yang dimaksud adalah menekankan pentingnya bahasa, sejarah, dan warisan budaya sebagai perekat komunitas nasional. Pandangan semacam ini akan mempengaruhi ketidakmampuan nasionalisme menjawab kebutuhan generasi diaspora, fenomena perkawinan campuran, atau komunitas global yang memiliki keterikatan pada lebih dari satu negara. Nasionalisme yang kaku hanya menekankan homogenitas kultural menjadi tidak relevan dalam negara-negara dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya. Indonesia misalnya, tantangan perekat sosial tidak bisa dijawab melalui Nasionalisme yang memaksakan identitas tunggal, tetapi membutuhkan pendekatan nasionalisme yang lebih inklusif terhadap keragaman termasuk menerima identitas yang lain.

Perubahan zaman semakin kompleks dan beragam, pendekatan nasionalisme yang kaku tidak relevan lagi. Kiranya perlu memperluas pemaknaan nasionalisme ke arah yang lebih kontekstual, yang tidak hanya mengakui realitas global dan multikultural, tetapi juga menekankan pada nilai-nilai inklusivitas, partisipasi warga lintas batas teritorial. Nasionalisme tidak boleh lagi dipahami sebagai ideologi tertutup, melainkan sebagai pemahaman kolektif yang terbuka, yang terus membentuk dan dibentuk oleh warga negaranya dalam dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang terus berubah.

Sudah waktunya Indonesia merubah konsep kewarganegaraan bukan hanya sebagai status hukum, tapi dianggap sebagai relasi dinamis antara warga dan bangsa yang mencakup dimensi hukum, kebudayaan, sosial, dan hubungan emosional. Membuka ruang terhadap kewarganegaraan ganda bukan ukuran kesetiaan dan ukuran kecintaan pada tanah air. Walaupun dilakukan secara terbatas, terukur, dan selektif menjadi salah satu jalan keluar agar Indonesia tidak terus terjebak dalam dilema antara loyalitas dan kenyataan.

Tulisan ini menjadi reflektif bagi akademisi dalam bidang Pendidikan Kewarganegaraan mengkaji konsep kewarganegaraan, untuk melahirkan anti tesa dari perkembangan kajian kewarganegaraan yang lebih rasional dan ilmiah. (*)

*Penulis: Randiawan, dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM

Berita Terkait

[OPINI] Malu yang Salah Alamat
[Opini] Sekolah Rakyat
[OPINI] MELEMAHNYA JATI DIRI KAUM TERPELAJAR
[Opini] Bengkoknya Konstitusi dan Lurusnya Meja Kopi
Berkata jujur adalah tindakan revolusioner
[Opini] Intoleransi Sebagai Kabut yang Menyembunyikan Akar Masalah Bangsa
[Opini] Ada yang Berantakan tapi Bukan Kamarku, Melainkan Kampusku
[Opini] Menyoal Efisiensi APBN: Ketika Keuangan Negara Tak Lagi Pro-Rakyat
Berita ini 65 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 15:49 WITA

[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia

Senin, 7 Juli 2025 - 23:08 WITA

[OPINI] Malu yang Salah Alamat

Minggu, 6 Juli 2025 - 23:14 WITA

[Opini] Sekolah Rakyat

Senin, 30 Juni 2025 - 22:54 WITA

[OPINI] MELEMAHNYA JATI DIRI KAUM TERPELAJAR

Sabtu, 28 Juni 2025 - 00:45 WITA

[Opini] Bengkoknya Konstitusi dan Lurusnya Meja Kopi

Berita Terbaru

Randiawan, dosen Pendidikan Kewarganegaraan FIS-H UNM, (Foto: Ist.)

Opini

[Opini] Dilema Status Kewarganegaraan Indonesia

Rabu, 9 Jul 2025 - 15:49 WITA

Ilustrasi Seseorang yang Gugup Saat Presentasi, (Foto: AI.)

Berita Wiki

Tips Mahasiswa Biar Gak Panik Pas Presentasi Mendadak

Rabu, 9 Jul 2025 - 06:42 WITA

Ilustrasi Trik Mahasiswa Kupu-Kupu Tidak Merasa Kesepian, (Foto: AI.)

Berita Wiki

Trik Mahasiswa Kupu-Kupu Biar Gak Merasa Kesepian

Rabu, 9 Jul 2025 - 06:36 WITA

Gambaran Pilihan Shade Sesuai Warna Kulit, (Foto: Int.)

Berita Wiki

Tips Memilih Shade Makeup Sesuai Warna Kulit yang Cocok

Rabu, 9 Jul 2025 - 06:20 WITA