PROFESI-UNM.COM – Suara perlawanan dari Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menggema dalam agenda Lektur Publik Festival Media (Fesmed) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Benteng Ujung Pandang, Minggu (14/09).
Dalam forum itu, Ayunia Muis, aktivis lingkungan asal Torobulu, mengisahkan bagaimana kampung pesisirnya yang dulu dikenal sebagai “desa dolar” karena hasil lautnya, kini menghadapi krisis akibat tambang nikel.
Ayunia menjelaskan, krisis itu terjadi karena aktivitas tambang telah merusak ekosistem laut dan mengancam sumber penghidupan masyarakat pesisir. Ia menilai janji kesejahteraan dari pertambangan justru berbanding terbalik dengan kenyataan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Perusahaan ini sudah menambang hanya 10 meter dari sekolah dasar dan 5 meter dari dapur warga. Hari ini mereka bahkan menambang di pinggir tanggul yang menjadi sumber air satu-satunya bagi dua dusun,” ujarnya.
Panggung Suara Perlawanan
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sejak awal penolakan warga terhadap tambang mendapat respons keras. Perlawanan masyarakat yang dimulai pada 2019 justru berujung kriminalisasi. Puluhan warga, termasuk perempuan, dilaporkan ke aparat penegak hukum.
“Sebanyak 32 orang dilaporkan ke polisi, 16 di antaranya perempuan. Dua orang sempat ditetapkan sebagai tersangka sebelum akhirnya diputus bebas pada Juli kemarin,” jelasnya.
Ia menambahkan, intimidasi yang dialami warga datang dari berbagai arah. Tekanan dilakukan melalui pemerintah desa, aparat kepolisian, hingga TNI. Perusahaan bahkan menggunakan strategi pecah-belah dengan melibatkan pemilik lahan dan keluarga untuk membungkam penolakan.
“Inilah yang membuat banyak warga takut untuk melawan. Perusahaan juga membenturkan masyarakat dengan masyarakat, bahkan keluarga dijadikan alat intimidasi,” terangnya.
Dalam situasi ini, perempuan Torobulu mengambil peran penting. Mereka tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi juga berada di garis depan perlawanan. Ayunia menegaskan bahwa beban ganda ini justru memperkuat tekad mereka.
“Kami, perempuan di Torobulu, memiliki peran ganda. Kami harus kampanye, mengurus logistik, dan tetap menjaga keluarga,” katanya.
Meski menghadapi stigma buruk dan kriminalisasi, perempuan lulusan Universitas Halu Oleo (UHO) ini menolak menyerah. Ia menegaskan bahwa masyarakat Torobulu akan terus melawan melalui berbagai cara, termasuk kampanye di media sosial dan membangun solidaritas lintas wilayah.
“Kami tidak diam. Kami tidak mau kampung halaman kami hancur. Maka warga harus saling menjaga, karena hari ini Torobulu jadi korban, besok bisa jadi kampung kalian,” pungkasnya.(*)
*Reporter: Hafid Budiawan







