[OPINI] Otonomi Bias PTN BH; Sebuah Desain Otritarianisme?

Avatar photo

- Redaksi

Sabtu, 23 Maret 2024 - 13:22 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Profesi Penulis, (Foto: Ist.)

PROFESI-UNM.COM – “Apa yang lebih berbahaya daripada penguasa yang berkuasa politik dengan peluru dan tank? Jawabnya: Penguasa yang tengah menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengeruk keuntungan dengan menggunakan perangkat hukum. Situasi ini lebih berbahaya karena banyak di antara kita tak merasakan ketidakadilan ini karena semuanya dibungkus rapi sebagai produk hukum.”
(Bivitri Susanti)

Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan berbagai isu kampus yang terbilang kontroversi, salah-satunya adalah isu tranformasi menuju PTN-BH. Kita tahu bahwa PTN-BH merupakan bentuk otonomi tertinggi PTN. Otonomi yang ditawarkan tersebut menimbulkan implikasi serius bukan hanya pada akademik tetapi juga non akademik.

Lalu ada apasih dengan PTN-BH? Apakah gagasan PTN-BH hanya salah satu desain sistem otritarianism semata? Hal tersebut membuat penulis ingin menuliskan sebuah asumsi yang penulis kumpulkan dari berbagai referensi. Mengingat, kampus yang akan bertranformasi ke PTN-BH adalah kampus diamana penulis diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi segala sumber ilmu pengetahuan di dalamnya. “Universitas Negeri Makassar (UNM)”

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sedikit Sejarah Singkat PTN-BH.

Kehadiran ide PTN-BH tidak terlepas dari ketelibatan Indonesia dalam keanggotaan World Trade Organisation (WTO). Terikatnya Indonesia dalam WTO menimbulkan konsekuensi hukum untuk berperan dan menyepakati semua perjanjian WTO. Hal ini seperti yang dituankan dalam UU Nomor 7 tahun 1994. tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mengikatkan Indonesia pada seluruh perjanjian multilateral di WTO terkait perdagangan barang, jasa, bahkan hak atas kekayaan intelektual. Perjanjian tersebut dimotori oleh negeri imprealis di bawah dominasi Amerika Serikat dan di dituntaskan dalam pertemuan yang dinamakan putaran Uruguay.

Pada tahun 1995, negara-negara anggota WTO meregulasi 12 sektor jasa yang diperdagangkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Services (GATS). Dalam GATS, turut disepakati bahwa pendidikan merupakan salah satu sub-sektor jasa yang diperdagangkan. Gagasan liberalisasi tersebut berdampak pada Pendidikan yang menjadi barang dagang. Diamana Kampus-kampus didorong untuk memiliki otonomi penuh untuk mencari dana secara mandiri dan menghidupi dirinya sendiri.

Keberhasilan dari lembaga yang didominasi oleh Amerika Serikat tersebut dalam melakukan liberalisasi terus disempurnakan melalui berbagai kerjasama dan pemberian bantuan mengikat. Seiring dengan rangkaian kerjasama Indonesia dengan IMF pada tahun 1997, salah satu dari Letter of Intent (LoI) yang dibentuk adalah paket bantuan untuk pendidikan Indonesia sebesar US$ 400 juta. Paket pinjaman tersebut meliputi liberalisasi sektor pendidikan tinggi dengan menjadikan universitas berstatus dan bentuk pengelolaan Badan Hukum, serta secara nasional melahirkan Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hasilnya masih dapat dirasakan oleh rakyat, khususnya pemuda saat ini. Jenjang pendidikan sangat sulit dijangkau oleh rakyat Indonesia, terlebih jenjang pendidikan tinggi.

Sementara itu, World Bank pun melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan WTO dan IMF. Proyek awal World Bank untuk pendidikan di Indonesia adalah University Research For Graduate Education (URGE) yang kemudian dilanjutkan dengan Development Of Undergraduate Education (DUE) dan Quality Undergraduate Education (QUE). Proyek tersebut mengusung tema “Paradigma Baru” dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak lagi diposisikan sebagai bagian dari tanggung jawab negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pendidikan menjadi bagian dari sasaran bisnis dan investasi serta untuk menopang kepentingan perusahaan besar melalui riset-risetnya. Dalam program yang lebih lengkapnya, World Bank bersama UNESCO membentuk Higher Education for Compt Project (HECP) yang kemudian berganti dengan Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Tujuan utamanya adalah untuk memastikan adanya sistem pendidikan tinggi yang menjamin liberalisasi dapat dilakukan melalui praktik otonomi institusi. Imbalan dari liberalisasi pendidikan tersebut tidak lain adalah kucuran dana untuk mebiayai IMHERE sebesar US$ 114,54 juta.

Baca Juga :  [OPINI] BBM Naik, Bagaimana Dampak Sistemiknya?

Gagasan PTN-BH mencuat ketika di tahun 2009 bentuk BHMN digantikan dengan Badan Hukum Pendidikan (BHP) sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Secara otomatis, ketujuh PTN-BHMN pun berubah statusnya menjadi PTN-BHP. UU BHP ini mengharuskan agar semua lembaga pendidikan Indonesia baik jenjang pendidikan dasar hingga tinggi, baik swasta maupun negeri harus berstatus “badan hukum.”

Akan tetapi terbitnya Undang-Undang tersebut justru memicu gelombang penolakan oleh berbagai golongan, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 menyatakan UU BHP bertentangan denagan UU NRI 1945.

Meski begitu, seolah tak berhenti. Negara mencoba mencari cara lain lewat UU nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT). Dan hasilnya pun diterima. Kampus-kampus akhirnya berbondong-bondong ingin memperoleh predikat PTN-BH, Tak Terkecuali UNM.

Setidaknya, dalih Negara lewat PTN BH berharap dapat mewujudkan pendidikan yang bergerak dalam koridor pendidikan yang inklusif dan berkualitas. Oleh karenanya, pada Pasal 65 Ayat (4) menegaskan tugas PTN-BH untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang dapat terjangkau oleh masyarakat.

Tawaran yang menjanjikan lewat otonomi penuh seperti pengambilan Keputusan, hak pengelolaan secara mandiri, pengelolaan SDM hingga dapat membuka dan menutup jurusan sangat banyak persoalan yang akan timbul dikemudian hari.

PTN BH, Desain Otoritarianism?

Ada minat baru untuk mengeksplorasi nuansa otoritarianisme, sebelumnya hanya dianggap sebagai paradigma transisi, perkembangan didunianyata hal yang sebaliknya bahwa otoritarianisme akan tetap ada dan sama dinamis serta perkembangannya seperti bentuk politik lainnya.

Kembali menyoal transformasi PTN-BH yang hendak dilakukan UNM, membuat penulis menjadi pesisimis, mengingat unit usaha yang dimiliki UNM sangat kurang untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Penulis berandai- andai bila UNM memperoleh predikat PTN-BH, nantinya akan ada sistem uang pangkal, UKT semakin mahal, bahkan bisa saja ada pemasukan yang tidak masuk akal seperti uang parkir, hingga denda buku perpustakaan yang melonjak tinggi.

Lantas bagaimana unit usaha yang dimiliki oleh UNM Seperti penyewaan gedung, hotel, kerjasama Bank BNI, SPBU yang sementara dibangun serta koprasi lainnya, apakah dapat menopang biaya oprasional UNM? Tentu penulis masi ragu untuk mengatakan ia, kita bisa melihat kampus-kampus yang telah berpredikat PTN-BH yang terus mengalami kenaikan biaya pendidikan dan kenaikan yang sangat timpang terhadap pendapatan antara yang bersumber dari UKT dibanding pendapatan dari unit usaha dan kerja sama industrinya. Contohnya, pendapatan Universitas Hasanuddin pada tahun 2022 yang bersumber dari biaya pendidikan sebesar Rp. 221,511,348,791. Sedangkan pendapatan yang bersumber dari unit usaha Universitas Hasanuddin hanya Rp. 53,038,788,358, begitupu dengan kampus PTN-BH Lainnya.

Jika kita melihat praktik PTN-BH di beberapa kampus. Lantas gagasan PTN-BH dalam UU PT menjadi pertanyaan besar dimana konsep yang bersebrangan mewujudkan pendidikan bermutu, inklusif dan nilai keterjankauan justru bersebrangan. Disisi lain jika kita mengacu pada PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan perguruan tinggi dan pengelolaan perguruan tinggi, tidak adanya unsur mahasiswa dalam keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) sebab dalam pengendalian PTN-BH itu terdiri dari tiga organ, yakni MWA, Rektor, dan Senat Akademik.

Baca Juga :  BEM Kema FSD Adakan Sekolah Riset

Tentu memiliki sarat kepentingan bukan?

Artinya, kekritisan mahasiswa akan mudah dibalas dengan tindakan represif/arogan. Gerakan mahasiswa akan semakin di persempit, diskusi-diskusi akan semakin diisi dengan omong kosong. Sehingga penutupan ruang berekspresi akan semakin menjadi-jadi. Pada akhirnya tentu akan timbul masalah baru. Misalnya, perputaran uang yang begitu besar dikampus tentu akan mimicu timbulanya sifat maruk dan rentan terhadap penyelewengan dana. Melihat banyaknya kasus pimpinan kampus terjerat dalam penyelewangan anggaran. Disisi lain UNM masih memiliki PR soal keterbukaan informasi hingga transparansi dana, tentu perlu kontrol terhadap mahasiswa secara masif. Jelasnya, mendorong demokratisasi kampus adalah hal yang wajib dijalankan.

Mengapa mesti PTN-BH? Jawabanya agar segala praktik-praktik birokrasi dalam melaksanakan setiap kebijakan akademik dan non akademik tidak dibawah kontrol pemerintah, dan birokrat kampus akan lebih leluasa dalam melancarkan aksi otonominya untuk menghalang siapa saja yang terlibat aktif dalam menghalangi setiap agenda-agendan yang menguntungkan bagi mereka.

Ilusi bukan solusi!

Gambaran tentang sistem pendidikan kita seperti halnya tentang cara kerja sistem sosial yang ada, terbilang kompleks dan kelam, seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan.

Gagasan PTN-BH yang diharapkan akan menjadi solusi bagi sistem Pendidikan di UNM, mala akan semakin memperburuk sistem tersebut. Dimana, dari Ide PTN-BH mencoba untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam upaya menjamin rakyatnya dalam mengenyam pendidikan. PTN-BH juga mengubah orientasi pendidikan menjadi pendidikan yang berorientasi provit atau bisnis sedangkan kita ketahui bersama bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang diterjemahkan dalam tri dharma perguruan tinggi. Penjelasan tersebut telah memperlihatkan bahwa PTN-sBH merupakan intervensi langsung dari negeri Imperialis melalui lembaga internasionalnya untuk terus memastikan liberalisasi pendidikan, sehingga dapat dijadikan sebagai arena bisnis dan investasi yang menguntungkan.

Biaya Pendidikan adalah sala-satu problem yang sampai detik ini belum memiliki solutif alternatif lain dalam penyelesaiannya. Tak terkecuali di UNM. Beberapa tahun terakhir sejak sistem UKT di berlakukan, biaya kuliah naik setiap tahunnya, hal tersebut membuktikan bahwa UNM belum mampu meningkatkan pendapatannya selain menarik pendapatan besar dari UKT mahasiswanya. Sehingga mahasiswa yang harusnya melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, tapi bekerja dalam menghidupi kesehariannya. Bahkan tidak jarang banyak yang lebih memilih untuk berhenti kuliah hanya karena persoalan biaya.

Dalam sistem PTN-BH maka tidak jarang kita akan melihat banyaknya mahasiswa yang akan memilih tunduk dan patuh terhadap kebijakan yang ada, sebab kampus akan mencoba untuk terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk meredam segala bentuk gerakan mahasiswa. Lalu terus mendorong segala agenda- agenda yang menjauhkan mahasiswa dari kondisi realitas yanga ada.

 

Sebagai kampus yang otonom, tentu mahasiswa berharap memiliki harapan besar ikut andil dalam mengontrol segala kebijakan yang ada, hanya saja kemungkinan besar mereka tidak akan dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan-kebijakan yang ada. Hingga hal tersebut akan memicu masuknya kepentingan birokrat kampus dalam pengelolaan otonomi kampus.

Sekali lagi bahwa Pendidikan yang berwatak komersil tentu akan segelintir orang yang mampu mengaksesnya. Oleh karenanhya dapat disimpulkan bahwa asas keterjangkauan dalam pendidikan telah gagal dalam menemukan relevansiinya.

*Penulis: Muhammad Syarif, jurusan Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar

Berita Terkait

Pendidikan yang Membungkam : Saat Instansi Pendidikan Membentuk Komoditas Tanpa Imajinasi
Arah Sekolah dan Pendidikan
Awan Gelap LK FT-UNM: Kekosongan Intelektual dan Degradasi Gerakan Mahasiswa
Tantangan bagi Masyarakat yang Terinfeksi Informasi Sepihak
Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan
Semua Demi Pendidikan
Di Balik Layar Konflik: Memahami Strategi Psychological Warfare dalam Perang Modern
Perjuangan dan Potensi Perempuan: Transformasi Gender dalam Organisasi
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 3 Mei 2025 - 21:56 WITA

Pendidikan yang Membungkam : Saat Instansi Pendidikan Membentuk Komoditas Tanpa Imajinasi

Jumat, 2 Mei 2025 - 09:45 WITA

Arah Sekolah dan Pendidikan

Jumat, 14 Maret 2025 - 20:40 WITA

Awan Gelap LK FT-UNM: Kekosongan Intelektual dan Degradasi Gerakan Mahasiswa

Jumat, 8 November 2024 - 02:36 WITA

Tantangan bagi Masyarakat yang Terinfeksi Informasi Sepihak

Rabu, 3 Juli 2024 - 22:54 WITA

Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Karyawan

Berita Terbaru

Pendidikan Sejarah

Pameran Sejarah Jadi Wadah Edupreneurship dan Wisata

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:21 WITA

Fakultas Psikologi

Tim BKP Fakultas Psikologi Gelar Psikoedukasi Sex Education di PAUD Kartini

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:00 WITA

Himanis

UMKM Fest Wadah Promosi dan Pemberdayaan UMKM Lokal

Rabu, 7 Mei 2025 - 02:27 WITA