PROFESI-UNM.COM – Universitas Negeri Makassar yang disingkat sebagai UNM merupakan salah satu kampus terakreditasi A oleh BAN PT yang menjadi rujukan favorit bagi masyarakat penjuru Indonesia untuk melanjutkan jenjang studi yang lebih tinggi. Saat ini, UNM menyediakan sembilan fakultas dengan 62 jurusan pada jenjang Diploma dan Sarjana, serta program Pascasarjana dengan 26 jurusan pada jenjang Magister dan Doktor, dengan jumlah dosen berstatus guru besar atau profesor mencapai 101 orang.
Dinamika UNM selama didirikan telah mengukir banyak prestasi, salah satu dari sekian banyak prestasi yang tertaut pada kampus Pinisi saat ini adalah menempati urutan kedua skala nasional di bidang Art and humanities di bawah Universitas Indonesia berdasarkan penilaian Scimago Institutions Rankings (SIR) 2022. Hal yang menunjukkan bahwa secara keilmuan UNM matang dalam kajian terhadap aspek-aspek masyarakat dan budaya manusia.
Ibarat pepatah “berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau” dengan maksud untuk membangun citra demi menjaga marwah kampus, jangan setengah niat, tidak cukup dengan hanya merias perawakan untuk mendapatkan citra baik dari pihak luar saja, tetapi isi yang secara esensial dalam mensejahterakan proses pendidikan harus selalu diperjuangkan dan dibenahi.
Justru, gelar yang disematkan kepada UNM tersebut patut saya pertanyakan. Kegemilangan prestasi yang diukirkan oleh kampus berciri khas “Kapal Pinisi” selama ini tidak berbanding lurus terhadap upaya penyelesaian masalah-masalah internal kampus yang menjadi parasit dalam mewujudkan peradaban akademik yang madani.
Masalah-masalah yang kian menjamur di lingkungan kampus, tidak terlepas dari amanat pokok yang harus direalisasikan secara ideal sebagai syarat pengejawantahan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam rangka supremasi hukum untuk mewujudkan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Hal berseberangan dengan pedoman yang diatur dalam UU No. 12 tahun 2012 dapat kita jumpai di lingkungan UNM ialah tidak terpenuhinya secara kuantitas dan kualitas sarpras penunjang kegiatan perkuliahan, penerbitan kebijakan yang diskriminatif bagi mahasiswa, rasio jumlah mahasiswa dan dosen yang tidak sesuai standar, hingga budaya anti kritik oleh birokrat kampus yang kontradiksi terhadap implementasi nilai sebagai salah satu kampus yang dianugerahi pendidikan Arts and Humanities terbaik di Indonesia.
“Jika sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya tidak bisa dikritik, maka akan mati juga ilmu pasti itu”. Penggalan kalimat yang dikatakan oleh bapak Republik Indonesia Tan Malaka jika ditelisik lebih dalam ada keterkaitan dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang dikandung oleh UU Pendidikan Tinggi.
Mengisyaratkan agar segala bentuk tindakan anti demokrasi oleh penguasa atau pejabat yang menyangkut hajat masyarakat banyak, dalam suatu ekosistem kenegaraan perlu kita musnahkan agar keberlanjutan dialektika konstruktif mampu mencapai sintesis yang melahirkan pemikiran dan bermuara pada tindakan solutif.
Berkenaan dengan hal tersebut, jikalau para birokrat UNM dengan sejumlah guru besar yang tergabung dalam komplotan politiknya tidak disadarkan pada batasan etis yang mengingatkan mereka atas sumpah pengabdian dan tujuan mulia yang ingin dicapai kampus UNM. Maka tidak ada jalan lain, selain serikat mahasiswa yang harus turut andil dalam menjaga stabilitas, agar kemudi Pinisi tetap fokus pada arah kejayaan akademik dan tidak tenggelam di tengah pelayarannya.
Urgensi Pembentukan LK Universitas
Berkiprah pada romantisme sejarah, tentang pergerakan berstatus internal maupun eksternal kampus, aktivis beralmamater oranye jarang sekali absen partisipasi. Salah satu dari sekian banyak keterlibatan aktivis UNM, dapat ditinjau dari peristiwa INSTING yang menjadi memoar pembuktian mahasiswa UNM atas keberpihakannya terhadap kaum yang tertindas dan kurang mampu. Solidaritas, keberanian, dan semangat juang yang terus membara, selalu menjadi sumber ketakutan bagi persekongkolan yang merugikan negara dan masyarakat. Meskipun luka dan kerugian materi menjadi resiko yang secara sadar pasti mereka terima.
Namun, berdasarkan hemat analisis sederhana saya, akhir-akhir ini aktivitas pergerakan UNM lebih terfokuskan pada persoalan yang melanda internal kelompok dalam skala fakultas. Kita kurang melirik segala sesuatu yang lebih besar dampaknya atau isu-isu yang berskala universitas dan nasional. Jujur saja, hal tersebut menggerus semangat menuju titik rendah yang mempengaruhi kualitas kinerja kolektif aktivis UNM.
Hal tersebut saya dapati ketika mengikuti beberapa konsolidasi yang digagas aliansi “sembilan mata oranye”.
Aliansi yang menjadi nomenklatur serikat BEM UNM yang telah vakum hampir tiga tahun ini. Kajian yang dihasilkan cukup strategis untuk mengawali pergerakan, namun massa yang hadir dari berbagai organ sangat kurang. Saya juga melihat bahwa respon kolektif kita terhadap berbagai isu kebangsaan hanya sebatas bahan gorengan dan minim tindak lanjut, bahkan jadwal pertemuan selalu ngaret parah dan kadang dibatalkan begitu saja.
Kecurigaan saya adalah jika gerakan tersebut untuk organ tertentu, hanya dijadikan sebatas agenda seremonial penggugur tanggung jawab moral, dan hanya menjadi panggung yang berorientasi pada eksistensi pragmatis. Sebab, evaluasi dan tindak lanjut yang seharusnya dilaksanakan pasca setiap gerakan yang telah dilakukan tidak kunjung diperadakan, walaupun diperadakan massa yang hadir pun hanya seberapa. Padahal, tujuan dari pergerakan adalah nafas yang menghidupi gerakan tersebut dan perlu upaya yang besar agar terwujud.
Sebagai bahan pembanding, situasi selama ini berbeda dengan kualitas gerakan yang berjalan pada masa kepengurusan BEM UNM yang melakukan gerakan kolektif-terstruktur dan masif untuk melakukan pengawalan hak-hak dasar mahasiswa, seperti persoalan UKT yang bisa dikatakan memperoleh hasil yang cukup baik pada saat itu, menyuarakan kritik keras sebagai perlawanan lapisan bawah, serta membredeli praktik feodal yang bertindak sewenang-wenang di tubuh birokrasi UNM.
Selanjutnya di ranah eksternal, semisal gerakan penolakan beberapa RUU yang tidak pro rakyat di tahun 2019 lalu. Kajian strategis terkait isu yang dikawal sangatlah cermat, jumlah massa yang hadir pun pada saat konsolidasi dan aksi turun ke jalan sangat banyak, membuat jalan A. P Pettarani menjadi lautan manusia beralmamater oranye.
Perbedaan yang sangat mencolok dari segi perencanaan, penggalangan dan propaganda, serta eksekusi di lapangan yang tentunya mengunggulkan pergerakan mahasiswa UNM saat disimpulkan dalam satu ikatan yang terstruktur. Meskipun periode 2019/2020 memiliki kesalahan fatal yang mengakibatkan kevakuman beberapa tahun ini. Setidaknya ada pelajaran yang bisa dijadikan evaluasi dalam membina massa pergerakan.
Seperti kutipan kalimat dalam buku Aksi Massa – Tan Malaka (1926) “Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang”, meniscayakan kelahiran restorasi untuk mencapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih pula segenap kemampuan untuk mendirikan wadah kelembagaan yang baru atas kehendak bersama oleh segenap mahasiswa UNM.
Saya berpesan beberapa hari ke depan kita akan menentukan siapa yang bisa menjadi pemimpin aliansi sembilan mata oranye untuk menjadi satu ikatan legal dan terstruktur. Walau momentum ini digagas oleh perbantuan pihak atas, hal tersebut tidak sepenuhnya sarat akan kepentingan, hal ini sebenarnya sudah sejak lama diinisiasi oleh teman-teman mahasiswa dan menjadi desakan dari lapisan bawah. Kalaupun berbicara kepentingan (pasti ada), hal itu kembali kepada teman-teman semua yang tentunya menjadi pertaruhan idealisme kawan-kawan sekalian. Memilih sebagai pemuda idealis atau hanya sebagai pecundang atau kacung saja.
Penulis, Muh. Riyadh Ma’arif – Ketua Komisi III Maperwa Fak. Psikologi UNM (Periode 2022 – sekarang) (*).