
PROFESI-UNM.COM – Seleksi masuk perguruan tinggi negeri sedang gencarnya dilakukan saat ini. Hampir seluruh siswa SMA/MA/SMK serta alumni yang bahkan telah menjadi mahasiswa berlomba-lomba untuk mengejar kursi di perguruan tinggi negeri ketimbang perguruan tinggi swasta. Setelah SNMPTN dan SBMPTN sebagai jalur ‘berkeadilan’ yang menyerap cukup banyak calon mahasiswa. Jalur Mandiri hadir sebagai alternatif ketiga. Sayangnya, jalur ini justru kerapkali digunakan untuk menarik dana besar dari calon mahasiswa yang ‘berduit’. Serentetan kasus mengenai polemik uang pangkal, SPI, uang tes kesehatan dan segala jenisnya adalah wujud nyata dari pemerasan jalur ini. Beberapa perguruan tinggi di Indonesia memerankan hal ini. Semoga saja di perguruan tinggi di Sul-Sel bukan termasuk atau berhadapan dengan polemik ini.
Tetapi disini, penulis bukan menyoroti tentang pendidikan yang dikomersilkan. Namun, mencoba menyoroti sistem seleksi ujian tertulis pada jalur mandiri yang masih banyak kekurangan dan mungkin juga jalur SBMPTN. Memang di negara ini, perguruan tinggi negeri masih lebih diamini prestisnya ketimbang perguruan tinggi swasta. Penambahan jumlah perguruan tinggi lewat statuta pengalihan dari PTS ke PTN nyatanya masih saja belum mampu mengimbangi peminat perguruan tinggi yang sedemikian banyaknya. Di tambah lagi,pemerintah mencanangkan statuta PTN berbadan hukum kepada sejumlah perguruan tinggi negeri ‘elit’, sebagai wacana masuk world class university justru makin menimbulkan ketimpangan dan jarak antar perguruan tinggi. Ketimpangan jumlah calon mahasiswa yang ingin mendapatkan kesempatan mencicipi pendidikan tinggi dengan kuota
yang tersedia disiasati dengan melakukan berbagai seleksi diantaranya SNMPTN, SBMPTN, dan Ujian Mandiri. Tujuannya untuk melakukan penyaringan terhadap calon mahasiswa yang memiliki potensi lebih
besar untuk berhasil di bangku perkuliahan kelak. Pelaksanaan ujian ini diharapkan dapat menyaring mahasiswa yang tepat untuk menyenyam pendidikan di jurusan dan perguruan tinggi yang mereka pilih.
Namun, apakah sistem ujian tulis untuk menyeleksi calon mahsiswa ini benar-benar mencapai tujuannya?. Apakah cara yang dilakukan sudah dapat menghitung kemampuan calon mahasiswa secara akurat?. Tidak sedikit mahasiswa yang baru menyadari bahwa mereka ternyata memilih jurusan yang kurang sesuai dengan minat dan bakatnya. Tidak sedikit pelajar Indonesia yang tidak mendapatkan kesempatan kuliah di jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya karena tersaingi oleh pelajar lain yang baik di segala bidang. Namun belum tentu baik pada bidang yang ia pilih. Pada kenyataannya, sistem ujian tulis yang berlaku saat ini belum benar-benar efektif untuk melakukan seleksi terhadap mahasiswa yang tepat pada jurusannya. Sampai kapan pelajar Indonesia harus merasakan ini?. Sampai kapan Indonesia kehilangan potensi sumber daya manusianya karena kecilnya kesempatan untuk dapat duduk mengenyam pendidikan pada bidang yang sesuai minat dan bakatnya ini?.
Bentuk soal ujian tertulis yang diujikan kepada calon mahasiswa untuk setiap jurusan adalah sama. Padahal tuntutan kompetensi yang dibutuhkan adalah berbeda. Perbedaan yang ada pada bentuk soal hanyalah pada dua cakupan yang sangat umum, yaitu saintek dan sosial humaniora, padahal perbedaan kompetensi yang dibutuhkan tidak hanya terletak pada apakah bidang tersebut merupakan bidang saintek ataupun bidang sosial. Setiap jurusan pada dua bidang besar tersebut juga terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Contohnya saja, jurusan hukum dengan jurusan akuntansi tentu merupakan dua ranah yang berbeda dan idealnya bentuk tes yang dilakukanpun seharusnya juga berbeda, jurusan sastra dan jurusan psikologi tentunya menuntut kompetensi yang berbeda juga. Pada kelompok saintek, jurusan kedokteran dan teknik tentu menuntut kompetensi yang jauh lebih berbeda, namun standar tes yang diujikan adalah sama.
Apa akibat dari pemukulrataan bentuk soal ini?. Untuk dapat lebih memahami dampak dari sistem ujian tulis yang tidak memperhatikan tuntutan kompetensi secara lebih spesifik ini, saya berikan sebuah contoh kasus.
Seorang calon mahasiswa, sebut saja si A memiliki daya pikir kritis yang tinggi, memiliki ketertarikan lebih pada hukum dan aplikasinya di Indonesia, ia juga merupakan individu yang tegas dan berani. Si A akhirnya memilih jurusan hukum yang ternyata memiliki passing grade cukup tinggi, namun, A tidak memiliki kompetensi yang sangat baik pada bidang ekonomi dan geografi serta matematika dasar. Akibatnya, walaupun sudah berusaha mendalami kedua pelajaran tersebut namun karena memang tidak memiliki jiwa disana. Akhirnya si A tetap tidak
mampu untuk menjawab semua soal dengan baik. Alhasil, si A tidak lulus pada jurusan yang ia inginkan dan sesuai dengan kemampuannya. Kasus Si A terjadi dalam berbagai bentuk dan variasi, semuanya bersumber pada satu permasalahan, soal yang sama untuk tuntutan kompetensi yang berbeda.
Kasus Si A apabila dianalisis lebih lanjut menyadarkan kita akan sistem ujian yang masih butuh evaluasi. Pada beberapa jurusan terdapat kompetensi penting yang bahkan tidak diujikan, contohnya saja pada jurusan hukum dan ilmu sosial politik dimana pada tes ujian tulis manapun sejauh yang saya ketahui tidak mengujikan pelajaran
pendidikan kewarganegaraan yang didalamnya terdapat materi tentang ketatanegaraan. Tidak hanya itu, terdapat juga beberapa jurusan yang diberikan tes yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, contohnya saja jurusan-jurusan sastra bahasa asing. Ujian tulis ini pada perkembangannya akhirnya memunculkan passing grade yang lebih tinggi untuk jurusan-jurusan tertentu. Passing grade yang tinggi tersebut juga akhirnya memunculkan sebuah gengsi tersendiri pada jurusan yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya, akhirnya pada masyarakat awam muncul peremehan atas jurusan-jurusan tertentu yang memiliki passing grade yang lebih rendah. Padahal, pada kenyataannya belum tentu jurusan dengan passing grade rendah memiliki tingkat kesulitan yang rendah pula ketika benar-benar kuliah.
Untuk lebih memahami, saya berikan lagi sebuah contoh kasus. Sebut saja si B karena mengincar nama universitas akhirnya memilih jurusan dengan passing grade tidak terlalu tinggi dimisalkan hanya sebagai
contoh ilmu bebatuan, padahal si B memiliki bakat dalam memodifikasi kendaraan, namun karena passing grade yang tinggi Si B akhirnya tidak memilih teknik mesin. Si B akhirnya dapat lulus pada ilmu bebatuan di universitas ternama di Indonesia. Namun, setelah masuk di bangku kuliah ternyata ilmu bebatuan menuntut usaha dan kemampuan yang juga tinggi. Si B harus mengerjakan berbagai laporan pratikum, memahami rumus-rumus kimia, geografi, juga memperajari fisika, dan matematika yang ternyata berada di luar kemampuan dan minat si B selama ini. Alhasil, si B menjadi satu dari sekian mahasiswa salah jurusan di negeri ini. Berbagai problematika dan konsekuensi dari sistem seleksi ujian tulis untuk masuk perguruan tinggi ini, mau tidak mau menuntut untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan tinggi kita dalam hal ini mekanisme penerimaan mahasiswanya. Kita tentunya tidak menginginkan adanya banyak pengangguran sarjana di negeri ini, tidak ada lagi mal praktek oleh dokter, guru yang mengajar bukan jurusannya, kesalahan konstruksi bangunan, dan berbagai problem dari
salah jurusan dan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan yang terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, pendidikan yang merupakan kunci dari kesejahteraan dari suatu bangsa hendaknya gencar untuk dilakukan evaluasi.
Perlu dilakukan evaluasi pada materi yang diujikan dan proporsi penilaiannya pada setiap bidangnya. Misalnya untuk jurusan kedokteran, soal biologi perlu mendapatkan skor yang lebih tinggi dibandingkan materi yang lain. Sedangkan untuk bidang politik dan hukum, perlu diberikan pengujian terhadap materi yang berkaitan
dengan ketatanegaraan, dan jika memungkinkan seleksi yang menguji daya pikir kritis dan pemahaman untuk ketatanegaraan secara dasar perlu diujikan. Materi yang tidak berkaitan dengan ilmu sosial politik dan hukum semisal geografi hendaknya tidak diujikan, dan materi yang memiliki keterkaitan yang tidak begitu tinggi terhadap ilmu sosial politik semisal ekonomi pada materi akuntansinya, matematika dasar pada materi limitnya dan materi-materi yang tidak ada sangkut pautnya dan sama sekali tidak memberikan informasi apa-apa terhadap potensi
calon mahasiswa pada bidang ilmu sosial dan politik hendaknya diberikan skor yang rendah dan jika memungkinkan tidak perlu diujikan.
Dengan pengujian yang sesuai bidangnya, maka keadilan terhadap kesempatan duduk pada jurusan yang sesuai minat dan bakat semakin akan dekat pada titik terangnya. Salah jurusan berjamaah dapat diminimalisir, kenapa diminimalisir?. Karena keinginan orang tua akan anaknya masih belum dapat diatasi dengan evaluasi terhadap bentuk soal ini. Pada akhirnya kita hanya bisa merenungi betapa masih carut marutnya pendidikan tinggi di negeri ini. Ya, memang perlu adanya kesadaran kolektif terhadap seluruh pihak terkait kepedulian terhadap
pendidikan khususnya pada wilayah PTN dan PTS demi mewujudkan pendidikan yang adil dan beradab ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. (*)
*Penulis adalah Amdani Syam, Mahasiswa FSD, Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Sendratasik FSD UNM