PROFESI-UNM.COM – Beberapa orang mungkin tertawa ketika kami mengibarkan bendera One Piece di tengah aksi massa. Bagi mereka, itu hanya bendera fiksi dari dunia bajak laut. Tapi, bagi kami—dan semestinya bagi siapa pun yang mau merenung—bendera itu menyimpan makna mendalam. Sebuah simbol perlawanan terhadap tirani, pengkhianatan terhadap keadilan, dan impian untuk dunia yang bebas dari ketakutan.
Di tengah wacana revisi KUHAP yang terus mengemuka, kami bertanya: Apakah hukum hari ini benar-benar berpihak pada rakyat? atau justru semakin digunakan sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis?
Bendera Jolly Roger dari kapal Topi Jerami bukan sekadar hiasan. Ia hadir di tengah ribuan mahasiswa sebagai pengingat bahwa dalam sejarah—baik fiksi maupun nyata—selalu ada pihak yang berani menantang ketidakadilan. Di dunia One Piece, mereka disebut bajak laut. Di dunia nyata, mereka disebut mahasiswa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kami sadar, simbol ini tidak populer di ruang formal. Tapi, inilah yang dibutuhkan bangsa hari ini: kejutan yang membangunkan nalar, bukan rutinitas yang meninabobokan nurani. Bendera itu adalah bentuk kritik dan harapan. Kritik terhadap sistem yang kerap memihak kekuasaan, dan harapan bahwa rakyat masih bisa bermimpi tentang keadilan.
Bangsa ini tak kekurangan orang cerdas. Akan tetapi, yang kita butuhkan saat ini adalah kesadaran. Sadar bahwa hukum bisa jadi senjata berbahaya bila diserahkan pada tangan yang salah. Sadar bahwa diamnya rakyat bisa lebih mematikan daripada kerasnya kekuasaan.
Kami mengibarkan bendera itu bukan untuk gaya-gayaan. Kami mengibarkannya karena kami tahu: jika bangsa ini tak segera sadar diri, maka kita semua akan tenggelam—bukan karena badai besar, tapi karena kita terlalu nyaman dalam kapal yang rusak.
Maka hari ini, biarlah bendera One Piece berkibar sebagai tamparan. Sebagai tanda bahwa mahasiswa tidak akan diam, dan bahwa bangsa ini masih punya harapan—selama kita berani melawan, berpikir, dan bergerak. (*)
*Penulis: Ahmad Fadil







