PROFESI-UNM.COM – Bulan Ramadhan adalah bulan yang istimewa dan bulan yang paling agung. Kini, bulan yang ditunggu-tunggu itu telah tiba. Banyak orang menyambutnya dengan penuh suka cita. Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan di dalamnya, akan ada penganugerahan seribu bulan di saat-saat tertentu. Semua umat muslim di seluruh dunia pun bergembira. Berbondong-bondong orang memanfaatkan kehadiran bulan yang penuh kemuliaan ini.
Menyambut bulan Ramadan dengan penuh kegembiraan ini sudah pernah dilakukan Nabi saw. di depan para sahabatnya dan mengajak mereka untuk bersama-sama merayakan kedatangan bulan Ramadan. Dalam kitab Al Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُبَشِرُ اَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ يَقُوْلُ : ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ
“Rasulullah saw. memberikan kabar gembira kepada para sahabatnya tentang kedatangan bulan Ramadan seraya beliau berkata: ‘Telah datang kepada kalian Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa di dalamnya. Di bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.”
Namun, Ramadhan tahun ini benar-benar berbeda dari yang sebelumnya. Kemeriahan ibadah jauh berkurang dari biasanya. Ibadah Ramadhan kali ini dihadapi dengan rasa keprihatinan dan kewaspadaan pada paparan virus corona (Covid-19). Kegiatan di luar rumah yang melibatkan orang banyak sementara dihindari umat muslim. Pada kondisi ini, ibadah pun menjadi lebih personal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibat dari pandemi tersebut, tak sedikit dari umat muslim yang merasa sedih dan pesimis mampu melewati Ramadhan dengan amalan yang totalitas. Hal tersebut tentunya sangat disayangkan. Jika kita kembali menyelami sirah Nabi, akan kita temukan sesosok luar biasa yang mampu dijadikan sebagai role model dalam beribadah di tengah kondisi karantina seperti ini, yakni Nabi Ayyub a.s.
Nabi Ayyub berasal dari Rum (Romawi), beliau adalah Ayyub bin Mush bin Razah bin Al-‘Ish bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Tarik Ath-Thabari. Istri beliau sendiri adalah Layaa binti Ya’qub. Sedangkan yang paling masyhur, nama istri beliau adalah Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin Ya’qub. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 506).
Nabi Ayyub dikenal ketakwaannya, kekayaannya dan kedermawanannya. Selain keluarga yang sempurna, beliau dikaruniai harta yang berlimpah. Namun setelah itu, beliau diuji Allah dengan penyakit yang menimpa badannya, juga mengalami musibah yang menimpa harta dan anaknya, semua pun sirna. Beliau diuji terkena penyakit kulit, yaitu judzam (kusta atau lepra). Yang selamat pada dirinya hanyalah hati dan lisan yang beliau gunakan untuk banyak berdzikir pada Allah sehingga dirinya terus terjaga. Semua orang ketika itu menjauh dari Nabi Ayyub hingga ia mengasingkan diri di suatu tempat.
Hanya istrinya sajalah yang mau menemani Ayyub atas perintahnya. Sampai istrinya pun merasa lelah hingga mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349) karena sikap Nabi Ayyub yang bersabar, berserah diri dan bertawakkal kepada Allah dalam menyikapi penyakit yang menimpa dirinya, maka Allah akhirnya mengabulkan doa-nya. Allah juga melenyapkan berbagai penyakit yang ada padanya sehingga sembuh lahir batin. Allah mengembalikan keluarganya kepadanya untuk lebih sempurna kebahagiaannya. Dan terakhir, Allah telah melipatgandakan jumlah keturunan Nabi Ayyub sebagai suatu rahmat kepada hamba-Nya yang sabar.
Dari kisah Nabi Ayyub tersebut, dapat kita lihat bahwa terdapat dua sifat mulia yang melekat dalam diri Nabi Ayyub sebagai muslim yang bertakwa, yakni sabar dan ikhlas. Sabar secara bahasa berarti al habsu yaitu menahan diri. Sedangkan secara syar’i, sabar adalah menahan diri dalam tiga perkara, yaitu : (1) ketaatan kepada Allah, (2) hal-hal yang diharamkan, (3) takdir Allah yang dirasa pahit (musibah).
Dalam menghadapi ujian yang diberikan oleh Allah swt, Nabi Ayyub memilih untuk bersabar dengan kesabaran yang baik. Secara tidak langsung, Nabi Ayyub memahami betul ganjaran yang diberikan oleh Allah swt. kepada orang yang bersabar, seperti dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada masa depan), sedih (akan masa lalu), kesusahan hati (berduka cita) atau sesuatu yang menyakiti sampai pada duri yang menusuknya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573. Lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 118 dan Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 1: 491).
Kesabaran membutuhkan keikhlasan, begitu juga halnya dengan ikhlas membutuhkan kesabaran. Sabar seharusnya tidak berbatas, tapi kelemahan kita sebagai manusialah yang menyebabkannya menjadi terbatas. Karena ia (sabar) begitu setia pada “ikhlas” sehingga tidak ada alasan ia memiliki batas. Ikhlas mengajari sabar untuk dapat tenang dalam menghadapi masalah apapun karena ia tahu semua yang terjadi hanyalah kehendak-Nya.
Kesabaran dan keikhlasan Nabi Ayyub tercermin dalam doa dan dzikirnya yang diabadikan dalam Al-Quran.
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya’: 83).
Dalam masa karantina alias ketika Nabi Ayyub mengisolasi diri selama ditimpa penyakit, beliau memilih untuk tetap bersabar dalam ketaatan dengan senantiasa membasahi lidahnya dengan dzikir dan doa tanpa henti, hingga akhirnya Allah pun menurunkan rahmat serta pertolongan-Nya kepada Nabi Ayyub sebagai balasan atas kesabaran dan keikhlasannya. Sebagai umat muslim, sudah seharusnya kita mengambil ibrah dari sirah nabi-nabi yang sarat dengan hikmah, seperti kisah Nabi Ayyub tersebut.
Jangan sampai pandemi yang menyerang bangsa ini membuat semangat Ramadhan menjadi terhenti. Ramadhan akan tetap hidup bagi siapa yang mampu menghidupkannya. Seperti halnya Nabi Ayyub, kita dapat mengisi masa karantina selama Ramadhan dengan memperbanyak doa dan dzikir kepada Allah swt. Tak hanya itu, kita juga dapat melakukan tadabbur, menghafal Al-Quran serta memperbanyak tilawah. Bukankah membaca Al-Quran ialah sebaik-baik dzikir?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa orang yang sibuk membaca Al-Qur’an dan tak sempat membaca dzikir yang lain akan diberi balasan terbaik melebihi balasan mereka yang meminta, sebagaimana riwayat Abu Sa‘id dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Allah berfirman: “Siapa saja yang disibukkan oleh membaca Al-Qur’an, hingga tak sempat dzikir yang lain kepada-Ku dan meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberinya balasan terbaik orang-orang yang meminta. Ingatlah, keutamaan Al-Qur’an atas kalimat-kalimat yang lain seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya,” (HR.Al-Baihaqi).
Semoga kita semua dapat menjadi hamba yang sabar, ikhlas, serta istiqomah melakukan kebaikan serta melaksanakan ketaatan dalam kondisi apapun.(*)
*Penulis: Mariam Kamila (STEI SEBI)