PROFESI-UNM.COM – “Empati tak boleh menjelma menjadi impunitas, dan kasih sayang tidak boleh menutupi keadilan.”
Sebagai mahasiswa Pendidikan Khusus, saya mempelajari bahwa setiap anak memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang tanpa diskriminasi. Disabilitas bukanlah penghalang untuk menjadi bagian dari masyarakat yang utuh. Namun, nilai-nilai inklusi yang kami pelajari itu terkadang mengalami pembelokan makna di ranah praktik. Banyak pihak yang terlalu memaklumi perilaku anak disabilitas, bahkan ketika perilaku tersebut telah melanggar nilai-nilai etika yang mendasar.
Saya memahami bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik yang unik. Namun memahami tidak berarti membiarkan. Inklusi seharusnya dengan prinsip pendidikan karakter, bukan menjadi jalan pintas untuk menciptakan zona bebas kritik bagi mereka. Ketika anak disabilitas melakukan kesalahan, sistem harus tetap hadir untuk mengarahkan, bukan diam atau justru melindungi mereka secara berlebihan dari tanggung jawab.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Contoh kasus seperti yang terjadi pada Agus Buntung memperlihatkan betapa masyarakat kita masih gagap membedakan antara empati dan pengabaian. Sebagian orang membelanya bukan karena data, tapi karena kasihan melihat kondisi fisiknya. Di sini letak persoalan mendasarnya: ketika rasa iba lebih utamakan daripada keadilan bagi korban. Padahal kekerasan seksual adalah pelanggaran serius yang tak boleh tertutupi oleh status apapun.
Kita harus sadar bahwa menyikapi pelaku dengan disabilitas bukan berarti membuang prinsip keadilan. Justru, di sinilah pendidikan inklusif teruji: apakah kita mampu tetap menjaga batas-batas moral sembari tetap memperhatikan kebutuhan khusus dari pelaku. Perlindungan tak berarti pembiaran. Pendidikan tak berarti pemanjaan. Inklusi tak berarti impunitas.
Karena pada akhirnya, jika kita gagal menjaga keadilan bagi semua pihak, maka tujuan dari pendidikan inklusif itu sendiri menjadi kehilangan makna. Kita tak sedang menciptakan masyarakat yang setara, tapi justru memperpanjang rantai kekerasan yang tak terlihat.
Ketika Sekolah Inklusi Menjadi Zona Abu-abu
Di lapangan, saya menyaksikan sendiri bagaimana sebagian Sekolah Luar Biasa dan Sekolah inklusi mengalami dilema besar: antara memberi ruang aman bagi anak disabilitas, atau tetap menegakkan kedisiplinan dan norma sosial. Beberapa guru merasa tertekan ketika harus memberikan sanksi kepada siswa disabilitas karena takut dianggap “tidak inklusif” oleh orang tua atau lembaga.
Akibatnya, sekolah-sekolah ini sering kali membiarkan perilaku menyimpang tanpa penanganan yang jelas. Di salah satu sekolah, seorang siswa dengan disabilitas intelektual ringan mencabuli temannya, dan tindakan tersebut diselesaikan secara “diam-diam” tanpa ada pemulihan bagi korban atau evaluasi terhadap pelaku. Sekolah memilih diam karena takut menimbulkan stigma atau konflik.
Padahal, anak-anak dengan tunagrahita ringan masih mampu dibimbing untuk mengenali batas-batas sosial. Mereka bisa dilatih untuk memahami norma dan diajarkan tentang consent, penghargaan terhadap tubuh orang lain, serta empati. Masalahnya bukan pada keterbatasan kognitif, tapi pada absennya intervensi yang tepat dan sistem yang tegas.
Jika sekolah hanya berperan sebagai pelindung semu, tanpa membentuk karakter dan akuntabilitas, maka itu bukan inklusi yang sehat. Itu adalah zona abu-abu, di mana keadilan dikaburkan oleh rasa takut dan rasa kasihan. Dan dalam zona abu-abu seperti ini, korban menjadi tidak terlihat.
Inklusi yang benar bukanlah menghindari konflik, melainkan membangun sistem yang adil bagi semua. Termasuk korban, pelaku, guru yang harus diberi kebebasan untuk mendidik dengan cinta dan ketegasan sekaligus.
Empati yang Salah Arah Adalah Ancaman Baru
Masyarakat kita begitu cepat memberikan pembenaran atas dasar kasihan. Ketika melihat penyandang disabilitas menjadi pelaku kekerasan, respons awal banyak orang bukan mencari kebenaran atau fakta, melainkan melindungi pelaku dari kritik. Kalimat seperti “masa iya orang kayak gitu melakukan itu?” atau “kasihan dia disabilitas” sering kita dengar.
Inilah bentuk empati yang salah arah. Empati yang tidak berdasarkan keadilan adalah bentuk baru dari pengabaian terhadap korban. Kita tanpa sadar menciptakan dunia di mana korban diminta memahami pelaku, bukan sebaliknya. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang berlangsung terus menerus dalam narasi-narasi publik.
Ketika disabilitas dijadikan tameng, bukan hanya korban yang dirugikan, tetapi juga komunitas disabilitas itu sendiri. Masyarakat jadi skeptis, dan pendidikan inklusi kehilangan kredibilitasnya. Perjuangan panjang yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis, guru, dan komunitas pun dipertaruhkan hanya karena ketidaktegasan kita dalam membedakan rasa kasihan dari keadilan.
Filsuf Immanuel Kant menekankan pentingnya akuntabilitas moral. “Siapapun yang memiliki rasionalitas adalah subjek moral, dan bertanggung jawab atas tindakannya.” Maka kita perlu berpikir ulang: apakah kita sedang menciptakan ruang yang setara, atau justru ruang penuh pembenaran yang membahayakan semua pihak?
Pendidikan khusus yang berpihak tidak berarti memihak secara membabi buta. Ia berpihak pada pertumbuhan semua pihak, termasuk pelaku, korban, dan masyarakat yang ingin percaya pada nilai inklusi.
Saat Inklusi Diartikan Terlalu Lunak
Inklusi adalah gagasan progresif. Tapi bila ditafsirkan secara lunak tanpa batas, inklusi bisa berubah menjadi alat pelumpuh moral. Saya menemukan beberapa siswa disabilitas di sekolah inklusi yang merasa “kebal”. Mereka menolak tugas, memarahi guru, bahkan memukul teman, dan semua itu dibiarkan atas nama “pemahaman karakteristik”.
Ini adalah bentuk kegagalan sistemik. Ketika guru tak bisa bertindak karena takut dikritik, ketika orang tua bersikap defensif setiap kali anaknya diberi sanksi, ketika lembaga tutup mata karena ingin mempertahankan citra inklusif, di sinilah kita kehilangan arah. Karena pendidikan bukan sekadar tempat merasa aman, tapi juga tempat dibentuk dan bertumbuh.
Maria Ulfah Anshor dari Komnas Perempuan pernah berkata:
“Tidak ada kelompok mana pun yang boleh berlindung di balik identitasnya, agama, suku, atau disabilitas untuk melakukan kekerasan seksual.”
Perkataan ini tidak hanya penting secara hukum, tapi juga secara moral. Kita tidak boleh menoleransi kekerasan hanya karena pelakunya berasal dari kelompok rentan. Justru karena mereka rentan, mereka harus dibimbing dengan lebih cermat, bukan dibiarkan.
Inklusi sejati bukan berarti bebas dari disiplin. Tapi menciptakan ruang yang memungkinkan semua orang, disabilitas atau tidak untuk belajar dari kesalahan dan memahami batas. Ketika inklusi kehilangan batas, ia berubah menjadi pembiaran.
Tegas Itu Bentuk Cinta, Bukan Kekerasan
Sebagai calon guru pendidikan khusus, saya ingin menjadi bagian dari sistem yang tidak hanya memahami, tapi juga membentuk karakter. Teguran adalah bagian dari cinta. Batas adalah bagian dari perlindungan. Anak disabilitas bukan hanya objek perlindungan, mereka adalah manusia utuh yang butuh pembentukan moral seperti manusia lainnya.
Sayangnya, di banyak ruang, kita lebih memilih aman daripada jujur. Kita takut menegur karena takut salah, kita takut menilai karena takut dituduh diskriminatif. Padahal ketegasan yang didasarkan pada pemahaman justru akan menyelamatkan anak-anak itu dari kegagalan sosial di masa depan.
Seperti yang diungkapkan Paulo Freire:
“To educate is to transform the world, not to perpetuate the silence of the oppressed or the violence of the oppressor disguised in kindness.”
Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Kita harus mulai menegur dengan cinta, mengatur dengan empati, dan membentuk dengan keadilan. Itulah bentuk cinta yang sebenarnya: bukan memanjakan, tapi menyiapkan mereka untuk hidup di dunia nyata yang penuh batas dan tanggung jawab.
Jika tidak, maka inklusi hanyalah panggung kepura-puraan yang suatu hari akan runtuh, dan semua yang ada dalamnya akan terluka.
Keadilan Bukan Pilihan, Tapi Keharusan
Inklusi sejati tidak buta terhadap kesalahan. Ia tidak memihak buta. Ia adil. Ia berani. Ia berpihak pada pertumbuhan semua anak, bukan sekadar melindungi yang lemah, tapi juga memperkuat mereka untuk bertanggung jawab.
Anak disabilitas bukan hanya perlu dipahami, mereka perlu ditumbuhkan. Tidak dengan kemarahan, tapi dengan keberanian moral. Tidak dengan pembiaran, tapi dengan pendidikan karakter yang tegas.
Karena kasih sayang tanpa batas moral bukanlah cinta, melainkan bencana yang tertunda. (*)
*Penulis : Chalista Aiska Putri







