
PROFESI-UNM.COM – Sudah menjadi agenda rutin lembaga kemahasiswaan di akhir periode kepengurusan untuk bermusyawarah. Kegiatan ini merupakan momentum dalam peralihan tongkat estafet yang baru. Perjalanan dinamika lembaga akan menemui babak baru, mulai dari warna yang beragam, background berbeda serta nahkoda baru yang akan menentukan kemana lembaga akan berlabu.
Identitas lembaga akan memuai serta eksistensi lembaga akan memuncak. Kontestasi seperti ini pun akan melahirkan gesekan kecil, hak dipilih dan memilih adalah perwujudan dari sebuah bentuk demokrasi. Seyogyanya kegiatan seperti ini adalah festival gagasan, adu ide, pertarungan pemikiran untuk meramu lembaga dalam satu periode.
Namun nyatanya esensi dari musyawarah itu sudah bergeser nilainya. Pertarungan untuk menduduki kursi nomor satu sering ditunggangi dengan maksud tertentu, misal mencari keuntungan pribadi, popularitas, materi, ataukah dalam bentuk penghargaan. Padahal jika kita memaknai secara waras dan sadar bukan persoalan apa yang lembaga berikan kepada sang aktor, melainkan proses mewakafkan diri terhadap lembaga.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi ketika hasrat untuk mencapai posisi puncak berada pada level paripurna, maka manuver politik untuk mencapai singgasana itu akan mencapai ketidak warasan. Robert Greene dalam Bukunya 48 Hukum Kekuasaan Menjabarkan Stratapol (strategi dan politik) memenangkan kekuasaan. Teori ini sering dimatch untuk kepentingan tertentu, kampus pun tidak terhindarkan ketika kontestasi demokrasi pemilihan pimpinan lembaga kemahasiswaan.
Kondisi sekarang ini, kandidat calon pemimpin bukan lagi bersaing dengan kandidat lain. Melainkan sebuah skenario yang dibuat hanya untuk membuat masyarakat menilai negatif (framing). Hal ini hanya mengganggu momentum yang tepat dalam mencari sebuah celah kandidat lain dan menjadikan sasaran empuk dalam memainkan drama yang negatif dengan maksud menjatuhkan orang lain.
Kemudian akan muncul sebuah opini sesat atau penggiringan opini yang ditujukan agar sebuah fakta bisa disamarkan demi memunculkan hal yang baru. Ketidak mampuan seseorang dalam memfilter informasi sebagai sasaran tembak dalam menggoreng sebuah opini, hasut menghasut pun akan mulai dilancarkan agar value dari orang lain akan drop.
Ditambah lagi jikalau ada oknum yang memiliki kepentingan pribadi/golongan yang mempunyai peran vital dalam jalannya sebuah musyawarah. Amatiran dalam simpul menyimpulkan penilaian terhadap orang lain juga adalah adalah sebuah kesesatan dalam memilih. Sebab nyatanya jika ingin maju sebagai kandidat, bicara blakblakan salah satunya tidak dibenarkan agar disenangi semua pihak, padahal nyatanya menurut pribadi penulis, bicara benar dan menjaga integritas akan lebih mahal dan mulia daripada sebuah jabatan.
Oleh karena itu, tetap sadar dan waras kawan-kawan jangan mudah terlena dengan represif berkedok spekulasi pilih memilih yang berkualitas bukan sebuah bentuk politik transaksional yang kadang buta akan kualitas. Sudah waktunya pakai logika dan hati bukan persoalan tidak enak hati. (*)
*Penulis: Enaldi, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Sosial UNM Angkatan 2016