
PROFESI-UNM.COM – Tak dapat dipungkiri saat ini dunia sedang dilanda krisis iklim. Berbagai penelitian telah memaparkannya. Laporan IPCC mengungkap dalam rentang tahun 1990 hingga 2005 telah terjadi kenaikan suhu antara 0,15-0,3 derajat celcius.
Bahkan laporan terbarunya yang terbit pada Maret 2023, menjelaskan kenaikan suhu 1,1 derajat celcius yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah memicu krisis iklim bumi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.
The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index, laporan yang membahas analisis risiko iklim pada anak menunjukkan sekitar 1 miliar anak berisiko tinggi terdampak krisis iklim.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan yang diterbitkan UNICEF pada tahun 2021 itu juga menyebutkan sebanyak 1 miliar anak terpapar tingkat polusi udara yang tinggi. Selain itu terdapat 820 juta anak terpapar gelombang panas dan sebanyak 240 juta anak terpapar terhadap banjir rob.
Indonesia sendiri masuk dalam posisi ke-46. Paparan tinggi dampak krisis iklim terhadap intensitas kenaikan suhu, pencemar udara dan banjir rob. Hal itu tentu bberimplikasi pada kesehatan, perlindungan hingga sektor pendidikan.
Dampaknya Pada Siswa
Sebuah laporan dari The Global Education Monitoring (GEM) tahun 2020 yang menyajikan data hubungan antara kenaikan suhu dan pencapaian pendidikan. Hasilnya, suhu yang ekstrim berdampak buruk pada sekolah di 29 negara.
Studi tersebut menjelaskan jika kenaikan suhu rata-rata sebesar 1,8 derajat celcius menurunkan prestasi belajar siswa. Hal ini akan semakin diperparah jika kondisi sirkulasi udara yang tidak memadai akan memengaruhi proses pembelajaran.
Selain suhu yang tinggi, polusi udara juga berdampak buruk bagi siswa. Udara yang tercemar akan mengurangi kemampuan kognitif siswa.
Penelitian dari Sunyer dan belasan peneliti lainnya tahun 2015 terhadap 3000 anak di Spanyol menunjukkan jika mereka yang terpapar polusi yang tinggi di sekolah memiliki pertumbuhan perkembangan kognitif yang rendah. Penurunan fungsi kognitif memiliki konsekuensi terhadap pembelajaran, prestasi sekolah dan perilaku.
Sebuah artikel yang dirilis oleh The Economist tahun 2019 menerangkan jika saat berada di sekolah, siswa terkena polutan 30% lebih besar dibandingkan dibandingkan orang dewasa yang menemami mereka.
Bahkan beberapa negata menerapkan kebijakan menutup sekolah saat tingkat polusi udara dalam kategori membahayakan. Hal itu terjadi di India, Thailand dan Meksiko.
Indonesia juga mengambil tindakan akibat polusi udara. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan pada Agustus 2023 mengeluarkan Surat Edaran tentang penanggulangan dampak polusi udara bagi kesehatan termasuk pada anak sekolah yang masuk dalam kategori rentan.
Mengambil Tindakan
Melihat dampak krisis iklim yang signifikan pada dunia pendidikan, dibutuhkan upaya memberikan pengetahuan krisis iklim. Pendidikan terkait krisis iklim ditujukan untuk membekali siswa dengan pengetahuan, pengalaman hingga berperilaku dan bertindak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Nepras, Strejckova dan Kroufek tahun 2022 menyarankan dunia pendidikan terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah pertama memasukkan isu krisis iklim dalam proses pembelajaran.
Studi yang dipublikasikan di MDPI Journal menganalisis 43 penelitian juga menekankan jika keyakinan guru bahwa krisis iklim itu nyata terjadi menjadi indikator terkuat untuk meyakinkan siswa akan dampak krisis iklim.
Memberikan pengetahuan dan pembelajaran langsung kepada siswa berdampak positif untuk meningkatkan kepedulian dan harapan terhadap krisis iklim. Hasil lainnya juga menunjukkan kemauan siswa untuk bertindak di masa depan mengurangi dampak krisis iklim lebih besar didapatkan dari proses pengalaman langsung.
Beberapa waktu lalu penulis berkesempatan mendampingi salah satu SMP swasta di Makassar untuk belajar bagaimana masyarakat Rammang-Rammang, Maros menjaga sumber airnya.
Para siswa tersebut belajar langsung tentang pentingnya air bagi kehidupan serta cara warga melindungi sumber airnya. Di saat yang sama para siswa yang juga ditemani oleh beberapa guru juga melihat langsung cara warga di Rammang-Rammang menjaga alamnya.
Dari pengalaman itu penulis melihat antusiasme siswa berjalan di tengah pematang sawah, melihat sumber air yang ada di karst hingga menaiki perahu menyusuri sungai. Ada banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh siswa dan sebagian besar dari siswa tersebut baru merasakan pengalaman itu.
Selain memberikan pengalaman langsung kepada siswa, juga penting untuk merancang bangunan agar memberikan lingkungan belajar yang sesuai. Laporan dari GEM 2020 juga memperkirakan 93% suhu rata-rata pada tahun 2022-2026 akan lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2017-2021.
Beberapa pakar menyarankan membuat bangunan yang sedikit menghasilkan polutan dan memperbanyak area hijau untuk mengurangi suhu. Selain itu juga penerapan minim limbah juga harus diterapkan untuk semakin menguatkan kesadaran siswa dan pendidik untuk peduli terhadap lingkungan. (*)
*Penulis: Muhammad Riszky merupakan mahasiswa pascasarjana bimbingan dan konseling UNM