PROFESI-UNM.COM – Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra Universitas Lampung (Unila) mengalami rentetan intimidasi dan teror sejak Rabu (10/6).Kejadian ini disebabkan karena adanya diskusi tentang Diskriminasi Rasial terhadap Papua yang digelar UKPM Teknokra pada Kamis lalu, (11/6).
Pemimpin Umum Teknokra, Chairul Rahman Arif mengaku menerima teror sejak 10 Juni hingga diskusi berakhir pada 11 Juni. Sekitar 20 kali panggilan masuk melalui gawainya mengintimidasi untuk memberhentikan acara diskusinya. Penelpon mengaku alumni Unila.
“Mereka mengirimkan kata-kata ancaman dan menuduh provokasi. Bahkan mengirimkan data-data identitas lengkap saya dan orangtua bersama foto yang persis di KTP,” kata Irul, sapaan akrabnya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya itu, teror juga dialami oleh salah satu pengelola UKPM Teknokra, Mitha. Ia menerima telepon dan chat dari banyak pengemudi ojek daring. Pengemudi menanyakan pesanan oleh akun ojek daring Mitha. Padahal, Mitha mengaku sama sekali tidak memesannya. Pesanan datang bertubi-tubi hingga Mitha tak dapat lagi membatalkannya. Alhasil, para ojek daring tersebut juga kemudian membantu Mitha untuk menelpon Call Center ojek daring agar akunnya dibekukan.
Sembari menunggu akun ojek daring Mitha dibekukan, pengemudi ojek daring masih terus berdatangan ke Sekretariat UKPM Teknokra dan sudah mulai emosi karena order fiktif itu. Melihat situasi yang sudah tidak aman, para pengelola Teknokra mengamankan diri. Barang-barang sekret turut dibawa ke sebuah rumah aman.
Sebelumnya, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Yulianto menyarankan kepada Pemimpin Umum Teknokra untuk menunda diskusi serta menambah pembicara diskusi. Namun setelah berdiskusi dengan sesama pengelola dan dewan pembina, Teknokra memilih untuk tetap menjalankan diskusi dengan narasumber yang sudah ada.
Teror terus berlanjut dan mulai meretas akun-akun media sosial UKPM Teknokra hingga media sosial pribadi milik Mitha.
“Beruntungnya masih bisa diambil alih lagi untuk diamankan,” kata Mitha.
Mitha bersama seluruh pengelola UKPM Teknokra mengecam tindakan intervensi dan teror yang dialaminya. Menurutnya, kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat sebagai warga negara Indonesia telah dibatasi.
“Kejadian ini bisa menimpa kita semua jika kita tetap diam. Boleh tidak suka dengan isinya, tetapi tidak dengan membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sejak SD kita sudah sepakat bahwa Semboyan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”, Papua adalah bagian dari Indonesia. Menghargai keberagaman dan mencintai keunikan masing-masing itu Indonesia,” tutur Mitha. (*)
*Reporter: Andi Dela Irmawati