PROFESI-UNM.COM – DEWAN Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah menyepakati Rancangan UndangUndang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Undang-Undang (UU) ini memuat pasal-pasal yang dIanggap bertentangan dengan hak asasi manusia terutama dalam kebebasan berpendapat. Apakah pasal tersebut memang dibutuhkan? Ataukah hanya menjadi tameng bagi pemerintahan yang anti kritik?
RUU KUHP yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna, ini menjadi momok baru bagi masyarakat. Seperti halnya dalam Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, pasal 218, dan pasal 219, Bab V tentang Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum pasal 240, dan pasal 256.
Dalam pasal 218 berbunyi, “(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Dalam Pasal 219 berbunyi, “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Dalam pasal 240 berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Serta dalam pasal 256 berbunyi “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Keempat Pasal tersebut merupakan beberapa pasal yang dianggap bermasalah dari berbagai pasal-pasal yang ada. Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakutas Ilmu SosIal dan Hukum Universitas Negeri Makassar (FIS-H UNM) Herman, memberikan tanggapan terkait Pasal 218 ayat (1), 219, 240, 241, dalam pasal ini Ia menyebutkan batasan dari frasa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden”, dan “menghina pemerintah atau lembaga negara” jelas merupakan norma kabur (blanket norm) atau dapat disebut sebagai “Pasal Karet” yang bisa ditafsirkan sesuai kepentingan orang yang menggunakannya
Hal ini juga, sama dengan frasa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/ atau wakil presiden”, dan “menghina pemerintah atau lembaga negara” susah membedakannya dengan kritik atau hinaan yang ditujukan kepada presiden/wakilnya dan kepada pemerintah. Selain itu, perlu diketahui dalam hal ini soal kedudukan hukum (rechtspositie) presiden/wakilnya, apakah selaku subyek hukum pribadi (natuurlijke persoon), atau selaku pejabat negara (ambtenaar), dan hal ini tidak jelas dalam pasal tersebut, sehingga potensinya untuk mengkriminalisasi warga negara sangat besar.
Selain itu dalam Pasal 256 ini terlalu teknis sifatnya, seharusnya tidak menjadi muatan norma UU, pasal ini seharusnya dimuat dalam Peraturan Kapolri, soal pemberitahuan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi, karena hal ini merupakan norma yang berkenaan degan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk tekni (juknis) bagi aparat hukum seperti polisi. Selain berkenaan dengan izin (vergunning) dari kepolisIan dalam hal pawai, demonstrasi, atau unjuk rasa.
“Demonstrasi tentu kalau kita bicara pemerintah harus ada izin, izin itu salah satu tujuannya adalah untuk bagaimana hak yang digunakan oleh seseorang itu tidak menggangu hak orang lain kalau bunyi pasal itu saya setuju tetapi jangan di cantumkan di KUHP cantumkan di peraturan paling bawah di peraturan Kapolri,” jelasnya.
Selanjutnya, Ia memaparkan bahwa kebebasan merupakan jaminan kontitusional bagi setiap warga negara, oleh karena itu tidak ada satupun UU yang boleh membatasi. Namun RKUHP yang sudah disahkan menjadi UU akan mengikat kita semua dan memiliki pertentangan dengan UUD Pasal 28E kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan kedudukan undang-undang dasar itu lebih tinggi atau saya balik undang-undang KUHP ini sebagai undang-undang untuk melaksanakan UUD.
“Mengapa bisa berbeda Karena berlaku disitu ketentuan (leksgeneral leksuperiori lirohat legi imoeriore) apa artinya peraturan yang dibawa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang dIatas. Sudah jelas di situ sehingga ketentuan pembatasan untuk mengkritik, mengeluarkan ekspresi kebebasan berpendapat itu bertentangan secara dIametral dengan undang-undang dasar,” jelas Herman.
DPR bersama pemerintah seharusnya membuat UU untuk melaksanakan UUD bukan membuat pertentangan dIantara keduanya. Sehingga jika ingin ditelaah lebih jauh KUHP ini membatasi kebebasan berserikat, berpendapat dan lain sebagainya adalah anomali terhadap peraturan negara atas kebebasan orang untuk berekspresi sebagai bagIan dari hak asasi manusia.
“Konstitusi kita memberikan setiap orang untuk bebas tetapi cilakanya undang-undang KUHP ini justru membatasi. Kebebasan untuk berpendapat itu adalah jaminan konstitusional hak asasi warga negara yang scriptanya tertulis dengan jelas di UUD,” tegasnya.
Rakyat memberikan kedaulatannya kepada negara sehingga kemudIan DPR dalam membuat UU adalah bagIan dari inspirasi, aspirasi, mewakili rakyat. Kadang kadang UU di Indonesia tidak ada partisipasi sedikit pun, ada partisipasi tapi partisipasi yang sangat formal namanya (insfrak) jadi kita diajak berpartisipasi sekedar pemenuhan formalitas tidak betul betul diserap aspirasinya karena jika KUHP ini diterapkan itu mengikat kita semua.
“KUHP yang sekarang sudah disahkan menjadi UU partisipasi masyarakat hanya sebagai formalitas yang substantif, ketika kita datang ke sosIalisasinya kementrIan Hukun atau DPR habya sekedar ikut, makan, dan dikasi uang transporttapi pendapat kita tidak didengar,” tuturnya.
turnya UU ini ditetapkan sebagaimana tujuan politik hukum negara karena jika dibayangkan semua serba di atur, dikriminalisasi maka hukum pidananya negara kita adalah konsep pembalasan padahal seharusnya bukan lagi konsep pembalasan, tapi bagaimana merestorasi.
Hal yang sejalan diungkapkan Kaprodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Imam Suyinto, mengatakan setuju ataupun tidak setuju itu harus setuju, karena sudah diatur UU. UU dibuat kemudian sudah disahkan berarti sudah dipikirkan matang-matang semuanya harus taat hukum. Kecuali kalau undang-undang itu mau ditinjau kembali oleh mahkamah konstitusi. Selain itu UU harus jelas kata-kata atau hal-hal yang dikatakan kritik, yang mana dikatakan menghina.
“UUD melindungi kita, kebebasan mengeluarkan pendapat, pikiran. intinya dikasi jelaslah batasanbatasan kalau masih ada, rancangan undang-undang sebelum disahkan perlu dibaca dan dipelahari oleh masyaralat. kalau masih ada dinilau kurang dari masyarakat, perlu dikaji lagi, ditinjau lagi,” jelasnya. (tim)
*Tulisan ini telah terbit di tabloid edisi 262