PROFESI-UNM.COM – Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Pasal-pasal yang kontroversi salah satunya pasal 256 mengenai pembatasan mengkritik dan menyuarakan aspirasi rakyat dianggap kontradiksi dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 E ayat 3. Serta konteks dari RKUHP itu sendiri masih mengandung banyak ambiguitas di dalamnya.

Menurut ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (BEM-FIP) periode 2021-2022, yang sering disapa Bael mengungkapkan mengenai kebebasan berpendapat merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dijamin setiap saat dan sebagai negara demokrasi kebebasan berpendapat adalah hal ang paling pokok dalam jalannya demokrasi. Pasal-pasal berkaitan dilarangnya penghinaan terhadap pemerintah atau presiden secara khusus, itu bentuk mengurangi atau membatasi kebebasan berpendapat.

“Penghiaan kepada presiden itu tak semestinya dibuat dalam aturan konstitusi, logikanya masyarakat tak mungkin menghina pemimpin yang baik menurut mereka, malah menyanjungnya. Justru sebaliknya penghinaan akan muncul ketika tidak ada kesesuaian yang masyarakat lihat dari pemimpinnya,” jelasnya.

Bael juga mengatakan demonstrasi ungkapan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi negara, jadi sudah hal wajar dilakukan dalam proses demokrasi itu. Demontrasi yang mengakibatkan kemacetan pun hal wajar. Masyarakat dan mahasiswa harus saling mengerti tentang apa yang diperjuangkan dalam demosntrasi itu.

“Unjuk rasa memang diatur, arti dari kebebasan bukanlah bebas sebebas bebasnya. Kebebasan harus tetap berjalan tanpa menggangu hak orang lain namun dalam hal ini pasal 273 itu memang mencerminkan watak pemerintah yang anti kritik,” katanya.

Menurutnya, unjuk rasa atau demonstrasi tak semestinya meminta izin dulu, jadi ketika aparat tidak mengizinkan maka kebebasan berpendapat itu tidak berjalan dan melangar undangundang dasar 1945 pasal 28 E ayat 3. Demonstrasi tak harus berizin tapi hanya sekedar pemberitahuan agar aparat negara dapat menjamin keamanan demontstrasi maupun lingkungan masyarakat.

“Idealnya seperti itu, demonstrasi harusnya cuma berupa pemberitahuan bukan perlu perizinan. Tapi yang menentukan, tergantung siapa pemegang kekuasaan politik dan dapat memainkannya,” ucap Bael.

Sejalan dengan hal tersebut, Presiden BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Renaldi juga menyampaikan tanggapannya mengenai KUHP pasal 256 bahwa sebenarnya sudah kontradiksi dengan UUD 1945 karena kita sudah diberikan kebebasan untuk menyampaikan aspirasi, tapi karena adanya aturan yang dilakukan pemerintah yang bahkan telah disahkan ini suatu kekhawatiran sebenarnya karena akan mematikan nilai demokrasi.

“Kalau tidak mau jadi pemimpin yang tidak mau dikritik yang ndak usah jadi pemimpin, karena negara kita adalah negara demokrasi. Tugas pemerintah disini mengayomi masyarakat bukan masyarakat yang mengayomi pemerintah,” tegasnya.

Undang – Undang yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat, misalnya kritikan oleh pemerintah. Sebenarnya output dari kritikan adalah membuat seseorang tersinggung dan tingkat ketersinggungan setiap orang berbeda-beda dan tidak bisa diukur oleh angka. Hal ini berhubungan dengan pernyataan tentang demonstrasi ketika teman-teman melakukan demonstrasi mungkin melontarkan kritikan dan sisi kritikannya bagaimana memperbaiki ketatanegaraan sebenarnya.

“Kalau mau melakukan demonstrasi harus melapor terlebih dahulu, dan jika tidak dilakukan maka akan mendapatkan sanksi pidana. Sebenarnya itu kan tidak wajib, karena kita sudah dilindungi oleh UU dan kita bebas. Tugas kepolisian untuk mengamankan, perihal surat menyurat sebelum melakukan demonstrasi seharusnya itu tidak wajib,” ungkapnya. (tim)

*Tulisan ini telah terbit di tabloid edisi 262