PROFESI-UNM.COM – Istilah quiet quitting ramai dibicarakan, terutama di platform media sosial TikTok. Tidak ada yang dapat memverifikasi siapa yang menciptakan istilah atau frasa ini. Istilah ini populer sejak pertengahan 2022 dan digandrungi oleh para generasi Z.

Quiet quitting sendiri merupakan sebuah konsep di mana karyawan lebih memilih untuk bekerja secara cukup atau “seperlunya” sesuai cakupan tanggung jawab dan tingkatan gaji. Tujuan quiet quitting untuk menciptakan work-life balance yang ideal, serta menerapkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional. Tak dipungkiri, quiet quitting dapat memberikan kesempatan bagi pekerja untuk menikmati hidup di luar dunia kerja yang merupakan kewajibannya.

Menurut penelitian Gallup (2022), hampir 50% karyawan di Amerika Serikat ingin melakukan quiet quitting. Akibatnya, 32% dari karyawan tersebut mengalami penurunan keterlibatan sedangkan 18% dari mereka tetap terlibat aktif di perusahaan. Gallup menemukan bahwa angka tersebut didominasi oleh karyawan muda di bawah umur 35 tahun. Gen Z merasa bahwa perusahaan tidak peduli atas kehidupan pribadi maupun kariernya sehingga mereka terdorong untuk melakukan quiet quitting.

Berikut adalah beberapa alasan lain yang menimbulkan prinsip kerja quiet quitting:

1. Karyawan yang terlalu lelah karena beban kerja yang tak proporsional.
2. Karyawan menjadi takut karena sewaktu-waktu bisa dilimpahkan pekerjaan tambahan.
3. Banyak pegawai yang mulai bosan dengan pekerjaan yang terasa stagnan.
4. Pekerja merasa kurang punya waktu luang untuk kehidupan pribadi.
5. Karyawan menganggap bahwa jerih payahnya hanya menguntungkan perusahaan.

Bagi mereka yang menjalankan quiet quitting, kesehatan mental adalah yang utama. Jenjang karier dan promosi jabatan tidak lagi menjadi prioritas. Kalau menurutmu gimana? (*)

*Reporter: Nur Arrum Suci Katili