PROFESI-UNM.COM – Belajar adalah suatu proses yang awalnya belum tahu hingga menjadi tahu. Belajar tentunya mengalami perubahan yang relatif permanen dalam potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Adanya akibat interaksi antara stimulus dan respons. Agama Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan alias belajar. Nah, seseorang ini bisa dikatakan belajar apabila menunjukkan perubahan perilaku. Dalam hal ini pembelajaran dikatakan berhasil apabila mengalami perubahan ke arah yang lebih signifikan.
Namun, apa jadinya jika seseorang terdapat paksaan untuk belajar? Tentunya, ini bukanlah hal negatif jika terus-menerus belajar. Hanya saja ketika seseorang dipaksa untuk belajar, tentunya tidak akan menjadi hal yang baik pula. Kemudian terdapat data yang menunjukkan bahwa kebanyakan sanak yang mengalami stres dan depresi akibat dari proses belajar yang tidak menyenangkan. Ada sekitar 13% anak Indonesia mengalami depresi pada masa Pandemi Covid 19. Hal tersebut diakibatkan kurikulum pembelajaran daring yang terlalu berat menurut berita yang dilansir oleh detikhealth. Padahal, belajar harusnya dapat menciptakan ruang yang mengasikkan agar dapat lebih mudah dipahami. Hasilnya, jika terus-menerus seperti ini akan menyebabkan semangat belajar menjadi luntur dan hilang. Bahkan minat untuk mengemban ilmu pengetahuan tak akan tumbuh.
Saya sebagai mahasiswa Teknologi Pendidikan sering mendapat paksaan pada saat aktif di perkuliahan. Salah satunya mengikuti program kampus seperti seminar, webinar, dan juga kuliah umum yang tidak memiliki sangkut-paut apapun tentang mata kuliah. Hal seperti ini bahkan saya dapatkan pada saat semester pertama atau masih berstatus sebagai mahasiswa baru. Mahasiswa yang telah memprogram suatu mata kuliah diwajibkan ikut sebagai pengganti mata kuliah. Padahal saya sebagai mahasiswa tidak menyukai program-program kampus seperti itu, karena menurut saya pribadi belajar di tempat seperti itu tidak menyenangkan karena hanya mengandalkan kuantitas semata “jumlah partisipan” bukan dari output “ilmu” yang kita dapatkan.
Pada hari Senin tanggal 13 Februari 2023, saya membaca chat pribadi diteruskan di grup kelas yang isinya, “Yang program mata kuliah demikian, wajib hadir sejak pagi, pukul 08:30 Wita.”, pesan itu adalah perintah untuk mengikuti suatu program kampus yang sering kita sebut sebagai kuliah umum. Lebih parahnya, ada absen tersendiri ketika ikut dalam kegiatan kampus tersebut. Saya yakin, sebagian besar dari mahasiswa hanya terpaksa untuk ikut dikarenakan terselip kata wajib dari pihak dosen pengampu mata kuliah. Dari absen yang saya baca, sekitar 44 mahasiswa dari Angkatan 2020 Teknologi Pendidikan yang turut ikut serta. Setelah kegiatan selesai saya bertanya kepada beberapa yang telah mengikuti forum, jawaban mereka hanyalah karena absen dari dosen. Ini adalah bukti bahwa kami tetap harus mengikuti karena tuntutan hadir pada perkuliahan.
Bahkan dalam peraturan kemahasiswaan, pada pasal 21 tentang kewajiban dan hak, tertuang dalam poin b yang bunyinya “Memperoleh pendidikan dan pengajaran yang sebaik-baiknya dan layanan akademik sesuai dengan minat, bakat, kegemaran, dan kemampuan”. Saya berpendapat, aturan tersebut tidak mempunyai unsur pemaksaan dalam proses belajar terlebih mengikuti program kampus yang kurang diminati oleh mahasiswa seperti saya. Mereka terpaksa ikut karena tuntutan absen yang mewajibkan hal tersebut. Saya selalu ingatkan dan juga selalu mengatakan kepada teman-teman mahasiswa lainnya bahwa tidak ada kata wajib dalam mengikuti program-program kampus, Tergantung minat pribadi. Jadi, jangan pernah takut untuk tidak ikut karena hal tersebut kembali lagi kepada keinginan masing-masing individu.
Silakan memilih tempat belajar yang teman-teman mahasiswa minati, bukan sekadar atas paksaan dan tuntutan dari pihak mana pun. Sebab, sejatinya belajar adalah hal yang menyenangkan jika sesuai dengan kemauan kita. Kata Rene Descartes, “Tak cukup hanya pikiran yang baik, yang utama ialah menggunakannya dengan baik”. Intinya, apapun yang diinginkan hati dan pikiran asal itu baik silakan ikuti, bukan dari paksaan oleh pihak mana pun. (*)
*Penulis adalah Wahyu Sanjaya, Mahasiswa Teknologi Pendidikan Angkatan 2020