PROFESI-UNM.COM – Bulukumba terkenal sebagai budaya baharinya karena wilayah Bulukumba sebagian besar merupakan laut. Salah satu kecamatan di Bulukumba adalah Bonto Bahari. Kecamatan Bonto Bahari wilayahnya terletak paling selatan yang dikelilingi laut Flores, termaksud dua pulaunya yaitu Pulau Liungkalu dan Pulau Sarontang.
Eksistensi kearifan lokal di Bulukumba khususnya kecamatan Bonto Bahari yang tumbuh dalam masyarakat dan hidup dalam waktu yang lama mau tidak mau harus berhadap hadapan dengan arus modernisasi. Dalam segala aspeknya, begitu juga dengan kebudayaan begitu mudah menjalar dan bercampur menembus batas wilayah, saat dimana segala bentuk ketidakjelasan mewarnai kehidupan sehari hari.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi menjadikan masyarakat dengan mudah dalam menyerap segala hal yang diinginkan. Modernisasi atau kondisi ini selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif khususnya eksistensi budaya lokal yang selama ini dianggap menjadi jati diri sebuah daerah.
Disatu pihak modernisasi dapat membawa kemajuan , dipihak lain mengancam eksistensi berbagai bentuk warisan kebudayaan lokal. Saat itulah keambiguan pasti akan menyelimuti diri, sadar maupun tidak.
Kearifan lokal tradisional masih dipercaya masyarakat setempat, Kisah heroik pelaut Bulukumba memang masyhur. Bagi orang Bulukumba, phinisi bukan sekedar perahu untuk berlayar. Lebih dari itu, phinisi bagian dari adat dan penghormatan kepada nenek moyang.
Warisan perahu atau kapal adalah bukti bahwa lelaki Bulukumba ditempa untuk menaklukan tantangan dan cobaan di laut lepas, seperti menguji diri,kesabaran dan ilmu. Narasi tersebut bukan sekedar dongeng, sebab hal tersebut terus terekam lewat aktivitas utama para lelaki Bulukumba. Mayoritas mata pencaharian di Bulukumba tepatnya di kecamatan Bontobahari ialah nelayan dan pembuat perahu.
Ditengah arus modernisasi, melahirkan berbagai macam klasifikasi pekerjaan seperti pedangan, buruh, PNS, karyawan swasta, pengusaha, nelayan dan lain lainnya. Berbicara tentang Nelayan, nelayan adalah pekerjaan yang berat dan keras.
Walaupun demikian, mayoritas masyarakat dikecamatan bonto bahari bermata pencaharian sebagai nelayan. Pekerjaan tersebut merupakan turun temurun dari leluhur.
Dari segi pengetahuan, Nelayan kecamatan Bonto bahari mengandalkan kemampuan pakkita (penglihatan), perengkalinga (pendengaran), paremmau (penciuman), firasat dan tentuang (keyakinan) untuk menangkap tanda dan isyarat bahaya di laut.
Kegiatan penangakpan ikan juga didukung Pengetahuan akan musim yang sangat menentukan keberhasilan dalam menangkap ikan. Kegiatan penangkapan ikan akan lebih menguntungkan pada musim panas atau musim timur daripada musim barat atau musim hujan.
Pada musim timur jumlah ikan tertangkap biasanya lebih banyak, karena menurut pengalaman nelayan setempat ikan menyenangi perairan yang bersuhu panas, suasana menangkap ikan lebih tenang dari ancaman hujan dan badai, dan waktu penangkapan dapat berlangsung lebih lama.
Ketika musim barat di Sapa lohe, berarti nelayan menangkap ikan di laut Bira karena di Bira musim timur, dan begitupun sebaliknya. Dari segi alat tangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat nelayan dalam aktivitas mencari ikan di laut terdapat dua jenis yaitu alat yang masih tradisional dan teknologi yang lebih modern.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut para nelayan mengikuti arus perkembangan yang ada, semisal saja dalam hal penggunaan teknologi penangkap ikan. Seiring dengan perubahan yang terjadi sebagian masyarakat sudah mulai meninggalkan alat tradisional dan beralih menggunakan teknologi yang lebih modern.
Sebagian nelayan terjerumus kedalam industri yang mementingkan kehendak pasar. Tidak jarang hasil yang didapatkan akan dijual semuanya dan tidak tersisa untuk dimakan . Walaupun nelayan dituntut untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak, tetapi nelayan bulukumba kecamatan bontobahri tidak menggunakan bahan peledak karena bahan peledak dapat membuat kerusakan pada alam utamanya laut.
Masyarakat lebih menjaga kelestarian laut karena pada dasarnya laut merupakan sumber kehidupan. Dalam menjalankan aktifitas penangkapan ikan, nalayan ada yang individu dan kelompok. Kebanyakan nelayan bulukumba kecamatan bonto bahari bukanlah bersifat individual, tetapi kelompok.
Setiap kelompok nelayan terdiri dari Punggawa darat (pemilik kapal), Punggawa laut ( Kepala kapal/ kapten ) dan Sahi ( anggota/buruh). Pola relasi kerja, baik antara punggawa darat, punggawa laut dan sahi, bukan terjadi dalam kerangka hubungan antara atasan dan bawahan yang bersifat hubungan pengabdian tetapi lebih bersifat kekeluargaan, sekalipun terdapat klasifikasi diantara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing masing.
Hubungan kerjasama tidaklah terlalu ketat, tidak semata mata didasarkan pada hubungan ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat kekeluargaan juga mewarnai pola relasi kerjasama diantara mereka. Meski hegemoni ilmu pengetahuan dan teknologi modern sedang eksisnya, bukan berarti disegala aspek arus modernisasi dapat menjalar dan menembus di segala kehidupan nelayan Bulukumba kecamatan Bonto bahari.
Dapat disimpulkan bahwa dari segi aspek kebudayaan lokal baik dari kepercayaan, pengetahuan, pekerjaan, dan pola hubungan tidak mengalami perubahan yang signifikan tetapi dari segi alat tangkap mengalami perubahan dan dapat dipastikan akan memenangkan kontestasi.
*Penulis adalah Vivi Alfahira, mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UNM angkatan 2017.