PROFESI-UNM.COM – “Lu Punya Kuasa Lu Punya Duit”, Korupsi erat kaitannya dengan kekuasaan atau orang yang berkuasa. Tetapi bukan berarti bahwa korupsi tidak dilakukan oleh orang yang tidak berkuasa. Ada yang dinamakan Korupsi Aktif dan Korupsi Pasif. Contohnya, Jika Saya terkena tilang karena karena tidak membawa SIM ketika berkendara, kemudian Pak Polisi meminta “Uang Damai”, Maka Pak Polisi itu melakukan Korupsi Aktif, karena menggunakan jabatannya untuk mendapatkan uang secara illegal. Sementara saya yang memberi uang kepada pak Polisi, telah melakukan Korupsi Pasif, karena membantu Pak Polisi melakukan Korupsi.
Modernisasi menuntut manusia agar dapat berburu dengan kecepatan untuk menghindari yang tidak segaris dengan kemajuan dan ke-modern-an, Seperti terlihat kolot, kampungan, ketinggalan zaman. Gairah mengkonsumsi yang menggila itu sesungguhnya berasal dari keinginan-keinginan ingin memiliki yang meledak-ledak, penuh gairah, dan tidak bisa dikendalikan. Konsumsi merupakan fenomena kesenangan yang tersimpan dalam bawah sadar manusia. Libido konsumsi (Dalam Budaya Konsumerisme) tidak hanya sekedar pemenuhan kebutuhan, melainkan juga berfungsi untuk meneguhkan eksistensi. Demi pemenuhan citra (Image), kita bersedia memenuhi rangsangan-rangsangan konsumsi yang disajikan secara erotik (seksi) di media massa, melalui bujuk rayu iklan dan tontonan gaya hidup selebritis yang menggairahkan. Media massa memprovokasi publik untuk melakukan konsumsi secara berlebihan melewati batas kebutuhannya, melalui teknik–teknik rekayasa citra (Image).
Pelepasan (Pelampiasan) keinginan – keinginan hasrat dan gairah yang tak terkendali yang melampaui batas-batas kemampuan sering kali memancing kita untuk berbuat kejahatan korupsi. Misalnya, Pemicu Korupsi (Biasanya) adalah karena merasa tidak puas atau merasa tidak cukup dengan keadaan diri dan obyek-obyek yang dimiliki. Kesadaran Konsumerisme tentunya tidak mampu membedakan (secara jernih) mana yang termasuk keinginan dan mana yang termasuk kebutuhan.
Belanja dalam kesadaran konsumerisme, lebih merupakan pemenuhan kebutuhan. Bagi yang tidak memiliki kemampuan yang cukup ditengah bujuk rayu dan hasutan-hasutan gaya hidup yang kian provokatif, erotis, dan menggairahkan maka tindak korupsi sulit dihindari. Korupsi tidak dapat dicegah hanya melalui pengawasan yang ketat, sebab para pengawas biasanya gampang disuap, dan para koruptor sangat lihai dan mampu memanfaatkan celah hukum. Konsumerisme menggoda kita untuk memanfaatkan peluang untuk Korupsi.
Korupsi di Indonesia nampaknya sudah menjadi sebuah “Fenomena Budaya”. Korupsi dipandang sebagai kebiasaan buruk yang tidak perlu dipersoalkan bahkan semua orang hampir terlibat dan menjadi bagian didalamnya. Masyarakat kita yang sehari – hari sudah terbiasa hidup di tengah-tengah lingkungan yang korup, sudah tidak merasa terganggu dengan sistem yang korup, malah menikmatinya sebagai realitas yang patut. Ibarat orang yang hidup di dekat tempat pembuangan sampah. Karena sudah terbiasa (beradaptasi) dengan lingkungannya, bau sampah yang menyengat sudah bukan masalah lagi.
Anggaran negara yang semestinya digunakan untuk meningkatkan taraf dan kualitas hidup rakyat, (hampir) tidak dirasakan manfaatnya secara signifikan oleh masyarakat. Karena anggaran tersebut lebih banyak terserap ke kantong para koruptor daripada kebutuhan publik. Dan parahnya lagi anggaran yang di korupsi itu sebagiannya bersumber dari utang luar negeri.
Kebanyakan yang tersangkut skandal korupsi bukan orang kecil (yang miskin), melainkan para pejabat negara dan pembesar korporasi. Sekalipun hartanya berlimpah, mereka tetap saja masih merasa kurang.
Secara moral, membiarkan korupsi juga adalah tindak korupsi. Artinya, jika skandal korupsi itu masih kita biarkan begitu saja, maka sesungguhnya tanpa disadari kita semua terlibat dalam membiarkan korupsi secara tidak langsung (pasif).
Sudah semakin buas rasanya saat ini tindak kejahatan korupsi, sementara penegakan hukum hanya berjalan sempoyongan. Sejumlah Lembaga anti korupsi telah di bentuk, namun para koruptor biasanya lebih cerdik melepaskan diri dari jeratan hukum. Isu korupsi yang begitu “erotis” (seksi), sayangnya tidak sampai merangsang syahwat aparat para penegak hukum untuk menindak tegas para pelakunya. Dunia hukum kita masih disesaki oleh aparat hukum yang juga bermental korup. Sudah menjadi rahasia umum kalau kaum penjahat (termasuk Koruptor) suka bermain mata dengan polisi, jaksa, dan hakim. Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) yang harus menjadi musuh kita Bersama, karena mengingat anggaran yang semestinya untuk kebutuhan publik dihabisi oleh para koruptor.
Korupsi selalu saja berarti mencuri, tetapi tidak semua tindak pencurian dapat dikatakan sebagai korupsi, sementara Koruptor adalah Orang/Tokoh yang melakukan tindak pidana korupsi. (*)
*Penulis adalah Muh. Gufrhan Syahputra, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Khusus Universitas Negeri Makassar Angkatan 2020