PROFESI-UNM.COM – Kampus hari ini tampak hidup: banyak kegiatan, seminar bertebaran, media sosial organisasi sibuk posting konten. Tapi dibalik layar pencitraan itu, ada kekosongan arah. Banyak mahasiswa datang karena tuntutan, bukan karena panggilan misi. Mereka kuliah, skripsi, lalu lulus. Tanpa paham untuk apa semua itu?
Krisis ini bukan soal IPK dan akreditasi. Ini krisis visi dan kesadaran. Kampus kehilangan fungsi utamanya sebagai pusat peradaban. Dosen mengajar karena kewajiban administratif dan pekerjaan belaka. Mahasiswa belajar hanya untuk lulus. Nilai-nilai besar seperti keadilan, kemanusiaan, dan perjuangan umat makin jarang menjadi topik diskusi. Bahkan yang membicarakan hal besar itu justru dianggap ‘nyeleneh’ atau ‘tidak realistis’.
Padahal, dari kampus-lah dulu ide-ide besar Islam pernah menyala. Dari ruang kelas dan diskusi kecil lahir pemuda perubahan. Sekarang, mahasiswa takut bicara terlalu dalam, apalagi soal perubahan besar. Kampus yang seharusnya jadi pusat perubahan, justru jadi tempat pelarian dari kenyataan. Miriss
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di balik gemerlap gedung kampus, di tengah padatnya jadwal akademik dan segudang program sertifikasi, ada krisis yang tak banyak disadari: yaitu kisis pemikiran.
Kampus yang seharusnya menjadi kawah lahirnya pemikir besar dan pemimpin masa depan, kini banyak yang berubah fungsi menjadi pabrik pencetak ijazah dan pencari rating. Mahasiswa sibuk mengejar IPK, dosen mengejar publikasi, organisasi sibuk program kerja. Tapi siapa yang memikirkan arah umat? Siapa yang masih peduli pada perjuangan membangun peradaban? Nyatanya kekosongan!
Intelektual yang Enggan Berpikir Kritis
Hari ini, berpikir kritis dianggap ancaman. Padahal, tugas intelektual bukan hanya menguasai teori, tapi berani mempertanyakan, menganalisis, dan menyuarakan solusi bagi umat. Sayangnya, banyak yang memilih diam demi kenyamanan. Takut dicap, takut tak disukai, takut kehilangan posisi.
Kondisi ini diperparah dengan kampus yang lebih menghargai pencitraan akademik daripada ketajaman pemikiran. Mahasiswa kritis kerap ditekan dibanding didukung. Diskusi yang menyentuh akar sistemik, apalagi menyangkut Islam sebagai solusi, dituduh membawa agenda tertentu. Akibatnya, ruang berpikir menyempit dan diskusi menjadi normatif, tanpa membentuk kesadaran.
Intelektual lupa bahwa sejarah tak mengingat mereka yang diam dan nyaman, tapi mereka yang berani bersuara, meski penuh risiko. Maka, jika diskusi kampus tak memberi ruang untuk ide besar, lalu siapa yang akan memulainya dan dari mana kita memulainya?
Ironisnya, ketika mahasiswa atau dosen menyuarakan kebenaran atau mengkritisi sistem yang rusak. Mereka dicap ekstrem atau terlalu politis.
Dunia kampus makin alergi pada pembahasan ideologis. Islam sebagai solusi sistemik dianggap terlalu besar, politik Islam dituduh provokatif. Akhirnya, pemuda yang ingin berpikir besar malah disingkirkan secara halus: dicap sebagai radikal atau dibiarkan berjalan sendiri.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Satu kata: sekularisme.
Sistem pendidikan hari ini dibangun di atas pondasi memisahkan ilmu dari agama, logika dari wahyu, dan fakta dari iman. Maka tak heran bila kampus menghasilkan individu yang cerdas secara teknis, tapi kosong arah. Kita diajari menghitung untung-rugi, bukan adab dan tanggung jawab. Kita bersaing, tapi tidak diajari membela kebenaran. Di banyak tempat, menyebut Islam sebagai solusi dianggap tabu, seolah-olah membicarakan agama hanya sah di masjid, bukan di kelas politik, ekonomi, atau hukum. Sekali lagi-Sungguh miris.
Kurikulum didesain untuk mencetak lulusan siap kerja, bukan siap memimpin perubahan. Mahasiswa didorong mengejar prestasi, bukan membela kebenaran. Tak heran jika kampus lebih menghasilkan pekerja daripada pemikir, birokrat daripada pejuang umat. Padahal, dulu para pemikir besar Islam justru memulai revolusi dari lingkaran-lingkaran ilmu yang hidup dan membumi.
Dalam Pandangan Islam: Ilmu untuk Perubahan
Islam tidak memisahkan ilmu dan iman. ilmu bukan sekadar alat meraih gelar atau pekerjaan, tapi cahaya yang membimbing manusia mengenal Rabb-nya, memperbaiki akhlaknya, dan membangun peradaban.
Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
Ilmu dalam Islam melahirkan keberanian menyuarakan kebenaran dan membela yang tertindas. Karena itu, seorang intelektual Muslim tidak cukup hanya tahu, tapi harus peduli dan terlibat. Dalam sejarah Islam, para ulama bukan hanya mengajar di kelas, tetapi memimpin masyarakat, mengadvokasi keadilan, dan menjadi benteng umat dari kezaliman.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Jadi, ilmu adalah jalan, bukan tujuan. Jalan itu seharusnya menuju surga, bukan pada sistem rusak yang menjauhkan manusia dari Rabb-nya.
Bangkitkan Nalar Kritis Islam
Solusi kebangkitan kampus dan umat bukan sekadar menambah program atau mata kuliah, tapi membangkitkan nalar kritis yang berakar pada nilai Islam. Kampus harus kembali menjadi tempat tumbuhnya kesadaran ideologis, bukan sekadar tempat mencari gelar dan koneksi.
Mahasiswa Muslim harus berani melawan arus pragmatisme. Berani membaca, berdiskusi, dan membongkar narasi palsu yang sudah lama membungkam keberanian berpikir umat. Mereka harus melihat Islam bukan sebagai objek studi, tapi sebagai satu-satunya sistem yang mampu memberikan solusi hakiki terhadap persoalan manusia.
Kebangkitan itu dimulai dari satu hal: keberanian. Keberanian berpikir jernih, jujur, dan melampaui apa yang populer. Keberanian untuk menghubungkan ilmu dengan iman, antara kampus dan perjuangan umat. Islam tidak akan tegak hanya dengan nostalgia sejarah, tapi dengan aksi nyata dan kesadaran yang tajam.
Kita tidak butuh kampus yang ramai seminar dan akreditasi. Kita butuh kampus yang menjadi pusat lahirnya kesadaran ideologis. Dimulai dari mahasiswa yang mau kembali membaca, berdiskusi, dan berani berpikir di luar jalur mainstream. Bukan untuk sekadar viral, tapi untuk mengubah arah peradaban.
Mahasiswa Muslim harus kembali menjadikan Islam sebagai poros berpikir. Saat umat ditindas, saat dunia kacau, maka diam bukan pilihan. Berpikir dan bergeraklah. Karena bila para intelektual diam, maka saksikanlah kebodohan yang akan bersuara paling lantang.(*)
*Penulis: Nur Anisa Saleha