PROFESI-UNM.COM – Reformasi hukum pidana di Indonesia merupakan agenda penting dalam mewujudkan sistem peradilan yang adil, dan demokratis. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tahun 2025 diajukan sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1981 yang telah lebih dari empat dekade menjadi pilar hukum acara pidana nasional. Namun alih-alih menjadi momentum demokratisasi hukum pidana dan penguatan perlindungan hak asasi manusia (HAM), RUU KUHAP justru mengisyaratkan arah legalisme otoktratis, di mana kekuasaan negara dilembagakan secara sah melalui regulasi, tetapi dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan substantif. Secara normatif RUU KUHAP diklaim sebagai respon terhadap dinamika teknologi dan pembaruan sistem hukum, padahal dalam banyak ketentuannya justru memperkuat dominasi aparat dan membuka ruang luas bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Di sisi lain, mekanisme pengawasan terhadap aparat hukum sangat lemah. Praperadilan yang seharusnya menjadi forum kontrol atas tindakan upaya paksa justru dikebiri. RUU KUHAP tidak memberi ruang berarti untuk uji legalitas tindakan penyadapan, penangkapan, atau penahanan yang dilakukan di tahap awal proses hukum. Absennya Hakim Komisaris yang bertugas sejak tahap pra-adjudikasi menunjukkan bahwa sistem kontrol yudisial dibatasi hanya pada putusan, bukan pada prosesnya. RUU KUHAP mengubah nomenklatur “hakim komisaris” menjadi “hakim pengawas” yang hanya bertugas di tahap pasca putusan, sedangkan sistem yang demokratis meniscayakan adanya kontrol yudisial sejak tahap awal, terutama terhadap tindakan represif aparat. Di negara civil law seperti Belanda dan Jerman, hakim penyelidik (investigating judge) bertindak sebagai pengendali awal terhadap legalitas proses hukum. Ketiadaan aktor ini dalam sistem pidana Indonesia menjadikan proses pra-adjudikasi berada dalam zona abu-abu yang rentan diintervensi.
Legalisme otokratis dalam RUU KUHAP sangat tampak dalam pemberian kewenangan luas terhadap aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa. Pasal-pasal seperti Pasal 125 tentang penyadapan atau Pasal 93 tentang penahanan menunjukkan kecenderungan formalisasi kekuasaan negara tanpa batas pengawasan efektif. Penyadapan misalnya, tidak memerlukan persetujuan pengadilan. Padahal dalam banyak negara demokrasi, penyadapan adalah bentuk pembatasan hak privasi paling serius dan hanya dapat dilakukan melalui mekanisme ketat dan transparan. Ketentuan ini membuktikan bahwa RUU KUHAP cenderung melegitimasi praktik intrusif negara atas nama efisiensi. Ironisnya lagi, Pasal 93 ayat (5) menyatakan seseorang dapat ditahan hanya karena “tidak kooperatif” atau “memberikan keterangan yang tidak benar.” Frasa ini sangat kabur dan memberikan kewenangan subjektif kepada penyidik untuk menafsirkan ketaatan seseorang sebagai dasar penahanan Padahal hak untuk diam (right to remain silent) adalah prinsip universal dalam hukum pidana modern.
Salah satu yang juga menjadi kritik mendasar terhadap KUHAP sebelumnya adalah bantuan hukum yang hanya bersifat administratif. Sayang beribu sayang RUU KUHAP tidak memperbaiki hal tersebut secara substantif. Dalam Pasal 145, aparat masih dapat menunjuk penasihat hukum untuk tersangka tanpa jaminan bahwa tersangka mendapat pendampingan yang independen dan efektif Praktik ini mengaburkan fungsi advokat sebagai penyeimbang kekuasaan negara dalam proses hukum. Lebih dari itu, mekanisme seperti ini membuat kehadiran penasihat hukum hanya menjadi alat legitimasi formal atas prosedur hukum yang tidak adil. Meskipun RUU KUHAP memasukkan konsep keadilan restoratif, implementasinya sangat dangkal. Pada Pasal 74–83, keadilan restoratif lebih dipahami sebagai mekanisme penghentian perkara, bukan pemulihan relasi antara pelaku dan korban. Ketiadaan jaminan partisipasi korban, tidak adanya persetujuan tertulis dari korban, serta absennya mediator independen menjadikan keadilan restoratif hanya sebagai jalan pintas penegak hukum untuk menutup perkara. yang justru mengesampingkan kepentingan korban.
Isu yang tak kalah kontroversial dalam RUU KUHAP adalah kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap tindak pidana umum Ketentuan ini mengafirmasi kemunduran serius dalam prinsip supremasi sipil. Pasal 7 ayat (5) dan pasal-pasal turunannya memberi ruang bagi militer untuk masuk dalam yurisdiksi hukum sipil yang sebetulnya bertentangan dan berpotensi melanggar prinsip due process of law, terutama karena sistem peradilan militer tidak dirancang untuk akuntabilitas sipil. Kendati dalam naskah akademiknya pembaruan RUU KUHAP disebut sebagai langkah menuju sistem peradilan pidana yang lebih responsif dan berbasis HAM, namun pembaruan ini lebih menyerupai “demokrasi prosedural” yang dimana aturan dirancang seolah-olah adil, tetapi justru menciptakan ketimpangan struktural yang dilembagakan. Tidak adanya pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dan penuntutan menimbulkan konflik kepentingan yang mengaburkan objektivitas proses hukum. Di lain sisi, sistem pengaduan eksternal terhadap penyidik belum diatur dengan mekanisme yang transparan dan independen, memperlihatkan ketimpangan kekuasaan antara warga negara dan aparat.
Hukum seyogianya adalah mekanisme untuk membatasi kekuasaan negara. Tetapi melalui RUU KUHAP, negara justru memperluas kekuasaannya secara legal terhadap ruang pribadi warga. Legalisme otokratis yang diusung RUU KUHAP bukan terletak pada tak adanya hukum, tetapi justru pada penggunaan hukum untuk mengokohkan dominasi negara atas warganya. Arah RUU KUHAP yang mengedepankan efisiensi penegakan hukum tanpa kontrol, memperluas kewenangan aparat tanpa checks and balances, dan melemahkan posisi individu dalam proses hukum adalah bentuk baru dari otoritarianisme legal yang menjadikan hukum sebagai instrumen represif yang sah. Maka reformasi hukum acara pidana yang sejati harus berpijak pada prinsip demokrasi substantif, partisipasi publik, dan pembatasan kekuasaan negara. Karena tanpanya, RUU KUHAP hanya akan menjadi dokumen legal yang meresmikan kesewenang-wenangan dalam balutan prosedur hukum. (*)
Penulis: Muhammad Hilmi A.Y








