Mengenal Wajah Revolusi Industri 4.0
PROFESI-UNM.COM – Bekerjasamanya Indonesia dengan IMF, World bank dan WTO adalah sebuah bencana besar dalam menghadapi Raksasa kapitalisme Global dengan dalih Mencerdaskan Kehidupan bangsa dan mensejahterakan Rakyatnya.
Bergulirnya berbagai regulasi dari berbagai Institusi Global tersebut malah menjadikan Bangsa ini terpuruk atas tindakan-tindakan eksploitatif, tujuannya yaitu mengimprealisasi segala aspek kehidupan dari Bangsa ini – dari aspek Sumber Daya Alam (SDA) hingga ke Sumber Daya Manusia (SDM).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Guncangan tersebut sangat terasa hingga kepada kelas bawah buruh, petani dan kaum miskin kota. Indonesia telah memasuki babak baru dalam mendigitalisasi segala aspek kehidupan manusia melalui Revolusi Industri 4.0
Dalam catatan sejarah, dunia mengalami empat revolusi industri yaitu Pada abad ke-18 Revolusi industri 1.0 ditandai dengan penemuan mesin uap untuk mendukung mesin produksi, kereta api dan kapal layar.
Pada awal abad 19 telah menandai lahirnya revolusi industri 2.0. Enerji listrik mendorong para imuwan untuk menemukan berbagai teknologi lainnya seperti lampu, mesin telegraf, dan teknologi ban berjalan.
Pada awal abad 20 telah melahirkan revolusi industri 3.0 teknologi informasi dan proses produksi yang dikendalikan secara otomatis. Mesin industri tidak lagi dikendalikan oleh tenaga manusia tetapi menggunakan sistem otomatisasi berbasis komputer.
Revolusi industri 4.0 mengalami puncaknya saat ini dengan lahirnya teknologi digital yang berdampak masif terhadap hidup manusia di seluruh dunia dengan mendorong sistem otomatisasi di dalam semua proses aktivitas dengan menggunakan jaringan Internet.
Revolusi Industri 4.0 sebagai Hoax dalam Dunia Pendidikan
Setiap Sejarah Dunia yang digarisakan pasti akan memiliki sisi hitam maupun putih. Revolusi Industri 4.0 dalam transformasinya ke pikiran masyarakat, tentu akan menampilkan sebuah bangunan utuh nan baru dalam menyelamatkan umat manusia, sebagaimana hal ini digalakkan di era humanisme atau modernisme abad ke 18.
Perguruan Tinggi sebagai kawasan dialektika Ilmu pengetahuan, ternyata menilai bahwa Revolusi Industri 4.0 ini adalah Hoax terbesar dalam menguntungkan kekuasaan melalui pengetahuan konstruksi dari kekuasaan itu sendiri. Dalam sektor pendidikan, Hoax ini terus digalakkan.
Di dalam dunia perguruan tinggi, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat dari berkembangnya riset-riset kolaborasi antar peneliti dari berbagai disiplin ilmu dan perguruan tinggi. Riset tidak lagi berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving) dalam sosial tetapi didorong untuk menemukan potensi seperti masalah ekonomi yang berpacu bersama tujuan kapitalisme.
Dampak yang lain terlihat dari pengurangan jam tatap muka di perguruan tinggi akibat sistem online yang akan dicanangkannya. Tak adanya sikap kerja kolektif dalam perguruan tinggi malah menjadi dampak yang akan semakin terasa sehingga sikap individualistik dalam diri peserta didik akan diparipurnakan melalui sistem ini. bahkan kurangnya kepekaan sosial terhadap masalah-masalah pasti tak akan terhindarkan.
Berjalannya perguruan tinggi yang sejalan dengan orientasi bisnis sesuai dengan kebutuhan pasar malah akan menjadi boomerang yang menakutkan bagi jurusan-jurusan humaniora.
Makin tebukanya jurusan-jurusan yang berkebutuhan pasar akan berbanding lurus atas tergerusnya jurusan-jurusan humaniora seperti sastra, seni, sosiologi dan sebagainya.
Sehingga perguruan tinggi bukan malah menjadi institusi pencerdasan sebagaimana UUD 1945 tetapi malah menjadi penyakit kronis atas ketimpangan demi ketimpangan yang terjadi dimasyarakat.
Sebagaimana UU No. 12 tahun 2012 yang lebih menekankan atas orientasi bisnis bagi perguruan tinggi. Jika orientasi perguruan tinggi di Indonesia seperti ini maka hasilnya pembangunan jalan tol berjalan lancar dan jalan literasi akan semakin terhambat.
*Penulis adalah Dwi Reski Hardianto Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNM