
PROFESI-UNM.COM – Terlahir sebagai perempuan Indonesia memiliki banyak sekali tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Negara Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang patriarkal, membuat perempuan Indonesia mau tidak mau harus menghadapi banyak sekali ketidakadilan gender yang telah tertanam sejak dulu. Ketidakadilan gender terjadi saat relasi kuasa antara kaum laki-laki dan perempuan tidak setara. Salah satu manifestasi ketidakadilan gender yang dirasakan perempuan Indonesia yakni subordinasi.
Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul ”Analisis Gender dan Transformasi Sosial” menjelaskan bahwa subordinasi merupakan anggapan bahwa perempuan itu tak rasional atau emosional sehingga tidak bisa tampil memimpin berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tak penting. Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Dalam rumah tangga, masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan ketika harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
Praktik ketidakadilan gender dalam konteks subordinasi akan terus dirasakan kaum perempuan di muka bumi ini. Dalam ruang publik seperti organisasi, perempuan akan terus terbayang-bayang dengan subordinasi, dan itu pasti. Entah itu dalam konteks kecil semisal kader perempuan di suatu organisasi dituntut untuk berada di bagian konsumsi dan laki-laki yang dianggap superior mengambil bagian lapangan. Hingga ke konteks besar dalam ruang organisasi dimana perempuan yang pada dasarnya memiliki karunia sifat kelembutan dianggap tidak bisa memimpin organisasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Perkembangan zaman yang semakin maju membuat kesempatan bagi perempuan semakin terbuka untuk menunjukan kemampuan perempuan yang berbanding terbalik dengan kesempatan perempuan di ruang publik di zaman 1900-an. Di zaman feodalisme, terdapat satu perempuan yang memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki. Raden Ajeng Kartini, perempuan yang berjuang melalui tulisan-tulisannya dan dikenal sebagai pelopor kebangkitan Pribumi-Nusantara. Pemikiran RA Kartini lah yang menjadi cikal bakal perempuan Indonesia mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan hingga zaman sekarang kita bisa melihat bagaimana power kaum perempuan di ruang publik utamanya di ruang organisasi.
Penulis yang pada dasarnya berada dilingkungan organisasi melihat organisasi-organisasi zaman sekarang telah banyak mempercayai dan mengakui kemampuan perempuan. Semakin hari semakin banyak organisasi yang bisa kita lihat telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menunjukan kemampuannya seperti menjadi pembicara dalam ruang diskusi, hingga menempati posisi penting dalam organisasi seperti menjadi ketua dalam organisasi. Hal tersebut tentu saja menggambarkan kepada kita bahwa perempuan semakin berperan dalam mengoptimalkan organisasi. Tapi disisi lain, tentu saja tidak bisa kita pungkiri bahwa masih ada organisasi yang belum bisa terlepas dari budaya patriarki yang mengkotak-kotakkan peran perempuan.
Berbicara mengenai peran perempuan yang menempati posisi penting dalam struktural organisasi seperti ketua tentu saja dipengaruhi oleh kesadaran dan keterbukaan agar mendapatkan peran dan hak yang sama dengan laki-laki sehingga dapat menempati posisi strategis dalam organisasi. Keterbukaan peran dan hak yang diterima perempuan dapat meningkatkan kinerja kepengurusan organisasi. Perempuan dan laki-laki dapat bekerja sama dan bersatu dengan lebih baik jika peran dan hak yang diberikan kepada mereka diperluas. Karena sejatinya laki-laki dan perempuan sama-sama dapat diandalkan sebab masing-masing memiliki kelebihan dan kekuatan yang tidak dapat didefinisikan secara objektif. Hal ini sesuai dengan teori equilibrium oleh Pilcher dan Whelehan (2004) dalam melihat posisi gender di masyarakat.
Teori Equlibrium mengenai posisi gender di masyarakat oleh Pilcher dan Whelehan (2004) memfokuskan pada fakta bahwa laki-laki dan perempuan dapat menjalin hubungan yang seimbang jika mereka bekerja sama untuk mencapai keserasian dan keharmonisan dalam berbagai aspek kehidupan seperti keluarga, masyarakat, dan negara. Teori ini juga menjelaskan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan memiliki keunggulan dan kekuatan yang dapat diandalkan, hubungan keduanya tidak perlu dipisahkan karena alasan struktural fungsional.
Adanya realitas bahwa memberikan peran dan hak kepada perempuan tidaklah berarti menganggap bahwa laki-laki dan perempuan sama dalam segala hal. Sebaliknya, itu menunjukkan bahwa pemberian kesempatan tidak lagi didasarkan pada gender seseorang. Artinya, dalam memberikan kesempatan kepada individu, gender tidak lagi menjadi faktor penentu. Ini mencerminkan perubahan dalam pandangan sosial yang lebih inklusif dan mengakui bahwa kemampuan, bakat, dan kontribusi seseorang tidak bergantung pada jenis kelaminnya. Oleh karena hal tersebut, keadilan gender didefinisikan sebagai kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memanfaatkan potensi yang mereka miliki untuk berkontribusi secara setara dalam pembangunan dan perkembangan organisasi.
Peran perempuan dalam tubuh organisasi dibutuhkan untuk menunjang organisasi jika perempuan memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik. Memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam ruang organisasi tentunya menginterpretasikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin organisasi jika dia memiliki kapabilitas yang mumpuni. Karena pemimpin tidak dilihat dari jenis kelamin, pemimpin dilihat dari kemampuan dan integritas.
*Penulis: Nurhayati, Mahasiswa Jurusan Manajemen Angkatan 2021.