[Opini] Bystander Effect Ada di Grup-grup Medsosmu

Avatar photo

- Redaksi

Senin, 2 Juli 2018 - 15:19 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Muhammad Rizki, Mahasiswa Psikologi, Mentri Sosial dan Politik BEM Kema F.Psi 2016/2017. (Foto: Ist)

PROFESI-UNM.COMAssalamualaikum, mohon bantuannya semua, dibutuhkan golongan darah O untuk operasi”
“Gaes, ada yang tahu cara mengurus ini KTM yang hilang?”
“Genks, siapa-siapa saja yang sudah tugas mata kuliahnya?”

Pernah tidak, kita menemukan pertanyaan seperti itu di grup? Ataukah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya meminta pertolongan? Tak bisa dipungkiri grup-grup yang kita masuki di media sosial sering dijumpai hal-hal semacam itu. Mulai dari grup kerabat, grup organisasi/komunitas, grup diskusi sampai grup-grup kelas

Dan ketika kita dihadapkan kondisi seperti itu? Apa yang akan kita lakukan? Menjawab pertanyaan, atau hanya baca sembari mengharap ada penghuni grup yang lain yang menjawab?
Bystander Effect.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Orang yang membutuhkan bantuan sering kali tidak mendapatkan dukungan yang diharapkan. Mereka hanya melihat, tahu, dan segera berlalu. Perilaku seperti itu sangatlah umum kita jumpai, oleh peneliti menyebutnya sebagai bystander effect.

Bystander effect pertama kali dicetuskan oleh psikolog sosial Bibb Latane dan John Darvey. Istilah itu didapatkan setelah pembununan Kitty Genovese di sebuah apartement di New York tahun 1964. Genoseve yang baru pulang dari tempat kerjanya diserang oleh Winston Moseley, kemudian ditikam.

Baca Juga Berita :  Kamu Mahasiswa Baru? Begini Tips Memilih Kos yang Nyaman

Dalam masa-masa kritisnya, Genoseve berusaha meminta pertolongan. Mirisnya, orang-orang di apartement hanya tahu tanpa membantunya.
Setelah dilakukan intestigasi, polisi mengungkap bahwa 37 orang tetangganya mengetahui kejadian penyerangan tapi tidak ada yang langsung turun tangan untuk menolongnya.

Dua minggu setelah kejadian, sampai-sampai New York Times menerbitkan berita, “37 Who Saw Murder Didn’t Call The Police”.
Bibb Latane dan John Darvey (1968) mendefenisikan bystander effect sebagai fenomena empiris yang terjadi pada seorang ketika menghadapi situasi sulit, namun orang-orang hanya memperhatikan dan tidak berbuat apa dan beranggapan akan ada orang lain yang membantu dan bersedia menolongnya.

Pembuatan grup-grup di media sosial tentunya memiliki tujuan untuk mendapatkan informasi terkait tujuan dibuatnya grup, meskipun terkadang kita tidak mendapatkan informasi sesuai tujuan grupnya.

Grup yang memiliki tujuan tertentu ini berbeda-beda jumlah anggotanya.
Nah adanya grup yang dibuat ini memudahkan seseorang untuk membagikan informasi dan tentunya dijadikan sarana bertukar pikiran. Namun sayangnya, masyarakat sekarang lebih suka menjadi penikmat postingan-postingan grup dibandingkan terlibat untuk menjawab bahkan diskusi.

Sebagai contoh, terkadang orang membagikan kuosioner penelitian online di grup dengan harapan penghuni grup akan mengisi kuosionernya. Harapan itu sangatlah relevan karena di grup dengan jumlah anggota yang beragam, kita berharap akan banyak juga yang mengisi. Namun yang didapatkan hanya harapan belaka.

Baca Juga Berita :  Husain Syam Dorong Sistem di UNM Berbasis Digital

Paling orang-orang terdekat saja yang akan mengisi kuosinernya.
Penelitian yang dilakukan oleh Bibb Latane dan John Darvey terhadap 3 kelompok mahasiswa sebagai relawan mengungkapkan bahwa sebanyak orang individu dalam kelompok bukan berarti semakin banyak yang menolong. Namun sebaliknya, akan semakin mengurangi rasa ingin menolong.

Hal ini kita rasakan sendiri ketika hendak meminta bantuan di grup-grup media sosial kita, ada berapa orang yang akan merespon?
Lantas, apa yang dapat kita lakukan?
Tentunya melihat kondisi sekarang, harusnya kita sebagai masyarakat yang memiliki potensi menolong haruslah memutuskan lingkaran setan tersebut. Minimal kita berusaha menjawab pun memang bila tidak dapat membantu.

Bukankah kita akan lebih senang bila seseorang merespon chat kita di grup daripada sekadar iqro’?
Baca dan balaslah,
Ingat ini baru di grup media sosial, belum lagi di kehidupan yang lebih luas.

[divider][/divider]

*Penulis: Muhammad Rizki, Mahasiswa Psikologi, Mentri Sosial dan Politik BEM Kema F.Psi 2016/2017

Berita Terkait

Penatnya Dunia Kampus, Healing ke Gunung Pilihan Mahasiswa
Pendidikan yang Membungkam : Saat Instansi Pendidikan Membentuk Komoditas Tanpa Imajinasi
Arah Sekolah dan Pendidikan
Awan Gelap LK FT-UNM: Kekosongan Intelektual dan Degradasi Gerakan Mahasiswa
HIMATIK FT UNM Buka Donasi Korban Kebakaran
Kos-kosan Mahasiswa UNM Kemalingan
Tantangan bagi Masyarakat yang Terinfeksi Informasi Sepihak
Aksi Kampanye Penolakan PLTU Industri di Pantai Losari
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 12 Mei 2025 - 01:01 WITA

Penatnya Dunia Kampus, Healing ke Gunung Pilihan Mahasiswa

Sabtu, 3 Mei 2025 - 21:56 WITA

Pendidikan yang Membungkam : Saat Instansi Pendidikan Membentuk Komoditas Tanpa Imajinasi

Jumat, 2 Mei 2025 - 09:45 WITA

Arah Sekolah dan Pendidikan

Jumat, 14 Maret 2025 - 20:40 WITA

Awan Gelap LK FT-UNM: Kekosongan Intelektual dan Degradasi Gerakan Mahasiswa

Kamis, 6 Maret 2025 - 00:51 WITA

HIMATIK FT UNM Buka Donasi Korban Kebakaran

Berita Terbaru

Potret Ahmad Fadil dalam sambutannya di Inaugurasi Evolusia 24, (Foto: Dok. Profesi)

KILAS LK

Hujan Tak Surutkan Semangat Inaugurasi Evolusia 24 FBS UNM

Senin, 2 Jun 2025 - 00:10 WITA

Potret Asni ketika memberikan materi, (Foto: Ist.)

Kilas Kampus

Fokus Pemanfaatan Bahan Lokal, Anggota DPRD Inspirasi IPMIL Raya UNM

Minggu, 1 Jun 2025 - 23:08 WITA