
PROFESI-UNM.COM – Sebanyak 80 persen dari 64 mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Makassar (UNM) tidak lulus di salah satu mata kuliah. Untuk memperbaiki nilai mata kuliah tersebut, mahasiswa terpaksa harus menempuh segala upaya dengan membayar yang arahnya tidak jelas.
Salah satu mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Al-Qadri mengatakan, oknum dosen ini diduga sengaja memberi nilai error kepada sebagian besar mahasiswa. Kemudian memberikan tiga opsi untuk memperbaiki nilai, yaitu membeli buku, kumpul uang buku, atau merangkum.
Namun dari tiga opsi, mahasiswa acap kali diminta membayar. Misalnya, pilihan kedua, mereka mesti mengumpulkan uang dengan alasan menutupi setiap buku yang harus dikumpulkan setiap mahasiswa dengan harga Rp. 50.000 per buku. Bahkan, oknum memasang tarif seharga Rp 200.000 untuk mendapat nilai A, nilai D dipatok Rp 150.000 agar menjadi nilai sempurna.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Selalu diarahkan membayar, kami terpaksa membayar terutama yang menerima beasiswa,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, bukti berupa pernyataan bermaterai mahasiswa yang setuju tawaran ini disebut pelarian dari kesalahannya sehingga mahasiswa disalahkan. “Berarti ia sadar apa yang dilakukannya salah dan takut suatu hari kami akan mempersoalkannya,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua prodi Pendidikan Sosiologi, Muhammad Syukur. Ia malah menyebut modus ini sudah tak realististis. Banyaknya mahasiswa yang diberi nilai error justru membuktikan ia gagal sebagai seorang pengajar.
“Jumlahnya tidak realistis, masa’ mahasiswa yang lulus hanya 20%. Ini kan tidak masuk akal,” ujarnya.
Saat dimintai tanggapan, Zainal Arifin berdalih bahwa mahasiswa banyak yang tidak lulus sebab hanya sedikit yang meraih nilai bagus. “Mahasiswa maunya memang baik tapi kan tidak berbanding lurus dengan usahanya,” katanya.
Lanjut, ia membantah, apa yang selama ini didapatnya dari hasil praktik ini bukan dipakai untuk kebutuhan pribadi. Melainkan, diberi kepada pihak yang membutuhkan.
“Sudah disumbangkan. Justru disitulah mereka bodohnya tidak punya etika kalau ada yang tidak dimengerti seharusnya bertanya,” bantahnya. (*)
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Profesi edisi 217