
PROFESI-UNM.COM – Parcel atau di kalangan mahasiswa dinamai tentengan kini seoalah menjadi hal wajib tiap kali seorang mahasiswa menjalani ujian untuk merengkuh sarjana. Meski tak ada aturan tertulis, namun budaya turun temurun tak bisa menghentikan praktik gratifikasi ini. Bak gayung bersambut, sang dosen pun dengan senang hati menerima pemberian “terlarang” ini.
Malam itu, Syamsul Bahri, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) tengah mondar-mandir di salah satu swalayan sekitaran Gunung Sari. Ia ditemani oleh seorang teman perempuannya. Mereka tengah sibuk memilah minuman serta camilan.
Kedatangannya di pusat perbenjaan malam itu karena ia akan melakukan ujian proposal keesokan harinya. Ia berencana memberikan bingkisan kepada pembimbing dan pengujinya. “Saya mau beli ini untuk ujian proposal besok,” katanya sambil memperlihatkan makanan yang ada di trolinya.
Mahasiswa angkatan 2010 ini pun tak tanggung-tanggung harus merogoh kocek tak kurang dari Rp500 ribu demi menyediakan tentengan untuk sang dosen.
Praktik serupa juga dialami oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan IPS, Masri Isri. Ia mengatakan, biaya tentengan bahkan bisa mencapai lebih dari Rp500 ribu setiap ujiannya. Padahal, itu belum termasuk makan siang dan cemilan yang disediakan terpisah di meja penguji.
“Sekitar 100 ribu per paketnya, dan ada sekitar empat sampai lima penguji harus kita siapkan tentengan,” ungkapnya.
Parcel atau yang di kalangan mahasiswa populer disebut tentengan ini memang sudah jadi budaya bagi mahasiswa yang akan menyelesaikan kuliahnya. Tentengan seolah sudah jadi hal wajib yang harus hadir “mendampingi” mahasiswa yang menjalani ujian.
Padahal dalam aturan universitas, tak ada satupun aturan yang menyebutkan mahasiswa harus membawa barang atau apapun itu bentuknya saat akan mengikuti ujian akhir atau ujian skripsi, karena hal ini bisa disebut sebagai gratifikasi.
Tentengan kepada dosen yang dianggap sebagai gratifikasi pun pernah diutarakan oleh salah satu Pimpinan KPK Johan Budi, yang kini menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan. “Rektor, dosen itukan termasuk penyelenggara negara. Jadi menerima hadiah apapun itu dilarang, termasuk dari mahasiswa,” kata Johan Budi dikutip dari media online.
Dalam Undang-undang Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 Jo No.20/ 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Ancamannya pun tak main-main, pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar menanti orang yang mencoba melanggar pasal tersebut.
Pembantu Dekan Bidang Akademik (PD I) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Muharram berpendapat lain. Ia mengatakan, pemberian amplop dan tentengan merupakan hal lumrah dari mahasiswa ke penguji maupun pembimbing. “Tidak apa-apa sepanjang itu bukan paksaan dan tidak mempengaruhi kelulusan,” kata Guru Besar Kimia Organik ini.
Ia juga mengatakan, hal tersebut sudah turun temurun dan sudah menjadi kebiasaan. “Ini sudah membudaya, kan tidak enak kalau ada yang kasih terus ditolak.Mubazzir nantinya,” dalihnya.
Menanggapi tentengan yang membudaya saat ujian, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Akbar merasa kecewa dengan adanya permasalahan tersebut. Ia mengaku tak ada penanganan secara serius dari birokrasi.
“Budaya tersebut tak pernah hilang dan masih banyak oknum yang ingin mengambil keuntungan,” analisisnya
Ia pun telah melakukan diskusi publik bersama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah. Pihaknya kini tengah melakukan pengawalan mengenai masalah itu. “Kita telah melakukan kesepakatan dengan HMJ Sejarah dan membuat surat edaran larangan membawa tentengan,” katanya.
Namun, surat edaran yang dipelopori oleh BEM FIS pupus dalam hitungan mingguan. Pasalnya, birokrasi kemudian mengeluarkan kebijakan pembatasan ujian berlaku bagi dua mahasiswa per minggunya. “Karena kebijakan itu, sejumlah mahasiswa harus kembali ke tradisi sebelumnya agar bisa segera ikut ujian,” jelasnya. (*)
* Fatimah Muffidah, Muh. Agung Eka, Ratna, Ahmad Rif’an Muzaqi, Nurul Irsal Amalia
Tulisan ini terbit di Tabloid Profesi Edisi 202