PROFESI-UNM.COM – Nongkrong sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Entah di warkop pinggir jalan, kedai kopi kekinian, atau angkringan sederhana, budaya ini tumbuh subur di kalangan anak kuliah. Meski kerap terlihat sebagai gaya hidup santai, nongkrong menyimpan makna lebih dari sekadar duduk-duduk tanpa tujuan.
Bagi sebagian mahasiswa, nongkrong adalah bentuk pelepasan stres dan penat usai kuliah, organisasi, atau tugas yang menumpuk. Mereka menjadikannya momen healing murah meriah, cukup dengan segelas kopi dan obrolan ringan. Tak jarang pula tempat nongkrong menjadi ruang sosial produktif, tempat diskusi kelompok, brainstorming ide tugas, bahkan merancang proyek komunitas.
Namun di balik kenyamanan itu, nongkrong juga menyisakan dilema. Tidak semua mahasiswa punya anggaran lebih untuk jajan kopi setiap hari atau ikut tongkrongan tanpa mengeluarkan biaya. Sebagian mengeluhkan pengeluaran yang membengkak tanpa terasa, apalagi jika nongkrong dilakukan secara impulsif dan terlalu sering.
Selain itu, tekanan sosial tak jarang muncul. Ada mahasiswa yang merasa “tertinggal” jika tidak ikut nongkrong bersama teman satu circle, meskipun sebenarnya mereka butuh istirahat atau menghemat. Dalam banyak kasus, relasi sosial di kampus terbentuk lewat tongkrongan, sehingga absen dari sana bisa menimbulkan rasa terasing atau FOMO (fear of missing out).
Di sisi lain, banyak juga yang melihat tongkrongan sebagai wadah pertukaran ide dan dukungan emosional. Obrolan di warkop sering kali menjadi terapi gratis, tempat saling curhat soal skripsi, cinta, atau masa depan. Di sana, mahasiswa belajar memahami, mendengar, dan saling menguatkan hal yang mungkin tidak mereka dapatkan di ruang kelas.
Pada akhirnya, nongkrong bisa menjadi ajang healing yang menyegarkan atau jebakan penguras dompet, semua tergantung bagaimana mahasiswa mengelolanya. Selama dilakukan dengan sadar, proporsional, dan tidak mengorbankan kebutuhan primer, nongkrong tetap sah-sah saja sebagai bagian dari dinamika kehidupan kampus. (*)
*Reporter: Nur Mardatillah