PROFESI -UNM.COM – Kampus sejatinya adalah rumah bagi akal yang merdeka, ruang tumbuh bagi jiwa-jiwa muda untuk mencari kebenaran, membentuk karakter, dan meniti masa depan. Namun, apa jadinya jika rumah itu perlahan menjadi pasar? Jika idealisme pendidikan tergantikan oleh transaksi, Jika jaket almamater, yang seharusnya menjadi simbol identitas intelektual, justru dikomodifikasi menjadi barang dagangan wajib beli. Fenomena ini mengemuka di Universitas Negeri Makassar (UNM), kala para mahasiswa baru angkatan 2025 dihadapkan pada sebuah keharusan: memiliki jaket almamater. Namun perintah “wajib memiliki” pelan-pelan dibelokkan tafsirnya menjadi “wajib membeli”. Tersebutlah kemudian melalui sebuah PENGUMUMAN NOMOR: 2043/UN36/TU/25 yang menetapkan tarif jas almamater dan dasi, juga pengumuman-pengumuman administratif yang memperkuat kewajiban ini apatah lagi menjadikannya prasyarat untuk memperoleh stempel NIM.
Keresahan ini bukan histeria kosong. Ia lahir dari sebuah kejanggalan logika. Dinyatakan bahwa mahasiswa “wajib memiliki jas almamater” sebagai identitas, namun tak dijelaskan bahwa kewajiban memiliki tidak identik dengan kewajiban membeli. Padahal, dalam bahasa hukum dan administrasi, perbedaan antara “memiliki” dan “membeli” adalah krusial. Mahasiswa bisa memiliki jas almamater dari sumber lain, baik pinjaman senior atau alumni maupun sumbangan tanpa harus terikat pada mekanisme pembelian resmi yang ditetapkan. Akan tetapi realitas di lapangan berkata lain. Helpdesk resmi UNM mencantumkan bukti pembayaran jas almamater sebagai syarat mendapatkan stempel NIM. Dapat terlihat jika proses pendidikan formal ditautkan secara langsung dengan kewajiban ekonomi, bukankah ini bentuk nyata komersialisasi akses pendidikan?
Dalam ranah filsafat pendidikan terdapat pengakuan bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan manusia. Apabila universitas menetapkan bahwa atribut wajib dibeli, dan menjadikan pembelian itu syarat administrasi, maka ia telah mengkomodifikasi pendidikan. Persis seperti yang dikritik oleh filsuf pendidikan Paulo Freire: saat pendidikan tak lagi membebaskan, ia hanya menjadi instrumen penindasan sistemik. Di lain sisi kebijakan ini tak disertai opsi bagi mahasiswa yang tidak mampu. Tidak ada skema subsidi silang, tidak ada mekanisme peminjaman, tidak ada jalur alternatif. Setiap kebijakan yang berpotensi menimbulkan diskriminasi ekonomi wajib diuji kesesuaiannya terhadap asas keadilan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara yuridis pun kebijakan ini problematik. UUD 1945, Pasal 28C Ayat (1), menjamin hak warga negara untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk pendidikan. Kewajiban membeli almamater yang tak mempertimbangkan kondisi ekonomi jelas menghambat akses tersebut. Bahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 menegaskan prinsip keadilan dan keterjangkauan dalam pendidikan tinggi. Selain itu almamater tidak termasuk dalam komponen biaya operasional pendidikan menurut Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, yang artinya tidak ada kewajiban formal yang membenarkan pembelian atribut tersebut sebagai bagian dari kegiatan akademik wajib.
Almamater secara etimologis berarti “ibu penyubur”, yakni institusi yang menyuburkan intelektualitas. Ia bukan kain, bukan benang, bukan jahitan, melainkan simbol spiritual dari keterikatan intelektual. Indonesia adalah negara dengan ketimpangan sosial yang nyata. Gini Ratio sebesar 0,38 menandakan bahwa kesenjangan pendapatan masih menjadi luka yang menganga. Mahasiswa datang dari berbagai latar belakang sosial: dari anak buruh hingga anak pejabat, dari pesisir hingga pegunungan, dari yang makan dua kali sehari hingga yang bisa berlibur tiap pekan. Namun saat jaket almamater dijadikan barang jualan yang wajib dibeli, makna simbolis itu pun terdegradasi menjadi sekadar benda, dan identitas pun berubah menjadi label komersial.
Tulisan ini bukan sekadar kritik terhadap Universitas Negeri Makassar (UNM) melainkan cerminan dari arus besar yang menggerogoti dunia pendidikan tinggi, kampus-kampus kini tak ubahnya korporasi. Kita perlu merebut kembali makna kampus sebagai tempat mencari makna, yang teguh menjaga semangat egaliter, inklusif, dan humanis di tengah gempuran neoliberalisme pendidikan. Universitas Negeri Makassar (UNM) mesti melakukan koreksi serius terhadap kebijakan ini. Pertama, tak boleh ada kewajiban membeli almamater dan kembalikan pilihan kepada mahasiswa. Kedua, buka jalur alternatif kepemilikan—sewa, subsidi silang, atau donasi almamater dari alumni. Ketiga, lakukan reformulasi terhadap cara pandang institusional bahwa bahwa simbol-simbol akademik tidak boleh dijadikan komoditas, sebab setiap simbol memiliki makna yang hanya dapat hidup jika lahir dari kebanggaan, bukan dari keterpaksaan. (*)
*Penulis: Muhammad Hilmi A.Y