PROFESI-UNM.COM – Sepak terjangan gerakan mahasiswa menjadi kisah klasik yang terukir dalam lembar sejarah kemahasiswaan, kiranya wajib hukumnya untuk para mahasiswa baik yang baru maupun yang basi mengetahui sejarah gerakan mahasiswa sebagai pecut untuk membangunkan semangat perjuangan dalam dirinya.
Kisah heroik mahasiswa dan golongan muda bahkan mewarnai moment penting dinegeri ini, sebut saja peristiwa Rengasdengklok yang didengungkan sebagai peristiwa penentu dalam mencapai kemerdekaan Indonesia dan Kisah pelengseran Soekarno dan Soeharto sebagai aktor pemimpin negeri otoriter yang dipelopori oleh Mahasiswa, serta kisah kisah heroik lainnya yang dituang dalam sejarah gerakan mahasiswa .
Catatan catatan indah kebanggaan mahasiswa menjadi hal yang selalu dilangitkan dan menjadi kisah kisah yang tinggal kisah. Gerakan mahasiswa hari ini tak lagi mampu mempertahankan roh dari peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai agent of change, social control, moral of force, dan iron stock, coba saja amati bagaimana aksi tidak pernah tepat waktu, mahasiswa yang tidak mampu memfilter kata yang hendak dikeluarkan hingga kata kebun binatang menjadi hal yang tidak terhindarkan, ditambah lagi kedekatan emosional mahasiswa dengan masyarakat yang belakang sedang tidak baik baik saja
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Terjadi perubahan signifikan dalam tubuh gerakan mahasiswa, jika dulu masyarakat mendukung gerakan mahasiswa dengan menyediakan makanan dan minuman saat demonstrasi, maka kini tak lagi seperti itu, bahkan setiap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa disuguhkan dengan sumpah serapah dari masyarakat khususnya pengendara jalan.
Tak cukup sampai disitu, secara epistimologi mahasiswa mengalami penurunan kualItas pengetahuan, tak banyak dari mahasiswa yang terlibat dalam gerakan yang rajin membaca buku, padahal idealnya salah satu ciri khas yang dapat dilihat secara fisik dari mahasiswa adalah membawa dan membaca buku, bukan alat make up dan justru sibuk memotret sampul buku, menjadikan status lalu meletakkannya tanpa dibaca, padahal seyogianya teman terbaik bagi mahasiswa adalah buku, bukan alat make yang menopang kontruksi cantik dimasyarakat. Namun saya tidak mengutuk para perempuan yang memakai make up sebab itu masalah selera, dengan catatan percantik pula isi kepala agar perempuan tidak hanya indah namun juga bermakna.
Gerakan intelektual seyogianya adalah gerakan dengan basis epistimologi dan massa, tak ada yang boleh dikesampingkan sebab untuk sebuah gerakan kedua hal tersebut seharusnya menjadi HARGA MATI bukan MATI HARGA, seperti yang dijelaskan diatas bahwa mahasiswa tak lagi menjadikan buku sebagai makanan sehari hari, bahkan sebagian besar massa aksi tak pernah benar benar mengkaji apa yang menjadi tuntutan hingga menciptakan massa massa yang reaksionis. Belum lagi massa yang semakin hari semakin sedikit, selain karena tendensi juga karena gerakan dianggap monoton dan cenderung tanpa hasil yang memuaskan, padahal meski begitu perjuangan harusnya tetap didendangkan demi lagu kemenangan yang membahagiakan.
Problem yang dialami mahasiswa diatas belum kelar masih ada problem problem yang lainnya yang perlu dibenahi seperti perjuangan periodesasi, yakni perjuangan yang dilakukan hanya saat menjadi fungsionaris lembaga, setelah menjadi demisioner entah lari kemana saat demonstrasi, kata kata bantet yang paling sering didengarkan “Waktumumi tuama saya, diamati mamiko kau”, bagi saya perjuangan tak mengenal umur kemahasiswaan, sebab masalah yang ada bukanlah masalah satu periode maka perlu dilakukan pengawalan secara continue tanpa mengenal status struktural.
Polemik yang dipaparkan diatas masih belum cukup untuk menjelaskan masalah yang teramat kompleks, yang paling menganggu bagi saya adalah gerakan yang cenderung melakukan kekerasan, pengrusakan dan hal hal negatif lainnya seolah olah memancing keributan degan aparat, lalu merekam jika terjadi tindakan yang dilakukan aparat kepolisian, ditambah lagi gerakan yang ditunggangi oleh elit tertentu, ini benar benar menciderai esensi dari gerakan mahasiswa, gerakan seperti ini yang mencoreng nama baik gerakan mahasiswa yang citranya coba dibangun.
Seyogianya gerakan mahasiswa adalah gerakan kemanusiaan yang berpihak pada rakyat, disetiap gerakan mahasiswa selayaknya terpatri kasih bagi negeri bukan sebagai ajang aji mumpung untuk menggalang rupiah, sebab rakyat sudah cukup menderita oleh perbuatan oknum pemerintah yang korupsi, jual beli pasal,dan anti demokrasi. Suatu kejatahan jika menambahnya dengan penghiantan dengan label perjuangan untuk rakyat padahal nomena yang terjadi adalah gerakan oportunis yang dibalut gerakan rakyat.
Mari jadi kritis untuk menjadi cerdas,
Mari cerdas untuk menjadi manusia,
Mari jadi manusia untuk memanusiakan manusia.
Jangan sampai kita hanya menjadi budak yang disekolahkan tanpa pernah dimerdekakan.
*Penulis adalah Besse Mapparimeng A.Lauce, Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), angkatan 2016