
PROFESI-UNM.COM – Tahun 2017, meninggalkan berbagai momentum sebagai catatan sejarah penting dalam perjalanan kampus orange ini. Ya, diusianya yang telah mencapai setengah abad ini, UNM mampu merealisaskan cita-cita setiap nahkoda yang mendudukinya. Yakni mengantarkan almamater ini mengecap kasta tertinggi dalam dunia pendidikan dengan perolehan akreditasi A. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan No.1465/SK/BAN-PT/Akred/PT/V/2017 yang ditetapkan pada 12 Juni lalu.
Menilik peralihan akreditasi sejak awal berdirinya, kampus Oemar Bakrie ini pernah menyandang akreditasi C. Kemudian mengalami peningkatan menjadi B pada Desember 2010 lalu. Hingga pada bulan Juni, akreditasi tertinggi dari BAN-PT ini berhasil diraih. Masa akreditasi ini akan berakhir pada 23 Mei 2022 mendatang.
Adalah prestasi yang patut dibanggakan seluruh sivitas akademika. Namun, itu hanyalah sekelumit pencapaian yang membanggakan. Selebihnya, masih terdapat sederet problema kampus yang masih membuntuti untuk segera dibenahi. Tak terkecuali dalam urusan akademik.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seharusnya UNM telah melangkah lebih jauh dalam hal pelayanan dan kualitas akademik. Namun, hal itu justru terkesan stagnan. Terbukti, tahun ini peringkat Sumber Daya Manusia (SDM) UNM mengalami penurunan.
Hal ini berdasarkan klasterisasi perguruan tinggi se-Indonesia oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan (Kemenristekdikti), dimana UNM menduduki posisi 5 besar nasional yang pada tahun sebelumnya berada pada posisi ke 4 besar nasional. Di samping itu, untuk menambah spesialisasi konsentrasi bidang studi, beberapa prodi baru pun dibentuk. Tercatat sebanyak 8 prodi baru di sektor kampus Pare-pare.
Hanya saja, hal tersebut tidak diiringi dengan penambahan tenaga pendidik di bidangnya masing-masing. Berdasarkan data yang dihimpun dari Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI), UNM hanya mampu menambah sebanyak 8 orang dosen dalam kurung waktu satu tahun ini.
Angka yang sangat kerdil jika dibandingkan dengan penambahan prodi yang ada. Apalagi jika dibandingkan dengan penerimaan mahasiswa baru yang membeludak setiap tahunnya. Imbasnya, tak sedikit jurusan/prodi yang kekurangan tenaga pengajar.
Hal ini dikarenakan rasio dosen dan mahasiswa yang jauh dari rata-rata. Terpaksa beberapa dosen mengambil langkah inisiatif dengan menggabung dua kelas atau lebih. Bukan hal baru, justru permasalahan tersebut telah dikeluhkan saja, belum ada usaha yang berarti yang dilakukan oleh birokrasi.
Tercatat sebanyak 17 prodi memiliki jumlah mahasiswa yang lebih banyak, ketimbang tenaga pendidik yang dimiliki. Tak hanya permasalahan kuantitas, kualitas pendidik yang dimiliki UNM masihlah harus ditingkatkan. Terbukti masih saja ada oknum dosen yang melakukan pungutan liar.
Seperti halnya yang menimpa mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi. Dengan dalih perbaikan nilai, mahasiswa diminta untuk membayar uang tunai dengan nominal yang beragam, sesuai dengan tingkatan nilai yang diinginkan. Tentu saja hal ini mencoreng citra seorang pendidik yang seharusnya menjadi panutan, dan UNM sebagai kampus dengan citranya sebagai penghasil pendidik. (*)
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Profesi Edisi 221