
PROFESI-UNM.COM – Di tengah gempuran budaya kerja cepat dan tuntutan untuk selalu produktif, banyak orang tanpa sadar terjebak dalam siklus toxic productivity. Mereka merasa harus terus bekerja, seolah istirahat adalah bentuk kemalasan. Padahal, dorongan yang berlebihan untuk selalu sibuk justru bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Menghindari toxic productivity bukan berarti menjadi malas atau tidak bertanggung jawab, melainkan tentang bagaimana menyeimbangkan hidup dan memaknai produktivitas secara lebih sehat.
Salah satu langkah penting untuk menghindari jebakan ini adalah dengan menetapkan batasan yang jelas antara waktu bekerja dan waktu istirahat. Banyak orang merasa bersalah ketika tidak sedang melakukan sesuatu yang “bermanfaat”, padahal tubuh dan pikiran manusia membutuhkan jeda. Mulailah dengan menyadari bahwa bekerja tanpa henti tidak akan membuat kita lebih sukses, justru memperbesar kemungkinan burnout. Luangkan waktu khusus untuk benar-benar berhenti dari pekerjaan, jauh dari layar, email, atau notifikasi. Jadwal kerja yang teratur dan waktu istirahat yang konsisten adalah kunci untuk menjaga keseimbangan.
Selain itu, penting untuk menjaga kesehatan mental dan fisik dengan serius. Produktivitas seharusnya tidak datang dengan mengorbankan tidur, olahraga, atau hubungan sosial. Aktivitas seperti berjalan santai, berbicara dengan teman, membaca buku, atau sekadar bermalas-malasan sejenak di rumah bisa menjadi bentuk perawatan diri. Jangan abaikan sinyal tubuh yang lelah atau pikiran yang mulai tidak fokus—itu tanda bahwa kamu butuh istirahat, bukan dorongan untuk bekerja lebih keras.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mindfulness 5 Menit, Latihan Sederhana Hidup Lebih Tenang
Untuk benar-benar keluar dari pola toxic productivity, kita juga perlu mengubah cara pandang terhadap kesibukan. Budaya hustle sering kali menanamkan ide bahwa semakin sibuk seseorang, semakin bernilai dirinya. Padahal, nilai seseorang tidak hanya diukur dari hasil kerja atau pencapaian profesional. Kurangi paparan terhadap konten yang menormalisasi kerja berlebihan dan mulai bangun definisi produktivitas versi diri sendiri—yang tidak menyakiti dan tetap menghargai kebutuhan akan ketenangan.
Mengatur ekspektasi juga menjadi bagian penting dalam proses ini. Jangan memaksa diri untuk menyelesaikan segalanya dalam satu waktu. Sadari bahwa tidak semua hari akan produktif, dan itu tidak apa-apa. Terkadang, memilih untuk tidak melakukan apa-apa justru bisa membawa efek positif yang besar. Daripada mengukur keberhasilan dari banyaknya pekerjaan yang diselesaikan, cobalah menilai dari kualitas perhatian yang kamu berikan pada setiap hal yang kamu lakukan.
Terakhir, penting untuk jujur pada diri sendiri. Tanyakan: Apakah saya bekerja terus-menerus karena memang ada kebutuhan mendesak, atau karena saya takut dianggap tidak produktif? Apakah saya masih bisa menikmati hal-hal kecil di luar pekerjaan, atau semuanya terasa seperti beban? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa menjadi cermin untuk melihat apakah kamu masih bekerja secara sehat, atau sudah terjebak dalam pola yang tidak berkelanjutan.
Menghindari toxic productivity bukanlah proses instan, tetapi mulailah dari keberanian untuk berkata cukup, dan mengizinkan diri untuk beristirahat tanpa rasa bersalah. Produktivitas yang sehat bukan tentang seberapa sibuk kamu setiap saat, tapi seberapa seimbang kamu menjalani hidup.