Penurunan prestasi UNM pada PIMNAS 2025 sejatinya bukan akhir dari perjalanan panjang kreativitas mahasiswa, melainkan alarm penting yang menyadarkan bahwa ekosistem pendampingan dan pembinaan perlu diperkuat kembali secara menyeluruh. Tahun ini, UNM tercatat tidak membawa pulang gelar apa pun dari tiga tim yang berlaga, sementara jumlah proposal yang lolos pendanaan juga merosot tajam dari 42 pada tahun sebelumnya menjadi hanya 12. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi gambaran bahwa sistem pembinaan, variasi ide, dan strategi menghadapi kompetisi nasional membutuhkan pembenahan serius. Dalam konteks persaingan yang semakin ketat, kondisi ini harus dibaca sebagai peluang bukan sebagai kemunduran.
PIMNAS saat ini menghadirkan standar penilaian yang semakin rinci dan profesional. Aspek kelengkapan data, ketajaman argumen, kejelasan presentasi, hingga visualisasi poster yang informatif menjadi indikator penting dalam menentukan kualitas karya. Perubahan standar ini menuntut mahasiswa untuk mempersiapkan penelitian dan program secara lebih matang, terstruktur, dan inovatif. Dengan dinamika tersebut, penurunan prestasi UNM justru memantik perlunya pembaruan sistem pembinaan yang lebih responsif terhadap tuntutan kompetisi nasional.
Alih-alih memandang penurunan ini sebagai kegagalan, UNM dapat menjadikannya sebagai momentum evaluasi besar-besaran. Langkah pertama adalah membuka ruang perbaikan pada pola pemilihan skema PKM yang selama ini didominasi oleh PKM-PM dan PKM-RSH. Keterbatasan variasi ide tidak hanya mengurangi peluang lolos pendanaan, tetapi juga menciptakan kompetisi internal yang sering kali saling menjatuhkan. Dengan memperluas eksplorasi di skema lain seperti PKM-K, PKM-KI, PKM-RE, atau PKM-VGK, mahasiswa akan memiliki akses terhadap lebih banyak jalur untuk berkembang.
Selain itu, proses pembinaan sejak tahap penyusunan proposal hingga tahap presentasi perlu diperkuat. Pendampingan yang dilakukan dosen selama ini sudah berjalan, namun belum sepenuhnya terintegrasi dengan kebijakan kampus di tingkat unit, fakultas, dan prodi. Momentum penurunan prestasi ini memberi kesempatan bagi UNM untuk membangun sistem pembinaan yang lebih terstruktur, terjadwal, dan terkoordinasi secara lintas fakultas. Pembinaan yang intensif tidak hanya berdampak pada kualitas karya, tetapi juga meningkatkan kesiapan mental mahasiswa menghadapi tekanan kompetisi nasional.
Kebijakan internal yang lebih mendukung juga menjadi kunci. Penurunan prestasi menunjukkan bahwa dukungan administratif dan rekognisi akademik masih perlu diperkuat. Kampus dapat merancang skema kebijakan yang memungkinkan mahasiswa peserta PKM memperoleh fleksibilitas akademik tanpa mengorbankan kewajiban kuliah. Jika kebijakan seperti konversi PKM ke tugas akhir diterapkan secara merata, seperti yang telah dilakukan beberapa fakultas, maka motivasi mahasiswa untuk mengikuti PKM dapat meningkat signifikan.
Secara keseluruhan, keadaan ini bukanlah bencana, melainkan titik balik bagi UNM. Penurunan prestasi menjadi pemacu untuk menata ulang strategi pembinaan, memperluas ragam skema, memperkuat koordinasi kebijakan, dan meningkatkan intensitas pendampingan. Dengan memanfaatkan momentum ini, UNM memiliki peluang besar untuk bangkit dan kembali bersaing secara maksimal pada PIMNAS tahun berikutnya. Jika pembenahan dilakukan secara sungguh-sungguh dan konsisten, bukan tidak mungkin UNM akan kembali menjadi salah satu kampus unggulan yang mampu mengharumkan nama daerah dan institusi di kancah nasional. (*)








