Sayembara pahlawan sejati

Avatar photo

- Redaksi

Selasa, 26 April 2016 - 20:43 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Andi Windra Sandi, mahasiswa pendidikan seni rupa, fakultas seni dan desain, universitas negeri makassar. (Foto: Int)
Andi Windra Sandi, mahasiswa pendidikan seni rupa, fakultas seni dan desain, universitas negeri makassar. (Foto: Int)

PROFESI-UNM.COM – Bicara soal makna kepahlawanan, kadang menjadi kegiatan nostalgia belaka, kita sudah tak perlu lagi mengusung bambu runcing dan meneriakkan pekik merdeka. Sambil mengacungkan kepal di udara. Pahlawan dan perang cuma kita asosiasikan dengan kematian fisik, peperangan fisik, dan sesosok musuh bersama. Sesuatu yang rasanya tak lagi relevan dengan kondisi kita sekarang. Dan juga banyak tempat di dunia.

Puluhan ribu pahlawan telah mati untuk bangsa ini, dan ada jutaan orang di seluruh dunia yang menyandang status pahlawan karena mereka tela mati untuk membela sesuatu. Namun, jika kita benar-benar jujur, pernahka perdamaian sejati terwujud di muka bumi? Atau paling tidak, di kalangan kampus kita sendiri? Pada level intelektual, kita mampu merumuskan perdamaian, menyusun klasifikasi seorang pahlawan, bahkan mempabrikasi konsep kemerdekaan. Namun pada level mental, jika kita benar-benar jujur, pernahkah perdamaian terwujud dalam batin kita? Ada satu perang yang sudah ada sejak manusia ada, perang yang sesungguhnya, yakni perang melawan diri sendiri.

Setiap saat kita memasuki ajang pertempuran. Saat kita membuka majalah atau nonton tv,kita digempur oleb berbagai potensi perang batin. Waktu kita melihat sesuatu yang kita suka atau tak suka, kita berkonflik antara mengejar dan menolak. Seperti halnya perempuan-perempuan yang merasa terancam oleh keriput lantas berperang melawan penuaan dengan serum dan macam kosmetik lainnya.

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perempuan yang percaya bahwa lebih putih berarti lebih cantik akan berperang melawan melaninnya dengan krim pemutih. Melihat mereka lebih sukses dan berpengaruh, kita lantas bertempur dengan keinginan baru, dan timbullah konflik baru. Lalu, siapakah pahlawan yang kita harapkan untuk perang tak berkesudahan ini?

Menyimak film-film superhero, saya memperhatikan bahwa masyarakat dalam film-film itu digambarkan menaruh harapan tunggal mereka pada sang pahlawan, entah itu batman, superman, atau spiderman. Begitu kejahatan merangsak mendadak polisi lemah, tentara terlambat datang, dan semua orang pun berharap cemas menanti superhero muncul.

Baca Juga :  Ini Jumlah Mahasiswa dan Sarpras Kampus V UNM

Dalam kehidupan nyata, cerminan itu pun tak jauh berbeda. Tak heran konsep Seperti ratu adil atau ksatria piningit selalu laku. Karena kita cenderung berharap ada tangan lain yang menyelesaikan masalah kita. Kita menaruh harap pada PBB, pemerintah, parpol, dan tokoh-tokoh besar untuk menyelesaikan problem dunia. Dalam interaksi pribadi pun demikian, kita berharap kitalah yang dimengerti, kitalah yang dipahami, agar problem selesai dengan sendirinya.

Namun, pernahkah kita merenungi, bahwa di jantung sebuah konsep besar bernama bangsa, suku, ras, agama, yang bersemayam sesungguhnya adalah individu-individu? Dan pada seorang individu, jika dilucuti satu per satu, kita akan menemukan motor penggerak bernama ego? Ketika terjadi peperangan di mana pun, atas nama apa pun, sesungguhnya kita tengah menyaksikan peperangan antar ego, antar ‘aku’ yang masing-masing merasa paling penting.

Ribuan tahun sudah manusia diatur oleh aneka sistem moralitas, namun perdamaian sejati baik di muka bumi maupun di dalam batin tak pernah terwujud. Sejak kecil saya di beritahu bahwa indonesia terkenal rukun karena toleransi. Namun jika kita tilik ulang, toleransi yang kita kenal adalah : aku menghargai kamu selama tidak mengganggu aku. Kita tidak dibiasakan untuk apresiasi, yakni : aku menghargai kamu apa adanya.

Perdamaian yang kita kenal adalah perdamaian yang berbasiskan toleransi, bukan apresiasi. Perdamaian toleransi adalah perdamaian yang rapuh, karena di berlakukan syarat di sana. Saat syarat itu di singgung, si aku disinggung, perdamaian luruh pun seketika.

Begitu jugalah kita kerap memberlakukan diri kita sendiri. Menerima diri apa adanya merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Kita memberlakukan banyak syarat bagi diri kita : saya baru menyukai diri saya kalau ukuran tubuh saya sekian, saya baru pede, kalau saya naik motor merk itu, saya mau pindah jurusan ini, karena saya tidak cocok dengan jurusan itu. Dan daftar syarat ini seolah tak ada ujungnya.

Baca Juga :  Ketua MPR RI Jadi Pemateri Kuliah Umum di UNM

Setiap hari kita menambah daftar baru. Setiap hari kita berperang dan bersitegang. Dan dalam perang yang satu ini, tak ada superhero yang akan datang dari balik awan untuk menyelesaikan konflik kita. Tidak ada siapa-siapa di sana, selain diri kita sendiri.

Inilah perang paling relevan dan selalu relevan dari zaman ke zaman, inilah ibu dari segala konflik yang ada di muka bumi. Namun seringkali kita melihat hubungan antara aku yang di dalam dengan aku yang ada di luar, sehingga kita cenderung berpangku tangan dan terbuai dalam ketidakberdayaan kita. Kita sibuk mengutak-atik aku yang di luar tanpa membereskan aku yang di dalam, sumber konflik yang sesungguhnya.

Seorang pahlawan sejati di butuhkan di sini, seorang pahlawan yang berani masuk ke dalam batin untuk menyingkap egonya sendiri. Seorang pahlawan yang berani mati demi perdamaian sejati.

Seorang pahlawan yang mau sejenak melangkah mundur dari jerat konflik eksternal dan memasuki arena pertempuran yang sesungguhnya, dan pahlawan ini akan bertempur tanpa imbalan jasa dan pengakuan apa-apa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Namun inilah pertempuran yang paling riil, tpat di bawah hidung kita sendiri tanpa di sadari.

Kita tidak perlu menunggu peringatan hari pahlawan, yang selalu diimbau untuk sejenak mengheningkan cipta, tapi pada hari ini, maukah kita sejenak duduk diam, mengheningkan cipta, dan menyaksikan peperangan didalam batin? Maukah kita turun tangan dan menjadi pahlawan bagi kita sendiri? Ataukah kita kembali menatap awan, menunggu sang pahlawan yang tak kunjung tiba? Silahkan pilih.


*Penulis:  Andi Windra Sandi
Program studi pendidikan seni rupa, fakultas seni dan desain, universitas negeri makassar.
Pengalaman organisasi :
Sekertaris bidang I Bem FSD UNM
Kepmi Bone Komisariat Lapawawoi UNM
Kepmi Bone Dewan Perwakilan Cabang Kec. Mare’ 
Himpunan Mahasiswa Islam FIP UNM
PMII Universitas Muhammadiyah
HI Illumination

Berita Terkait

HIMATIK FT UNM Buka Donasi Korban Kebakaran
Kos-kosan Mahasiswa UNM Kemalingan
FSD UNM Adakan Kuliah Perdana bersama Konsul Jenderal Australia
Ruang Kelas Direnovasi, Perkuliahan di FSD Dilaksanakan Daring
Aksi Kampanye Penolakan PLTU Industri di Pantai Losari
GenBI UNM Jadi Agent of Change dalam Peningkatan Berwirausaha SMA 16 Makassar
Mahasiswa Kehilangan Helm, Keamanan Parkiran FSD dipertanyakan
Es Cendol Dawet Jajanan Tradisional yang Hits di Kalangan Mahasiswa
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 6 Maret 2025 - 00:51 WITA

HIMATIK FT UNM Buka Donasi Korban Kebakaran

Rabu, 22 Januari 2025 - 21:46 WITA

Kos-kosan Mahasiswa UNM Kemalingan

Senin, 20 Januari 2025 - 19:50 WITA

FSD UNM Adakan Kuliah Perdana bersama Konsul Jenderal Australia

Senin, 28 Oktober 2024 - 17:14 WITA

Ruang Kelas Direnovasi, Perkuliahan di FSD Dilaksanakan Daring

Minggu, 20 Oktober 2024 - 17:07 WITA

Aksi Kampanye Penolakan PLTU Industri di Pantai Losari

Berita Terbaru

Pendidikan Sejarah

Pameran Sejarah Jadi Wadah Edupreneurship dan Wisata

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:21 WITA

Fakultas Psikologi

Tim BKP Fakultas Psikologi Gelar Psikoedukasi Sex Education di PAUD Kartini

Kamis, 8 Mei 2025 - 02:00 WITA

Himanis

UMKM Fest Wadah Promosi dan Pemberdayaan UMKM Lokal

Rabu, 7 Mei 2025 - 02:27 WITA