PROFESI-UNM.COM – Mayoritas masyarakat saat ini masih menolak adanya gender selain perempuan dan pria. Namun permasalahannya kemudian orang-orang yang mengaku sebagai non-biner atau bergender netral akan ditolak keberadaannya termasuk dalam hal mendapatkan pendidikan.
Hal ini pun menjadi perdebatan antar berbagai pihak, pihak yang mendukung penolakan ini berpendapat kalau memiliki gender selain pria dan perempuan merupakan penyimpangan seksual sehingga harus ditolak. Sedangkan pihak yang menolak adanya diskriminasi ini menyebut setiap manusia memiliki hak untuk berekspresi dan menyatakan seperti apa dirinya.
Salah satu mahasiswa bernama Rahma mengatakan masyarakat harus mendapat banyak informasi soal pemahaman apa itu gender. Karena memang ada orang-orang disekitar kita yang tidak ingin diidentifikasi sebagai laki-laki maupun perempuan. Walaupun non-binary memang dianggap melenceng dari pengetahuan agama dan norma.
“Dia mengaku netral ki, na rasakan keduanya. Terkait itu memang bagus sekali dikaji. Tapi kalau mau ki kaji terkait gender menurutku tidak akan ada habisnya. Selalu pasti ada pertentangan, ada yang pro dan kontra. Sekarang sudah ada beberapa kasus yang mencuat ke permukaan dan mereka mengaku,” ungkapnya.
Menurut Rahma, fenomena identitas seksual ini harus disikapi dengan bijak dan tidak berlebihan. Identitas seksual ini bukan penyakit, bukan sampah yang harus di hindari atau kejahatan. Hak dasar sebagai manusia harus dipenuhi dan jangan dijadikan sasaran kebencian atau bahkan sasaran assault.
“Ruang berekspresi untuk gender netral ini yang paling menonjol adalah di ruang virtual atau media sosial. Cukup banyak komunitas-komunitas yang berinteraksi lewat ruang virtual di mana mereka bisa mengekspresikan identitas gendernya,” sambungnya.
Senada dengan hal tersebut, Menteri Sosial dan Politik BEM Psikologi, Muhammad Rifqi Fathurrahman mengatakan penolakan yang terjadi membuat orang yang memiliki gender berbeda dengan mayoritas masyarakat menjadi lebih tertutup di kehidupan nyata namun mereka lebih terbuka di media sosial.
“Contohnya seperti seorang dokter yang mengaku sebagai gay yang memberikan edukasi mengenai kesadaran kesehatan seksual di media sosial walaupun ada saja yang menghujat tapi ada pula yang merespon positif,” katanya.
Dalam kacamata sosiologi sendiri penentuan gender digariskan oleh individu dan tidak ada hubungannya dengan faktor biologis. Menentukan gender bukan hanya berdasarkan jenis kelamin namun bagaimana orang memandang atau mengorientasikan diri didalam kehidupan sehari harinya dan ada banyak bentuknya.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Program Studi Sosiologi, Idham Irwansyah Idrus. Maka dengan demikian, disrikiminasi terhadap identitas gender dan orientasi seksual orang lain tidak dibenarkan dalam sosiologi
“Gender itu tidak berhubungan dengan faktor biologis tapi itu adalah orientasi seseorang ketika orang melihat dirinya diantara dua perilaku, perilaku sebagai laki-laki dan perempuan,” ungkapnya saat ditemui langsung oleh reporter Profesi.
Dosen Psikologi Sosial, Muhammad Rajan Piara, sendiri tidak membenarkan maupun menyalahkan individu yang menyuarakan minoritas identitas gender maupun orientasi seksualnya. Walau di kampus tidak ada aturan soal itu namun masyarakat memiliki pandangan tersendiri.
“Mungkin secara aturan tidak ada larangannya, tapi apakah itu sudah dapat diterima masyarakat secara umum atau belum. Karena pada akhirnya yang akan menerima efek negatifnya anda sendiri,” ujarnya.
Menurutnya masyarakat kita masih menganut erat adat istiadat dan norma agama. Kalaupun Keragaman identitas gender dan LGBT dilegalkan, tidak menutup kemungkinan cemooh dan hinaan masyarakat masih dapat menerpa kalangan mereka.
“Dan berapa puluh tahun kedepan pun mungkin tidak akan sama dengan yang terjadi di barat sana. Norma agama kita terlalu kuat,” ujar Rajan saat ditemui di ruangannya di Fakultas Psikologi UNM. (*)
Reporter: Tim