PROFESI-UNM.COM – Tahun 2017 kemarin, saya masih ingat sekali apa yang pertama kali digemakan ditelinga saya setelah menyandang gelar Mahasiswa. Kala itu saya berada diantara teman-teman baru yang culun, polos plus sebagian yang berkepala plontos. Senior yang sebenarnya baik hati (karena aku percaya bahwa semua orang itu baik) tapi berpura-pura galak, meneriaki kami dilapangan Bantimurung dini hari.
“APA PERAN MAHASISWA??” teriaknya.
“SOCIAL CONTROL, AGEN OF CHANGE, IRON STOCK, MORAL FORCE!!!” Teriak kami mencoba mengingat materi siang tadi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah itu kami disuruh merayap melewati genangan air kotor bercampur kotoran sapi dibawah bambu yang dipasang serendah lutut. Tanpa ada niat untuk mempertanyakan alasan logis semua pembodohan itu.
Pada dasarnya, setiap kampus umumnya memilki Organisasi Mahasiswa/Lembaga kemahasiswaan (LK). Organisasi yang didirikan untuk menyalurkan aspirasi, minat bakat, hobi ataupun mengorganisir kebutuhan mahasiswa. Kederasasi Lembaga adalah sebuah keharusan. Bahkan terkadang kaderisasi yang macet menjadi sebuah kekhawatiran yang kadang berujung pada adu argumentasi panjang.
Bayangkan jika sebuah LK tidak melahirkan kader-kader penerus. Untungnya tidak terjadi. Ironinya, kader-kader LK saat ini tidak lagi mampu memaknai perannya. Kegiatan kaderisasi sepertinya gagal melakukan transformasi nilai. Entah karena kesalahan pola kaderisasi atau orientasi zaman yang telah berbeda.
Seiring berjalannya waktu, Lembaga kemahasiswaan seolah hanya menjadi tempat perkumpulan dan kongko-kongko belaka. Kadangkala diskusi tidak lagi menjadi komunikasi dua arah, ia berubah bentuk menjadi kajian oleh senior-senior mahabenar. Mayoritas pengurus lembaga tumpul dalam berpikir kritis karena gagal mengenali perannya.
Beberapa mahasiswa yang malas kuliah memilih menjadikan sekret organ sebagai kampusnya. Titip absen dulu katanya. “Fakultas Kelembagaan, Jurusan Meditasi (Baca: Tidur tanpa gangguan)”. Lucunya lagi, sebagian memangku jabatan hanya untuk mengejar eksistensi pribadi belaka, yang berakhir dengan menjatuhkan eksistensi lembaga. Ingin terlihat keren dan pamer. Tidak paham, bahwa setiap tingkat lembaga memiliki peran khusus masing-masing. Tapi fikirannya kemudian tertutup pada “yang penting masuk organisasi”. Mau tidak mau membuatku bertanya-tanya. Cari apasih?
Salah seorang senior dari Lembaga jurusan pernah mengatakan bahwa “Lembaga tidak seksi lagi”. Benar, Lembaga Kemahasiswaan hari ini tidak seksi lagi. Tidak heran LK kemudian mengalami degradasi dari segi kuantisasi dan kualitas. Fakta di lapangan kemudian, Lembaga Jurusan tak ubahnya hanya penganut Proker (Program Kerja) yang tunduk pada kerja-kerja kepanitiaan saja. Lembaga Fakultas seperti mengalami disorientasi, banyak mahasiswa yang memilih dan menerima jabatan hanya untuk melawak diatas panggung aspirasi dengan menyuarakan isu yang itu-itu saja. Entah buta dalam mengawal isu atau terlalu takut pada birokrat. Entah karena malas atau tidak berdaya.
Akhirnya, gosip lebih menarik daripada diskusi. Buku-buku dijejal dalam tas, dibaca sekali seminggu. Sementara Gaming everytime and everywhere. “Aktivis Kampus” menjadi sekedar sebutan belaka. Barangkali penyematan “aktivis kampus” ini berakhir pada masa reformasi kemarin. Sebelum Gerakan-gebrakan mahasiswa tertidur Panjang seperti putri salju. (*)
*Penulis adalah Nurul Istiqamah, Mahasiswa Alumni Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam angkatan 2017