PROFESI-UNM.COM – Modernitas adalah sebuah perjanjian. Kita semua menandatangani perjanjian ini sejak hari kita dilahirkan dan perjanjian ini mengatur hidup kita sampai mati. Sangat sedikit dari kita yang dapat membatalkan atau mengatasi perjanjian ini. Ia membentuk makanan, pekerjaan, dan impian kita. Ia juga memutuskan dimana kita berdiam, siapa yang kita cintai, dan bagaimana kita mati.

Sejak pertama, modernitas tampak seperti sebuah perjanjian yang luar biasa rumit sehingga sangat sedikit yang berusaha memahami untuk apa perjanjian yang sudah mereka tanda tangani. Seperti ketika seseorang mengunduh perangkat lunak dan diminta menekan kontrak yang menyertainya, yang terdiri dari puluhan halaman ketentuan. Anda melihat sekilas, lansung menggulir ke bawah sampai ke halaman terakhir, dan menekan “saya setuju”, dan melupakannya. Namun yang mengejutkan, modernitas sesungguhnya adalah sebuah perjanjian sederhana. Seluruh kontrak bisa diringkas dalam satu frasa tunggal: manusia setuju untuk menyerahkan makan ditukar dengan kekuasaan.

Hingga masa modern, sebagian besar budaya memercayai bahwa manusia ikut ambil bagian dalam rencana besar kosmis. Rencana itu dirancang oleh tuhan-tuhan yang mahakuasa atau oleh hukum alam pusat, dan manusia tidak bisa mengubahnya. Rencana kosmis itu tak hanya memberi makna bagi kehidupan manusia, tetapi juga membatasi kekuasaan manusia. Manusia sangat mirip aktor yang tampil di panggung. Naskah memberi makna setiap kata, air mata, bahasa tubuh dan menempatkan batasan-batasan ketat pada penampilan mereka. Manusia tidak bisa hidup selama-lamanya, mereka tidak bisa menghindari penyakit, dan mereka tidak bisa melakukan apapun sesuka hati. Ini bukan naskah drama.

Sebagai imbalan atas penyerahan kekuasaan, manusia-manusia Pra-modern meyakini bahwa hidup mereka mendapatkan makna. Benar-benar tak ada artinya apakah mereka berperang dengan gagah berani di Medan tempur, apakah mereka mendukung raja yang sah, atau apakah mereka memakan makanan yang dilarang. Ini tentu saja menciptakan suatu ketidaknyamanan, namun juga memberi manusia perlindungan psikologis dari penyakit.

Kultur modern menolak keyakinan tentang rencana kosmis besar ini. Kita bukan aktor dalam drama apa pun yang lebih besar dari kehidupan. Kehidupan tidak memiliki naskah drama, tidak punya pengarang, tidak punya sutradara, tidak punya produser, dan tidak punya makna. Berdasarkan pengetahuan saintifik terbaik yang kita miliki, alam semesta adalah proses buta dan tanpa tujuan, penuh dengan suara keras, dan amarah, namun tidak bermakna apa-apa.

Karena tidak ada naskah drama, dan karena manusia tidak menjalankan peran apapun dalam sebuah drama besar, hal-hal buruk bisa menimpa manusia dan tidak ada kekuatan apapun untuk menyelamatkan atau memberi makna bagi penderitaan yang manusia alami. Tidak akan ada akhir yang menyenangkan atau akhir buruk, atau akhir apa pun juga. Hal-hal terjadi begitu saja, satu demi satu. Dunia modern tidak mempercayai adanya tujuan, hanya pada sebab.

Manusia bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan asalkan tahu caranya. Mereka tidak dihalangi apa pun kecuali kebodohan mereka sendiri. Jika kita menginvestasikan uang dalam riset, maka terobosan saintifik akan mengakselerasi kemajuan teknologi. Teknologi baru akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan sebuah ekonomi yang tumbuh akan memberikan banyak uang lagi untuk riset. Dengan setiap dekade yang berlalu, kita akan menikmati lebih banyak makanan, kendaraan lebih cepat, dan pengobatan yang lebih baik. Suatu hari pengetahuan manusia akan begitu besar dan teknologi akan begitu maju sehingga manusia akan meramu jamu muda abadi, jamu kebahagiaan sejati, dan obat-obatan apapun yang mungkin kita inginkan, dan tak ada tuhan yang akan menghentikannya.

Karena itu, perjanjian modern memberi manusia sebuah godaan besar, yang beriringan dengan ancaman kolosal. Kemahakuasaan ada di depan kita, hampir terjangkau oleh kita, tetapi dibawahnya menguap neraka ketiadaan paripurna. Praktisnya kehidupan modern berisi perburuan Terus-menerus kekuasaan dalam sebuah alam tanpa makna. kultur modern adalah yang terkuat dalam sejarah, dan ia tidak henti meriset, menciptakan, menemukan, dan tumbuh. Pada saat yang sama, ia dijejali oleh kecemasan eksistensial yang lebih besar dari budaya mana pun yang pernah ada sebelumnya.

Tulisan ini dikutip dari buku “Homo Deus” oleh Yuval Noah Harari , Halaman 229-231, terbitan Alvabet.

Dalam buku “Homo Deus”, Harari mengajak pembaca berakrobat dengan filsafat sejarah yang mendebar-debarkan dan mencemaskan untuk melihat masa depan umat manusia yang kerasukan teknologi. (*)

*Reporter: Muh. Akbar