
PROFESI-UNM.COM – Sistem zonasi kini menjadi perbincangan hangat pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Sistem ini dibuat untuk meningkatkan aksesibilitas dan keadilan dalam pendidikan. Pemberlakuan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018, lalu diperbarui menjadi Permendikbud Nomor 44 tahun 2019, kemudian diperbarui lagi dengan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021.
Sistem zonasi sudah berlangsung kurang lebih lima tahun. Sebagaimana disebutkan dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, ada besaran kuota pada setiap jalur PPDB di masing-masing jenjang satuan pendidikan. Untuk jenjang Sekolah Dasar (SD), kuota sebanyak 70 persen dari daya tampung sekolah digunakan untuk zonasi, 15 persen untuk afirmasi, dan 5 persen pada jalur perpindahan orang tua. Sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), jalur zonasi diberikan kuota sebesar 50 persen dari daya tampung sekolah, afirmasi 15 persen, serta jalur perpindahan orang tua maksimal 5 persen dan selebihnya dapat digunakan sebagai jalur prestasi.
Setelah diterapkan, ada berbagai pandangan dan opini terkait keefektifan dan dampak dari sistem zonasi ini. Sistem ini membagi daerah menjadi zona-zona tertentu dan membatasi penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri berdasarkan zona tempat tinggal mereka. Calon peserta didik hanya diperbolehkan mendaftar di sekolah negeri yang terletak di zona tempat tinggal mereka. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan serta memperkuat kualitas sekolah di daerah terdepan serta mengurangi biaya dan beban transportasi bagi keluarga. Namun, perdebatan mengenai efektivitas dan implikasi dari sistem zonasi ini terus berlangsung.
Para pendukung sistem zonasi berpendapat bahwa sistem ini penting untuk meningkatkan keadilan akses pendidikan. Dengan memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan tempat di sekolah negeri terdekat, sistem ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Selain itu, sistem zonasi juga dianggap dapat mendorong pengembangan kualitas sekolah di daerah terdepan melalui alokasi kuota siswa yang seimbang. Dengan mengalokasikan kuota siswa dari zona tertentu, pemerintah dapat memberikan insentif bagi sekolah-sekolah di daerah yang mungkin kurang diminati untuk meningkatkan kualitas mereka guna menarik minat peserta didik.
Namun, dengan sistem zonasi beberapa masalah yang mungkin timbul. Salah satunya adalah batasan pilihan dan mobilitas siswa. Dalam sistem zonasi, siswa hanya dapat mendaftar di sekolah negeri yang berada di zona tempat tinggal mereka. Hal ini dapat membatasi pilihan siswa untuk mengakses sekolah-sekolah dengan program khusus atau kurikulum yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Siswa yang memiliki minat atau bakat khusus mungkin kesulitan mengejar potensinya jika sekolah-sekolah tersebut berada di luar zona tempat tinggal mereka.
Selain itu, sistem zonasi tidak selalu menjamin kesetaraan dalam kualitas sekolah di setiap zona. Ada kemungkinan muncul perbedaan yang signifikan antara sekolah-sekolah di dalam zona tersebut, yang dapat menyebabkan ketimpangan pendidikan di dalam zona itu sendiri. Contoh lain, terdapat perbedaan yang signifikan dalam fasilitas, kurikulum, dan kualitas pengajaran antara sekolah-sekolah di dalam satu zona. Tentu hal ini dapat menyebabkan ketimpangan pendidikan di dalam zona itu sendiri, di mana beberapa sekolah lebih diminati dan berkualitas lebih baik daripada yang lain.
Contoh kasus yang terjadi di SMA Negeri 8 Kota Samarinda, Kalimantan Timur, pada Sabtu 24 Juni 2023 puluhan orang tua dan wali murid mendatangi sekolah dan melakukan penyegelan dua pintu masuk ke sekolah tersebut dengan rantai dan dikunci menggunakan gembok. Hal tersebut dilakukan lantaran PPDB sistem Zonasi yang diterapkan di sekolah dinilai tidak sesuai. Dilansir dari beritasatu.com, dari jatah penerimaan 41 orang siswa berdasarkan sistem zonasi, terdapat 20 anak yang justru berasal dari luar Kelurahan Karang Asam Ulu yang sudah terdaftar di sekolah tersebut. Sehingga banyaknya calon siswa baru yang masuk dalam zona sekolah tersebut tidak bisa diterima dan terancam tidak bisa melanjutkan sekolahnya pada tahun ini.
Di Kota Bogor, Jawa Barat, sejumlah modus kecurangan ditemukan. Seperti pindah Kartu Keluarga (KK), menumpang KK saudara atau orang lain yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan dan membayar sejumlah biaya. Kecurangan dengan memanipulasi data kependudukan dan prestasi ini dilakukan untuk mendapatkan sekolah yang diinginkan. Beberapa sekolah dianggap memiliki reputasi yang baik dalam kualitas pendidikan, fasilitas, dan peluang akademik.
Di Kota Tangerang, aksi seorang wali calon siswa mengukur jalan menggunakan meteran untuk mengetahui jarak antara rumahnya dengan sekolah. Hal itu dilakukan karena sang adik, tidak lolos dalam proses pendaftaran di SMA Negeri 5 Kota Tangerang dengan sistem zonasi. Wali siswa merasa adanya sebuah kejanggalan karena terdapat beberapa nama calon siswa yang tidak sesuai dengan jarak ke rumah.
Imbas dari adanya sistem zonasi juga terjadi di salah satu SMP swasta di Surabaya yang hanya memiliki satu siswa tahun ini yakni SMP Tenggilis Jaya Surabaya. Menurut Kepala sekolah minimnya jumlah murid ini terjadi salah satunya karena sistem zonasi. Kurangnya peserta didik terjadi mulai tahun 2019, pada tahun itu ada sebanyak 30 orang per kelas dan tahun ini hanya 15 orang siswa, diantaranya 12 murid Kelas sembilan, dua murid kelas delapan, dan satu murid kelas tujuh.
Berkaca dari kasus ini, pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seharusnya menjadikan sebagai bahan evaluasi secara menyeluruh dan perbaikan sistem yang berkelanjutan. Pendukung sistem ini berpendapat bahwa sistem ini penting untuk meningkatkan keadilan akses dan mendorong pengembangan kualitas sekolah, kritikusnya menyoroti tantangan mobilitas siswa dan ketimpangan kualitas sekolah di dalam zona. Mereka sepakat bahwa pendekatan yang komprehensif sangat diperlukan. Betul, jika hanya dengan mengandalkan sistem zonasi mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah kesenjangan dan kualitas pendidikan. Menurut saya diperlukan upaya lain seperti peningkatan kualitas guru, pengembangan kurikulum yang inklusif, dan pemenuhan sarana dan prasarana yang memadai.
Kemudia pertanyaannya, semenjak sistem zonasi diterapkan, apakah pemerataan sarana prasarana sudah terwujud? Apakah tenaga pendidik sudah berkualitas? dari berbagai kasus yang ada, tentu belum. Oleh karena itu, pentingnya mempertimbangkan berbagai perspektif dan menjalankan evaluasi terus-menerus untuk memastikan sistem ini dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi semua pihak yang terlibat agar dapat mencapai tujuan keadilan dan kualitas pendidikan yang lebih baik bagi semua peserta didik.
*Penulis adalah Agatoni Buttang, Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Jurusan Ilmu AdministrasI, Prodi Pend. Administrasi Perkantoran angkatan 2019