PROFESI-UNM.COM – Belakangan ini, banyak mahasiswa merasa hidup seperti berjalan di tempat. Hari-hari terasa datar, kepala penuh pikiran yang berseliweran, namun semuanya terasa mengambang. Aktivitas perkuliahan tetap berjalan, tugas tetap dikumpulkan, tetapi hati seperti kehilangan arah dan mental mudah lelah. Waktu banyak dihabiskan dengan menggulir media sosial tanpa tujuan, membuka buku namun tak kunjung menyelesaikannya, atau tidur panjang yang justru membuat tubuh semakin berat dan pikiran tak kunjung jernih.
Fenomena ini menjadi lebih nyata saat interaksi sosial mulai berkurang, produktivitas menurun, dan perasaan cemas datang tanpa sebab yang jelas. Ada dorongan untuk menyalahkan keadaan, bahkan orang lain, padahal sebagian besar kekacauan itu datang dari dalam diri sendiri—dari batin yang terlalu sibuk, tetapi lupa untuk didengarkan.
Salah satu konsep yang kini mulai banyak dibahas dalam ranah psikologi adalah Emotional Agility, atau keluwesan emosional. Teori ini diperkenalkan oleh Dr. Susan David, seorang psikolog dari Harvard Medical School. Emotional Agility adalah kemampuan untuk menghadapi emosi dengan cara yang sehat, terbuka, dan reflektif, tanpa menekan atau menghindarinya. Menurut Dr. Susan, banyak kelelahan mental justru bersumber dari kecenderungan untuk terus menerus berpikir dan merasa tanpa memberi ruang jeda untuk bernapas, memahami, dan memproses apa yang sebenarnya sedang dirasakan.
Emosi yang tak tersampaikan dengan baik akan menumpuk dan meledak dalam bentuk kemarahan, kelelahan, atau bahkan rasa ingin menyerah. Dan sering kali, pikiran lebih banyak terfokus pada hal-hal yang berada di luar kendali—tentang masa depan yang belum terjadi, ekspektasi sosial yang membebani, atau kegagalan yang belum tentu nyata. Kita terjebak dalam lingkaran pikiran yang tak kunjung selesai, seolah-olah semua harus diselesaikan hari ini, saat ini juga.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memberikan pengingat yang penuh ketenangan melalui Surah At-Tawbah ayat 51:
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.'” (QS. At-Tawbah: 51)
Menurut Tafsir Al-Muyassar, ayat ini menegaskan bahwa setiap musibah, kesulitan, atau ketidakpastian yang dialami manusia sudah berada dalam takdir Allah, dan sepenuhnya berada dalam pengawasan-Nya. Ini bukan ajakan untuk pasrah secara pasif, melainkan keyakinan aktif bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak yang Maha Mengetahui. Maka, tidak semua hal harus diselesaikan sekaligus. Ada waktu untuk berserah, dan mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya.
Seperti kutipan dalam novel Hujan karya Tere Liye:
“Masalah dengan orang yang terlalu lama memendam perasaan adalah, saat dia akhirnya menangis, dia tidak menangis karena satu hal saja. Tapi karena semua hal yang datang bersamaan.” (Tere Liye, Hujan)
Banyak dari kita menunda jeda, menunda istirahat, menunda tangisan, seolah-olah semua beban harus ditanggung tanpa keluh. Padahal, menjadi lelah bukanlah tanda kegagalan. Diam bukan berarti kalah. Diam bisa jadi bentuk perlawanan yang paling kuat—waktu untuk menata ulang arah, menyapa luka yang terlupakan, dan berdamai dengan diri yang sedang berjuang keras untuk tetap bertahan.
Kadang, ekspektasi untuk selalu produktif dan tegar malah membuat diri kehilangan koneksi dengan realitas batin. Seperti lirik lagu yang berkata, “Tua-tua keladi, makin tua makin jadi,” tapi nyatanya banyak yang merasa, “Makin lama makin diam, isi kepala segudang, tapi ngawang semua.”
Maka tidak mengapa jika hari ini hanya bisa pelan-pelan. Tidak apa-apa jika belum tahu pasti arah ke mana. Tidak masalah jika hari ini hanya bisa menyelesaikan satu tugas kecil atau hanya bisa merapikan tempat tidur. Karena dalam setiap langkah kecil itu, ada upaya untuk kembali menjadi utuh. Memulihkan diri adalah bagian dari perjalanan, bukan bentuk keterlambatan.
Kita tidak selalu harus tahu jawabannya hari ini. Karena seperti hujan yang tidak pernah memaksa langit, begitu pula jiwa kita: ia butuh waktu untuk reda, dan ruang untuk tumbuh kembali. Dan ketika dunia terasa terlalu bising, maka mungkin Allah sedang mengajak untuk duduk diam, menghadap-Nya, dan berkata dalam hati: “Aku lelah, Ya Rabb, tapi aku tahu Engkau tidak pernah jauh.”
Pelan-pelan saja. Satu per satu, satu hari dalam satu waktu.
*Penulis: Ummu ‘Athiyah Sudirman